top of page

Sejarah Indonesia

Aktivis Afro Amerika Dilarang Hadir Di Konferensi Asia Afrika

Aktivis Afro-Amerika Dilarang Hadir di Konferensi Asia-Afrika

Paul Robeson dan W.E.B. Du Bois menyuarakan hak-hak sipil warga kulit hitam di Amerika Serikat. Pemerintah Amerika melarang mereka hadir di Konferensi Asia-Afrika.

23 April 2025

Dengarkan artikel

bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Kiri-kanan: Alphaeus Hunton dan istrinya, Dorothy, Paul Robeson, dan William Edward Burghardt Du Bois. (Digital Collections of The New York Public Library).

KONFERENSI Asia-Afrika di Bandung pada 18–24 April 1955 membuat gerah Amerika Serikat. Selain mensponsori penyelenggaraan SEATO, pakta negara-negara Asia Tenggara, pemerintah Amerika juga menghalangi dua aktivis Afro-Amerika, William Edward Burghardt Du Bois dan Paul Robeson, untuk menghadiri KAA.


Du Bois dan Robeson, yang menyuarakan hak-hak sipil warga kulit hitam di Amerika, tak dapat pergi ke Bandung. Pemerintah Amerika mencekal paspor Robeson dan membatasi visa perjalanan Du Bois. Keduanya dicap antek komunis –meski Robeson tidak pernah bergabung dengan partai komunis di Amerika– dan dimasukkan ke dalam daftar orang-orang yang melakukan subversif. Dilarang pergi ke luar negeri, keduanya menitipkan pesan kepada delegasi yang hadir di KAA.


“Kami rakyat kulit berwarna di Amerika telah lama hidup bersama kalian, rakyat kulit kuning, coklat, dan hitam di dunia di bawah arogansi dan asumsi ras kulit putih yang tak tertahankan. Kami memohon kepada Anda untuk merapatkan barisan melawan supremasi kulit putih di Amerika Serikat, Inggris, Prancis, Spanyol, Belgia, dan Belanda, selama mereka bergerak dan merencanakan sistem kolonial, untuk eksploitasi warna kulit, kasta, dan kelas,” tulis Du Bois sebagaimana dikutip oleh Cynthia A. Young dalam Soul Power: Culture, Radicalism, and the Making of U.S. Third World Left.


Du Bois yang dijuluki sebagai Bapak Pan-Afrikanisme telah lama dikenal sebagai pendukung “blok Afro-Asia”. Bill V. Mullen mencatat dalam “W.E.B. Du Bois, Dark Princess, and the Afro-Asian International,” termuat di Left of the Color Line: Race, Radicalism, and Twentieth-Century Literature of the United States, Du Bois telah mengantisipasi terjadinya pertemuan antara internasionalis Afrika dan Asia dalam upayanya mewujudkan persamaan hak-hak sipil, serta hak menentukan nasib bangsanya sendiri jauh sebelum pecahnya Perang Dunia II yang berujung pada Perang Dingin.


Dalam bagian akhir karyanya, Dark Princess (1928), Du Bois memprediksi bahwa “dunia kulit berwarna akan merdeka pada tahun 1952.” Tiga tahun berselang, bangsa-bangsa Asia dan Afrika berkumpul untuk menggalang solidaritas demi mewujudkan perdamaian dunia dan hak yang setara bagi seluruh bangsa. Dalam pandangan Du Bois, KAA merupakan peristiwa monumental karena berangkat dari pertemuan internasional ini, dunia kulit berwarna mulai bergerak dengan visi yang sama, yang menandai dimulainya integritas, penyatuan, dan kemajuan yang penuh kesadaran.


Sementara itu, selain menyampaikan pesan yang berisi kekecewaan dan alasan ketidakhadirannya dalam Konferensi Bandung, Paul Robeson merasa senang saat wakil-wakil dari berbagai negara Afrika dan Asia berkumpul untuk membahas berbagai isu terkait penolakan terhadap kolonialisme dan imperialisme, solidaritas antarbangsa dalam memperjuangkan hak untuk bebas dari penjajahan, serta mewujudkan perdamaian dunia.


“Saya telah lama memiliki ketertarikan yang mendalam dan abadi terhadap hubungan budaya Asia dan Afrika... Kenyataan bahwa bangsa-bangsa Asia dan Afrika, yang memiliki budaya yang sama namun berbeda, telah bersatu untuk memecahkan masalah bersama mereka harus menjadi contoh cemerlang bagi seluruh dunia. Diskusi dan saling menghormati adalah bahan pertama untuk mewujudkan perdamaian antarbangsa. Jika bangsa-bangsa lain di dunia mengikuti contoh yang diberikan oleh bangsa-bangsa Asia-Afrika, maka akan dapat dikembangkan sebuah alternatif dari kebijakan yang menggunakan kekerasan dan diakhirinya ancaman perang Bom Atom,” tulis Robeson sebagaimana dikutip oleh Lenwood G. Davis dalam A Paul Robeson Research Guide.


