top of page

Sejarah Indonesia

Amat Jantan

Amat Jantan Indonesia

Para pemuda menjadi pembantu prajurit Jepang di medan perang. Amat dijadikan teladan dan keberanian.

4 Maret 2015

Dengarkan artikel

bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Orang yang diduga Amat, seorang Heiho di Angkatan Laut Jepang. Foto: dok. Rusdhy Hoesein dan KITLV.

AMAT, salah seorang anggota barisan pembantu prajurit Jepang (Heiho) di Angkatan Laut, dipuja bak pahlawan. Kisah keberanian dan pengorbanannya dipropagandakan melalui drama, film, hingga lagu.


Pemerintah pendudukan Jepang memobilisasi para pemuda untuk bergabung dengan pasukan-pasukan semimiliter. Salah satunya Heiho, yang dibentuk pada April 1943. Syaratnya, pemuda berusia 18-25 tahun, berbadan sehat, berkelakuan baik, dan pendidikan minimal sekolah dasar. Mereka dijanjikan akan ditempatkan di Angkatan Darat dan Angkatan Laut Jepang.


Nyatanya, Heiho dimaksudkan untuk membantu pekerjaan-pekerjaan kasar di kesatuan-kesatuan angkatan perang Jepang. “Oleh karena barisan Heiho ini adalah barisan tenaga pekerja, maka umumnya tidak diberi senjata kepada mereka, kecuali satu taikeng (sangkur) yang merupakan satu bagian mutlak dari pakaian seragam yang lengkap,” tulis O.D.P. Sihombing dalam Pemuda Indonesia Menantang Fasisme Djepang.


Para Heiho kemudian diberi senjata ketika Jepang semakin terdesak oleh Sekutu. Mereka berperang bersama para serdadu Jepang. Dari sinilah kisah Amat, yang kemudian dikenal dengan sebutan “Amat Heiho Jantan Indonesia”, bermula.


Amat terkenal ketika Sekutu berusaha merebut Balikpapan pada 21 Mei 1945 –sumber lain menyebut di Tarakan, Kalimantan. Amat dipropagandakan Jepang sebagai “teladan dan keberanian yang tiada tandingannya, yaitu dengan mengorbankan dirinya sebagai torpedo berjiwa menghancurkan kapal-kapal perang musuh,” tulis Bambang Gunardjo dan Lesek Keti Ara dalam Buku Pantjawindhu Kebangkitan Perdjungan Pemuda Indonesia.


Kotot Sukardi, pemimpin Perserikatan Oesaha Sandiwara Djawa (POSD) bentukan Departemen Propaganda Jepang (Sendenbu), membuat drama “Turut Bersama Amat”. Sandiwara tersebut membawa pesan semangat berjuang bernyala-nyala untuk membenci musuh dan menuntut bela atas kematian Amat. Ia dipentaskan pada 18-22 Juni 1945 secara serentak di Jakarta, Surabaya, Semarang, Yogyakarta, Bondowoso, dan Situbondo. Sebagian pendapatannya disumbangkan untuk keluarga almarhum Amat.


Selain drama, kisah Amat dijadikan film propaganda berdurasi 30 menit dan sebuah lagu berjudul “Amat Heiho Jantan Indonesia” yang dinyanyikan di mana-mana. Liriknya: Amat Heiho Jantan Indonesia / Nun di Tarakan membela negara / Mati berjuang tiada tara / Membela negara gagah perwira.


Banyak orang menganggap Amat adalah sosok misterius, bahkan fiktif. Namun, menurut M. Sunjata Kardarmadja dan Sutrisno Kutoyo dalam Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Nusa Tenggara Barat, Amat adalah tokoh nyata. Pada Juni 1945, Sukarno menyaksikan penguburan Amat di Tarakan.


Kehadiran Sukarno bisa jadi bagian dari propaganda Jepang. Sebab, sebagai konsekuensi kerjasama dengan Jepang, Sukarno kerap terlibat dalam proyek-proyek propaganda Jepang.


Terlepas Amat fiktif atau nyata, para pemuda yang bergabung menjadi Heiho diperkirakan 42.000 orang (Jawa 24.873, Timor 2.504, dan 15.000 daerah lain). Bagi orang Jepang, anggota Heiho lebih terlatih dalam kemiliteran daripada tentara Pembela Tanah Air (Peta) yang didirikan pada Oktober 1943, karena kedudukannya sebagai pembantu prajurit Jepang di medan perang. Di antara mereka ada yang memegang senjata antipesawat terbang, tank, artileri, dan pengemudi. Namun tidak seorang pun yang berpangkat perwira karena pangkat itu hanya diberikan untuk orang Jepang. Hal ini berbeda dari tentara Peta.

Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian
Dari Gas hingga Listrik

Dari Gas hingga Listrik

NIGM adalah perusahaan besar Belanda yang melahirkan PLN dan PGN. Bersatunya perusahaan gas dan listrik tak lepas dari kerja keras Knottnerus di era Hindia Belanda.
Pangku yang Memotret Kehidupan Kaum Pinggiran

Pangku yang Memotret Kehidupan Kaum Pinggiran

Film perdana Reza Rahadian, “Pangku”, tak sekadar merekam kehidupan remang-remang lewat fenomena kopi pangku. Sarat pesan humanis di dalamnya.
Soebandrio Tidak Menyesal Masuk Penjara Orde Baru

Soebandrio Tidak Menyesal Masuk Penjara Orde Baru

Soebandrio dikenal memiliki selera humor yang tinggi. Selama menjadi tahanan politik Orde Baru, dia mendalami agama Islam, sehingga merasa tidak rugi masuk penjara.
Khotbah dari Menteng Raya

Khotbah dari Menteng Raya

Tak hanya mendatangkan suara, Duta Masjarakat juga menjadi jembatan Islam dan nasionalis sekuler. Harian Nahdlatul Ulama ini tertatih-tatih karena minim penulis dan dana.
Lagi, Seruan Menolak Gelar Pahlawan Nasional Bagi Soeharto

Lagi, Seruan Menolak Gelar Pahlawan Nasional Bagi Soeharto

Wacana penganugerahan gelar pahlawan nasional bagi Soeharto kian santer. Dinilai sebagai upaya pengaburan sejarah dan pemutihan jejak kelam sang diktator.
bottom of page