- Petrik Matanasi
- 4 Sep
- 4 menit membaca
UNTUK ke sekian kalinya, Soeharto dilantik menjadi presiden pada 11 Maret 1998. Ketika itu krisis moneter sudah melanda Asia. Ekonomi Indonesia pun hancur seketika. Harga bahan makanan, yang era itu dikenal sebagai Sembilan Bahan Pokok (Sembako), mendadak naik. Begitu pula harga minyak bahan bakar seperti bensin.
Soeharto berusaha membuat masyarakat tetap tenang dan menyerahkan semua padanya. Namun sia-sia, sebagian golongan mulai tak percaya lagi padanya.
“Sejak 4 Mei 1998, mahasiswa Medan, Bandung dan Yogyakarta menyambut kenaikan harga bahan bakar minyak dengan demonstrasi besar-besaran. Demonstrasi itu berubah menjadi kerusuhan, saat para demonstran terlibat bentrokan dengan petugas keamanan,” catat Djadja Suparman dalam Jejak Kudeta 1997-2005.
Sebagian mahasiswa di “Kota Pelajar” Yogyakarta –yang pada 1998 punya empat kampus negeri plus beberapa kampus swasta– memberanikan diri berhadapan dengan Soeharto. Para mahasiswa berdemo dari hari ke hari. Aparat keamanan, baik itu polisi maupun tentara –yang keduanya masih di bawah Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI)– terus mengawasi mereka.
Ada ribuan mahasiswa di yang berlalu-lalang di Jalan Gejayan pada Mei 1998 waktu berdemonstrasi setelah kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Pertigaan Gejayan dengan beberapa kampus menjadi titik penting. Ada Universitas Sanata Dharma (USD) di sisi timur Jalan Gejayan dan terus ke arah timur Jalan Mrican ada Universitas Atmajaya. Keduanya kampus swasta Katolik. Institut Keguruan Ilmu Pendidikan (IKIP) Yogyakarta ada di sisi barat Jalan Gejayan. Agak jauh ke arah barat adalah kawasan kampus Universitas Gadjah Mada.
“Kalau pagi demo di kampus masing-masing, nanti jam dua di Gejayan,” kenang Felix Giyanto, yang ketika itu sudah berdagang angkringan hingga hari ini. “Gabungannya di Jalan Gejayan itu.”
Mahasiswa dari UGM, USD, dan Atmajaya biasanya berkumpul di sekitar kantor pos, sebelah Toko Merah dan seberang pintu masuk kampus USD yang masih di poros Jalan Gejayan (kini Jalan Affandi). Sisi kiri kantor pos adalah jalan masuk ke dalam kampus IKIP Negeri Yogyakarta di Karangmalang. Di tempat itu, demonstrasi setidaknya terjadi pada Selasa, 5 Mei 1998 dan Jumat, 8 Mei 1998. Demo terakhir lebih banyak pesertanya.
“Jam tiga itu biasanya sudah banyak orang,” kenang Edi Sutopo, yang kala itu mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI) di IKIP Negeri Yogyakarta.
Pada 8 Mei 1998 itu, demonstran dari IKIP Karangmalang, yang kebanyakan adalah calon guru sekolah, mampu memblokir utara jalan titik aksi tersebut. Sisi utara Jalan Gejayan bukan tidak rawan bagi demonstran. Sebab, pasukan polisi dari Polda DIY bisa merangsek masuk ke Jalan Gejayan. Sementara dari arah selatan sudah ada pasukan polisi Pengendali Huru-hara (PHH). Mereka bertengger di sekitar Hotel Radisson. Artinya demonstran bisa dihajar dari utara dan selatan. Namun di sepanjang jalan itu banyak jalan atau gang menuju permukiman warga untuk melarikan diri.
Ketika hari makin sore namun matahari masih bersinar, demo makin panas. Para pendemo bertahan dan masih ingin bergerak maju. Pasukan PHH polisi beraksi bak tentara Romawi dengan tameng mereka. Bedanya tentara Romawi bawa pedang, PHH bawa pentungan.
Ketika PHH melontarkan gas air mata kepada demonstran, tak semua demonstran langsung lari. Ada yang berusaha menjinakkan gas air mata itu dengan air. Ada pula yang susah-payah melempar balik ke arah aparat yang melontarkannya. Baru setelah mengakali gas air mata itu mereka mengikuti kawannya yang sudah berlari.
Setelah gas air mata ditembakkan, aparat biasanya terus bergerak maju. “Tapi mereka tidak berani terlalu dalam ya,” kenang Edi Sutopo, yang menjelaskan aparat itu tak berani lebih jauh dari jalan raya di dekat kantor pos. Mereka hanya sampai sekretariat Resimen Mahasiswa (Menwa) IKIP Yogyakarta, sekitar lahan kosong yang belakangan menjadi Gedung Pascasarjana.
Tak hanya di jalan itu saja rusuh terjadi. Gang Guru (kini Jalan Guru) pada malam berikutnya disatroni tentara dari Kandang Menjangan alias markas sebuah Grup Komando Pasukan Khusus (Kopassus). Bahkan, mereka membawa kendaraan lapis baja, termasuk watercanon. Ada yang menyebut, yang masuk adalah tank dan ada pula yang menyebut itu hanya panser. Tentara-tentara itu ikut mengejar mahasiswa yang bertahan di gedung-gedung sekitar fakultas ilmu sosial IKIP tersebut. Tak semua yang kabur ke dalam IKIP itu adalah mahasiswa IKIP Yogyakarta.
“Kami yang dari IKIP relatif memahami medan. Banyak yang kena kan teman-teman yang dari luar,” terang Faiz Ashoul, mahasiswa PBSI yang juga ikut berdemonstrasi.
Ada demonstran yang ketika lari malah menyasar ke jalan yang ketika itu buntu. Bahkan ada pula yang terjebak kerena naik di menara air dan aparat menantinya di bawah.
Demontrasi itu diingat oleh para saksi dan pelaku karena pada senja Jumat (8 Maret 1998) itu seorang yang sedang mencari makan, Mozes Gatutkaca, terbunuh di Jalan Mrican (kini Jalan Mozes Gatutkaca). Jalan itu menjadi saksi kebrutalan aparat ABRI yang membela Soeharto.
Jauh setelah Soeharto jatuh dan digantikan era Reformasi yang menjunjung tinggi demokrasi, pola penanganan demonstrasi oleh aparat masih belum jauh berubah. Dinihari 2 September 2025 kemarin, kampus Universitas Pasundan (Unisba) dan Universitas Islam Bandung (Unisba) di Bandung yang disasar. Kendati berupaya tidak terpancing untuk masuk kampus, pasukan gabungan TNI-Polri menembakkan gas air mata dari jalan di depan kampus Unisba.
“Rektor Universitas Islam Bandung (Unisba) Harits Nu’man ingat betul peristiwa Senin (1/9/2025) malam. Tepatnya sekitar pukul 23.30 WIB. Ketika massa berpakaian serba hitam masuk ke area kampus,” tulis liputan6.com, 2 September 2025.













Komentar