- Randy Wirayudha

- 14 Agu
- 6 menit membaca
INDONESIA dan Malaysia kembali meributkan perbatasan. Negara serumpun yang sama-sama merdeka di bulan Agustus ini menyengketakan sebuah blok laut yang oleh Indonesia disebut Blok Ambalat sementara Malaysia menyebutnya Laut Sulawesi. Saling klaim “kedaulatan harga mati” antara negeri jiran ini melulu jadi perkara pasca-Konfrontasi walau belakangan ada ide pengelolaan sumber daya alam (SDA) bersama.
Kendati perihal negosiasi dan penetapan teritorial akan jadi urusan Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Pertahanan, Menteri Energi dan Sumber Daya Alam Mineral (ESDM) RI Bahlil Lahadalia di kantor Kementerian ESDM, Senin (11/8/2025) lalu, menegaskan kembali adanya ide pengelolaan SDA bersama. Ide tersebut dilontarkan Presiden Prabowo Subianto pada 27 Juni 2025 setelah mengadakan pertemuan terbatas dengan Perdana Menteri (PM) Malaysia Anwar Ibrahim di Jakarta.
PM Anwar sendiri kemudian dihujani kritik oleh beberapa politisi. Salah satunya Wakil Ketua Menteri Sabah Datuk Seri Jeffrey Kitingan. Pada 1 Juli 2025, Datuk Seri mengatakan “kesepakatan” itu terjadi tanpa konsultasi dengan Negara Bagian Sabah.
Menanggapi kritikan, Menteri Luar Negeri (Menlu) Malaysia Mohamad Hasan, yang akrab disapa “Tok Mat”, memastikan pada para anggota Dewan Rakyat bahwa “kesepakatan” itu belum jadi keputusan resmi. Malaysia tetap keukeuh mempertahankan klaim perairan itu, utamanya di Blok ND-6 dan ND-7, yang disebutnya sebagai Laut Sulawesi. Malayasia menolak istilah Blok Ambalat, sebab itu adalah istilah buatan Indonesia –singkatan dari “ambang batas laut”.
“Malaysia mempertahankan bahwa Blok ND-6 dan ND-7 adalah berada di dalam wilayah kedaulatan Malaysia dan hak kedaulatan negara berdasarkan hukum internasional yang didukung ketetapan International Court of Justice (ICJ) pada 2002. Untuk itu istilah yang lebih akurat untuk area yang dimaksud sejalan dengan posisi Malaysia adalah Laut Sulawesi, bukan Ambalat,” ujar Tok Mat di hadapan Dewan Rakyat Malaysia, dilansir Malay Mail, 5 Agustus 2025.

Sengketa Sempadan Tak Kunjung Akur
Saling klaim sempadan di Blok Ambalat yang terbelah antara Negara Bagian Sabah dan Provinsi Kalimantan Utara itu jadi warisan kolonial yang belum tuntas hingga kini. Yang dimaksud adalah ketika Belanda –sebagai negeri induk Hindia Belanda– dan Inggris –negeri induk British Malaya– duduk bersama menentukan tapal batas di Pulau Kalimantan via Convention between Great Britain and the Netherlands defining Boundaries in Borneo alias Konvensi 1891. Kesepakatan tersebut ditandatangani di London pada 20 Juni 1891.
Konvensi 1891 berisi delapan pasal, namun hanya menentukan batas-batas darat paling timur di Pulau Sebatik. Sempadan Ambalat yang jadi sengketa hanya terdapat di Pasal ke-4 yang memisahkan Pulau Sebatik: “Dari 4° 10’ garis lintang utara di pantai timur perbatasan akan diteruskan ke timur sejurus garis paralel, melintasi Pulau Sebittik (Sebatik, red.). Porsi pulaunya (di utara) disituasikan milik British North Borneo Company dan porsi selatan dari garis paralelnya milik Belanda.”
Sehingga banyak pihak yang menginterpretasikan pasal itu dengan mengatakan bahwa pembagian wilayahnya berdasarkan tapal batas 4° 10’ LU tidak hanya sebagai perbatasan wilayah semata namun juga menentukan status kepemilikan wilayah, di kemudian hari. Setelah kemerdekaan dan lahirnya Republik Indonesia, bagian area Ambalalat (selatan) itupun jadi bagian dari teritorial Indonesia yang tetap berdasarkan perjanjian Inggris-Belanda (1891),” tulis Khoirur Rizal Lutfi dalam artikel “Legitimacy of Indonesia’s Claim over Ambalat Block: Perspective of International Law” di Jurnal Khazanah, Vol. III, No. 1, Juni 2010.