Robeson tak hanya hadir melalui pesan tertulis. Aktor dan penyanyi kelahiran 9 April 1898 itu juga mengirimkan rekaman suara yang menyanyikan lagu No More Auction Block, Hymn for Nations, dan Ol’ Man River yang diperdengarkan kepada para delegasi di tengah berlangsungnya konferensi. Penyanyi bersuara bariton ini pernah menyanyikan lagu Indonesia Raya ketika bergabung dalam aksi damai menggalang dukungan bagi kemerdekaan Indonesia di Amerika pada 1940-an.


Namun, merekam suara bukan hal yang mudah mengingat Robeson masuk daftar hitam pemerintah dan dinas intelijen Amerika. Akibatnya, menurut Shana L. Redmond dalam Anthem: Social Movements and the Sound of Solidarity in the African Diaspora, label-label rekaman menolak untuk merekam lagu-lagunya. Menanggapi pembungkaman ini, Robeson mendirikan Othello Recording Company. Dengan bantuan putranya, Robeson memproduksi sejumlah rekaman untuk para penggemarnya di seluruh dunia. Dengan mengambil alih sarana produksi ke tangannya sendiri, Robeson membuat karyanya menjadi lebih mudah diakses oleh organisasi politik akar rumput.


“Upaya Robeson memproduksi musiknya sendiri menunjukkan bagaimana teknologi rekaman hadir dalam dekonstruksi batas-batas dan subversi institusi kekuasaan... Dengan melampaui batas-batas Amerika Serikat melalui suara, Othello Recording dan produk-produknya dikonfigurasikan dalam arus global produk budaya, yang ‘membuatnya semakin penting untuk memikirkan identitas dalam istilah-istilah selain nasionalis’... Dalam skenario ini, rekaman buatannya dari studio di sekitar kota New York dimaksudkan untuk menantang negara melalui produksinya dan menyebar ke para pendengar di seluruh dunia,” tulis Redmond.


Dengan mengirimkan rekaman ke Bandung, Robeson telah menggunakan teknologi untuk berbicara. No More Auction Block adalah lagu spiritual bagi orang kulit hitam, yang digambarkan Robeson dalam pertunjukan Peace Arch pada 1952 sebagai lagu yang “berasal dari dalamnya perjuangan orang-orang kulit hitam di Amerika.” Kehadiran lagu ini dalam Konferensi Bandung menunjukkan perhatian Robeson yang terus-menerus terhadap perjuangan hak-hak sipil.


Lagu No More Auction Block kemudian dilanjutkan dengan balada perdamaian Hymn for Nations, yang sarat pesan persatuan dalam mewujudkan perdamaian dunia, relevan dengan isu-isu yang diangkat para delegasi KAA, salah satunya kritik terhadap pengembangan senjata yang berpotensi menjadi pemusnah massal dan merusak lingkungan.


“Penekanan Bandung pada pelucutan senjata dan perdamaian internasional menemukan resonansi dalam lirik lagu ini yang juga berfungsi untuk mewakili advokasi Robeson dalam mengakhiri perang. Lagu terakhir dari rekaman ini, Ol’ Man River, pada 1955 diterima sebagai lagu kebangsaan bagi mereka yang kehilangan haknya dan tertindas. Pidato pembukaan Robeson pada konferensi tersebut –‘Salam yang tulus untuk kalian semua, orang-orang yang datang dari tepi Sungai Gangga dan Sungai Nil, Yangtse dan Niger, bangsa-bangsa di perairan Pasifik yang luas’– mengisyaratkan kehadirannya di tengah-tengah mereka melalui citra lagu ikoniknya yang berusaha menghubungkan geo-sejarah para delegasi yang berubah-ubah dengan Sungai Mississippi/Amerika Serikat yang menjadi tempat ia tinggal dan bekerja,” tulis Redmond.


Selain melalui lagu-lagu, Robeson juga menyuarakan sikap politiknya dalam buku Here I Stand (1958). Ia menjelaskan posisinya dengan mengatakan, “ketika seorang bertanya kepada saya hari ini, sudut pandang apa yang saya dukung dalam berbagai persoalan yang terjadi di dunia, maka saya akan merujuk pada Dasasila Bandung.”


Lindsey R. Swindall menulis dalam The Politics of Paul Robeson’s Othello, poin-poin hasil pertemuan KAA yang dikenal dengan Dasasila Bandung mencakup sejumlah prinsip yang sejalan dengan pandangan dan advokasi Robeson sebagai pejuang hak-hak sipil dan kemanusiaan, khususnya untuk orang-orang kulit hitam. Prinsip-prinsip tersebut meliputi penghormatan terhadap hak asasi manusia, penghormatan terhadap kedaulatan semua bangsa, persamaan ras dan kesetaraan di antara bangsa-bangsa besar dan kecil, menahan diri dari tindakan atau ancaman agresi, dan penyelesaian perselisihan internasional melalui cara-cara damai.