Persoalan ini tak pernah masuk ke meja diplomasi. Pada 1963, pemerintahan Sukarno pilih melancarkan Konfrontasi. Sebagai tindak lanjut dari penyelesaian konfrontasi setahun sebelumnya, pada 1967 Indonesia dan Malaysia memasuki penyelesaian secara damai meski baru dituntaskan pada 1969 lewat Perjanjian Tapal Batas yang diteken kedua pihak di Kuala Lumpur.
“Persoalan klaim (batas maritim) diketahui setelah pada tahun 1967 dilakukan pertemuan teknis pertama kali mengenai hukum laut antara Indonesia dan Malaysia. Kedua belah pihak bersepakat, kecuali (pulau) Sipadan dan Ligitan diberlakukan sebagai keadaan status quo. Pada 27 Oktober 1969 dilakukan penandatanganan perjanjian antara Indonesia dan Malaysia yang disebut Perjanjian Tapal Batas Kontinental Indonesia-Malaysia,” ungkap Sutaryo dkk. dalam Membangun Kedaulatan Bangsa Berdasarkan Nilai-Nilai Pancasila: Pemberdayaan Masyarakat dalam Kawasan Terluar, Terdepan, dan Tertinggal (Kumpulan Makalah Call for Papers Kongres Pancasila VII).
Berdasarkan perjanjian itu, kemudian Blok Ambalat diklaim Indonesia dan perjanjian itu kemudian diratifikasi dengan Keppres No. 89 Tahun 1969 dan Lembar Negara (LN) No. 54 Tahun 1969. Namun, kemudian muncul perkara baru setelah Malaysia membuat peta baru yang memasukkan Pulau Sipadan dan Ligitan, dekat Blok Ambalat, ke dalam wilayahnya.
“Malaysia membuat peta baru yang memasukkan Sipadan, Ligitan, dan Batu Puteh (Pedra Blanca). Tentunya hal ini membingungkan Indonesia dan Singapura dan pada akhirnya Indonesia maupun Singapura tidak mengakui peta baru Malaysia tersebut. Kemudian pada 17 Maret 1970 kembali ditandatangani Persetujuan Tapal Batas Laut Indonesia dan Malaysia. Akan tetapi pada 1979 Malaysia membuat peta baru (lagi) mengenai tapal batas kontinental dan maritim secara sepihak membuat perbatasan maritimnya sendiri dengan memasukkan blok maritim Ambalat ke dalam wilayahnya dengan memajukan koordinat 4° 10’ arah utara melewati Pulau Sebatik,” lanjut Sutaryo dkk.
Tentu Indonesia tak mengakuinya dan memprotes. Terlebih ada Konvensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNCLOS) 1982, di mana Indonesia sebagai negara kepulauan punya hak menarik garis lurus yang menghubungkan titik-titik terluar pulau-pulau terluarnya. Bertolak dari hukum laut, pergulatan di jalur diplomasi pun terus berlangsung dalam tempo yang cukup lama. Pada akhirnya Malaysia menguatkan klaimnya terhadap Ambalat, yang punya potensi cadangan minyak dan gas bumi, pasca-memenangkan gugatan soal Sipadan dan Ligitan di ICJ pada 2002.
“Setelah selesainya kasus Sipadan dan Ligitan, timbul masalah baru, yaitu penentuan garis batas laut teritorial Indonesia bagian timur Kalimantan Timur (kawasan Ambalat). Masalah Ambalat sebenarnya sudah melalui proses yang relatif panjang kemudian sampai pada puncaknya, yaitu setelah Malaysia melalui perusahaan minyaknya, Petronas, memberikan hak eksplorasi kepada perusahaan Shell di wilayah perairan laut di timur Kalimantan Timur yang diberi nama Blok ND 6 dan ND 7. Malaysia secara tegas menyatakan Ambalat milik mereka dan sudah dijual kepada perusahaan asing,” ungkap Ida Kurnia dalam artikel “Sengketa antara Indonesia dan Malaysia di Kawasan Ambalat”, Jurnal Proris, Vol. 2, No.2, Februari 2009.
Hal itu kemudian menimbulkan tumpang tindih soal hak eksplorasi di Ambalat, mengingat pemerintah Indonesia juga sudah memberikan konsensi di Blok Ambalat dan Blok Timur Ambalat kepada perusahaan minyak Italia, ENI, pada 1999 dan perusahaan minyak Unocal pada 2004. Ketegangan yang melibatkan kekuatan militer kedua negara setelah Malaysia menolak nota diplomatik Indonesia pun terjadi.
“Pada 3 Maret 2005, pesawat (Beechcraft) Super King Malaysia dua kali melanggar perbatasan perairan Tarakan. Pesawat pengintai itu bahkan bermanuver selama 10 menit di atas tiga kapal perang Indonesia, (korvet) KRI Nuku dan KRI Wiratno, dan (kapal cepat rudal) KRI Rencong. Pemerintah Indonesia merespons dengan membangun mercusuar di Karang Unarang yang jadi titik terluar baru pasca-kehilangan Sipadan dan Ligitan,” tulis Syamsul Hadi dalam “The Dispute of Ambalat in the Perspective of Indonesian Foreign Policy in the Post-New Order Era” di Indonesian Journal of International Law, Vol. 12, No. 1, Oktober 2014.
Dari beragam insiden lain yang juga meliputi penangkapan banyak nelayan Indonesia oleh Malaysia, ketegangan antara kedua negeri jiran itu memasuki puncaknya pada 10 April 2005. Saat itu, lanjut Syamsul Hadi, terjadi insiden yang nyaris membuka konflik fisik ketika kapal TDLM (AL Malaysia) KD Renchong bermanuver mengganggu pembangunan mercusuar sehingga kapal patroli cepat KRI Tedong Naga milik TNI AL mesti mengusirnya hingga terjadi saling serempet.
“Walau bagaimanapum, campur tangan kedua pemimpin, Perdana Menteri Abdullah Ahmad Badawi dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berhasil menghindarkan kejadian buruk berlaku. Perundingan sebaliknya diadakan Menteri Luar Negeri Datuk Seri Syed Hamid Albar terbang ke Jakarta bertemu koleganya, Dr. Hasan Wirayuda,” ungkap Wan Shawaluddin Wan Hassan dan Ramli Dollah dalam artikel “Laut Sulawesi dalam Hubungan Indonesia-Malaysia” termaktub di buku Malaysia-Indonesia: Perbezaan Identiti dalam Hubungan Sebangsa.
Sebagaimana yang terjadi hari ini, muncul ide pembangunan dan pengelolaan bersama (joint development) sebagai solusi sengketa yang kala itu datang dari pihak Malaysia. Namun Menlu RI Hasan Wirayuda menolak dan tetap pada klaim kedaulatan bahwa Blok Ambalat milik Indonesia dan Indonesia yang berstatus negara kepulauan punya posisi lebih kuat berdasarkan UNCLOS 1982.
Selebihnya, persoalan Ambalat melulu buntu. Insiden-insiden serupa berupa gangguan kapal perang atau pesawat Malaysia kembali terjadi beberapa kali. Kapal-kapal TNI AL terpaksa harus terus-menerus mengusirnya.
Terbaru, seiring kunjungannya ke Jakarta pada 27-29 Juni 2025, PM Anwar Ibrahim mendiskusikannya dengan Presiden Prabowo. Keduanya menyampaikan gagasan pengelolaan bersama lagi sebagai solusi sengketa berkepanjangan.
“Masalah perbatasan, masalah-masalah yang menurut kami berdua adalah masalah-masalah yang harus kita selesaikan secepatnya demi kepentingan yang lebih besar, yaitu hubungan persahabatan dan juga hubungan kerja sama yang erat antara kedua negara yang memiliki banyak kesamaan. Contoh masalah Ambalat, kita sepakat bahwa sambil kita saling menyelesaikan masalah-masalah hukum, kita sudah ingin mulai dengan kerja sama ekonomi yang kita sebut joint development. Apapun yang kita ketemu di laut itu, kita akan bersama-sama mengeksploitasinya,” tegas Presiden Prabowo, dikutip laman kepresidenan, 27 Juni 2025.
PM Anwar Ibrahim saat itu antusias menyambut gagasan tersebut mengingat perundingan melulu buntu. Namun, belakangan pernyataannya berlainan. Dia berjanji mempertahankan teritorial Sabah dengan Laut Sulawesi alias Ambalat yang termasuk di dalamnya.
“Kita pertahankan hak Sabah, satu inci pun tidak akan kita korbankan. Ini negara kita. Begitu juga kalau luar sempadan dengan Indonesia. Tapi saya pilih berunding dengan sahabat. Bukanlah kita menyerah tapi berunding secara baik,” tandas PM Anwar, disitat Harian Metro, 3 Agustus 2025.













Komentar