“Meskipun terkurung di Amerika Serikat selama Konferensi Bandung, Robeson dengan penuh semangat menyuarakan dukungannya untuk pertemuan tersebut. Namun, ia sangat menyesal karena tidak dapat hadir. Seandainya ia dapat melakukan perjalanan ke Indonesia pada 1955, gambar yang menampilkan sosok Robeson yang menjulang tinggi yang datang bersama para diplomat dan pemimpin dari Afrika dan Asia akan menyampaikan pesan solidaritas yang kuat antara orang Afrika-Amerika dan dunia Afro-Asia yang lebih luas. Inilah alasan mengapa Departemen Luar Negeri tidak menginginkannya berada di sana,” tulis Swindall.


Setelah KAA, seiring dengan meredanya ketakutan terhadap infiltrasi komunisme di Amerika, Mahkamah Agung memutuskan bahwa Departemen Luar Negeri tidak dapat menahan paspor karena alasan ideologis. Berdasarkan hal ini, paspor Robeson dipulihkan tanpa harus menandatangani surat pernyataan non-komunis. Robeson segera memulai gelombang tur konser di seluruh dunia. Sekembalinya ke Amerika pada 1962, Robeson hanya tampil dalam beberapa pertunjukkan sebelum pensiun dari kehidupan publik. Setelah Robeson dirawat di rumah sakit selama enam tahun, pada 1974, FBI mengakhiri penyelidikannya. Sang musisi sekaligus aktor itu meninggal di Philadelphia pada 1976.


Sementara itu, Du Bois tak kenal lelah memperjuangkan hak asasi orang-orang kulit hitam dan kulit berwarna. Sebagai cendekiawan dan aktivis, ia banyak diundang untuk berbicara dan berpartisipasi dalam forum-forum internasional. Presiden Rusia, Nikita Krushchev menganugerahinya Penghargaan Perdamaian Lenin pada 1959.


George K. Danns dan Paget Henry mencatat dalam “W.E.B. Du Bois As Anticolonialist Activist and Theoritician,” termuat di The Oxford Handbook of W.E.B. Du Bois, sang aktivis menjabat sebagai penasihat politik Presiden Ghana, Kwame Nkrumah dan ditugaskan untuk menulis Encyclopedia Africana.


“Du Bois diserang, didakwa, dipaksa mengasingkan diri, dan diberangus oleh pemerintah Amerika Serikat karena aktivisme globalnya dan ideologi yang dianutnya. Ia juga dimusuhi karena keterlibatannya dengan musuh-musuh Amerika, termasuk Uni Soviet dan Tiongkok. Setelah pemerintahnya gagal memperbarui paspornya, Du Bois melepaskan kewarganegaraan AS-nya agar dapat terus melakukan perjalanan sebagai aktivis global. Du Bois tinggal dari tahun 1961 di Ghana sebagai tamu Presiden Nkrumah hingga kematiannya pada 1963. Rumahnya di Ghana telah diubah menjadi W.E.B. Du Bois Memorial Centre for Pan-African Culture,” tulis Danns dan Henry.*

Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian
Hind Rajab dan Keheningan yang Memekakkan Telinga

Hind Rajab dan Keheningan yang Memekakkan Telinga

Film “The Voice of Hind Rajab” jadi antidot amnesia kisah bocah Gaza yang dibantai Israel dengan 335 peluru. PBB menyertakan tragedinya sebagai bagian dari genosida.
Orde Baru “Memfitnah” Orang Dayak

Orde Baru “Memfitnah” Orang Dayak

Dulu, orang Dayak dituduh pembakar hutan yang lebih berbahaya dari industri. Padahal, tidak banyak lahan hutan alam Kalimantan yang mereka gunduli.
Arsip Korupsi Sejak Zaman Kompeni

Arsip Korupsi Sejak Zaman Kompeni

Korupsi sejak masa VOC hingga kolonial Belanda terekam dalam arsip. Korupsi akan terus ada karena berkaitan dengan kekuasaan, kewenangan, dan keserakahan manusia.
Ziarah Sejarah ke Petamburan (1)

Ziarah Sejarah ke Petamburan (1)

Dari pelatih sepakbola Timnas Indonesia Toni Pogacnik hingga pembalap Hengky Iriawan. Sejumlah pahlawan olahraga yang mewarnai sejarah Indonesia dimakamkan di TPU Petamburan.
Foto "Gadis Napalm" yang Kontroversial

Foto "Gadis Napalm" yang Kontroversial

Cerita di balik potret bocah-bocah yang menangis histeris saat terjadi serangan napalm di Perang Vietnam. Kini atribusi fotonya jadi polemik.
bottom of page