- Martin Sitompul

- 7 Agu
- 4 menit membaca
POLITIKUS yang juga mantan Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto mendapat amnesti dari Presiden Prabowo. Hasto beberapa waktu sebelumnya mendekam dalam tahanan KPK karena kasus suap pergantian antar waktu anggota DPR ke KPU yang melibatkan kader PDIP Harun Masiku. Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta mendakwa Hasto bersalah dengan vonis hukuman 3,5 tahun penjara. Tapi, Hasto kini tak perlu lagi menjalani hukuman di penjara karena sudah menghirup udara bebas.
Amnesti bagi Hasto ini, seperti diungkapkan Menteri Hukum Supratman Andi Agtas, dalam rangka menjalin persatuan menjelang hari kemerdekaan. Amnesti merupakan pengampunan yang diberikan kepala negara bagi seseorang yang dinyatakan bersalah dalam tindakan pidana. Dalam sejarah, setiap presiden Indonesia selalu menggunakan hak amnesti pada masing-masing pemerintahannya. Mulai dari Presiden Sukarno hingga kini Presiden Prabowo.
Pada masa kepresidenan Sukarno, amnesti diberikan pada mereka yang terlibat dalam Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Bagi pemerintah, PRRI merupakan gerakan pemberontakan daerah untuk menentang otoritas pusat. PRRI diproklamasikan di Padang, Sumatra Barat pada 15 Februari 1958 oleh Kolonel Achmad Husein dengan menetapkan Sjafruddin Prawiranegara, tokoh Partai Masjumi, sebagai perdana menteri. Dengan tujuan yang sama, dalam PRRI melebur Perjuangan Semesta (Permesta) yang bergerak di Sulawesi Utara sehingga dalam historiografi nasional lazim disebut pemberontakan PRRI-Permesta.
Namun, PRRI-Permesta, bagi sebagian orang Sumatra dan Sulawesi tak melulu dipandang sebagai pemberontakan. Termasuk pula Indonesianis terkemuka Barbara Silars Harvey yang dalam bukunya menyebut Permesta: Pemberontakan Setengah Hati. Bagi para politisi sipil maupun panglima daerah yang dicap pembangkang itu, PRRI-Permesta adalah koreksi terhadap pemerintah pusat sehubungan dengan tuntutan otonomi daerah. Dari pedalaman daerah di Sumatra dan Sulawesi, mereka melancarkan perang gerilya menghadapi tentara pusat yang banyak memakan korban. Setelah menggempur habis-habisan lewat operasi militer, pemerintah mengulurkan tangan pada gembong PRRI untuk kembali ke pangkuan ibu pertiwi.
“Baik di Sumatra maupun Sulawesi, secara praktis kekuatan PRRI/Permesta sudah lumpuh. Namun, untuk beberapa waktu lamanya mereka masih mengadakan perlawanan secara gerilya. Secara keseluruhan, perlawanan ini berakhir pada tahun 1961 dengan menyerahnya para pemimpin PRRI/Permesta,” demikian dicatat dalam Sejarah Nasional Indonesia Jilid 6: Zaman Jepang dan Zaman Republik yang disunting Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosutanto.
Pada 17 Agustus 1961, Presiden Sukarno menerbitkan keputusan untuk memberi amnesti terhadap orang-orang yang terlibat dalam PRRI-Permesta. Selain kelompok PRRI-Permesta, amnesti juga terbuka bagi mereka yang terlibat pemberontakan Kartosuwiryo di Jawa Barat dan Jawa Tengah, pemberontakan Ibnu Hadjar di Kalimantan Selatan, dan pemberontakan Republik Maluku Selatan (RMS). Amnesti berlaku selambat-lambatnya hingga 5 Oktober 1961. Agar sampai tenggat waktu tersebut, para pemberontak telah melapor dan bersedia membaktikan diri kepada Republik. Mereka yang bersedia menerima amnesti itu harus menyatakan sumpah setia menurut agama masing-masing. Isi pernyatan sumpah itu berbunyi demikian:
“Saya bersumpah setia kepada Undang-Undang Dasar, Manifesto Politik yang telah menjadi Garis-garis besar daripada Haluan Negara, Nusa dan Bangsa, revolusi, dan Pemimpin Besar Revolusi,” sebagaimana termaktub dalam arsip Lembaran Negara Tahun 1961 No. 272 tentang “Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 449 Tahun 1961”.
Selain Sjafruddin Prawiranegara, sejumlah tokoh sipil tergabung dalam PRRI-Permesta. Mereka umumnya tokoh-tokoh dari Partai Masjumi dan Partai Sosialis Indonesia (PSI) seperti Mohammad Natsir, Burhanuddin Harahap, Mr. Assaat, Sumitro Djojohadikusumo, Sutan Mohammad Rasjid dan Tan Po Goan. Sementara itu, dari kalangan militer antara lain: Kolonel Achmad Husein, Kolonel Maludin Simbolon, Kolonel Alex Kawilarang, Kolonel Zulkifli Lubis, Letkol Ventje Sumual, Mayor Sahala Hutabarat, dan Mayor Boyke Nainggilan. Ketika pemerintah menawarkan amnesti, beberapa dari tokoh-tokoh tersebut menyambutnya dengan menyerahkan diri.
Sjafruddin Prawiranegara memutuskan menghentikan pelawanan begitu tawaran amnesti diterbitkan. Pada 25 Agustus 1961, Sjafruddin menyerahkan diri Padang Sidempuan. Menyusul kemudian Natsir, yang menyerahkan diri pada 25 September 1961. Natsir sempat mencoba membujuk Daud Beureuh –yang menyalakan pemberontakan di Aceh– untuk menyerah, namun tidak berhasil.
“Sebagaimana terlihat dalam sejarah Darul Islam/Tentara Islam Indonesia, Kahar Muzakkar dan Daud Beureueh tetap meneruskan perlawanan,” tulis Jan Sihar Aritonang dalam Sejarah Perjumpaan Islam dan Kristen di Indonesia.
Namun, sejumlah nama lain juga menolak tawaran amnesti. Sebut saja seperti Mohammad Rasjid dan Sumitro yang terus melanjutkan perjuangannya di luar negeri. Mereka baru kembali setelah rezim Sukarno digantikan oleh Orde Baru yang dipimpin Jenderal Soeharto.
Di kalangan militer, Achmad Husein melaporkan diri lebih dulu pada 29 Mei 1961. Menyerahnya Husein diikuti oleh sejumlah koleganya yang lain. Kolonel Maludin Simbolon bersama staf dan pasukannya dari Divisi Pusuk Buhit yang berjumlah 12.000 personel menyerahkan diri secara resmi pada 21 Juli 1961 di Balige, Sumatra Utara. Penyerahan diri Simbolon diterima oleh Panglima Kodam II –yang dulu merupakan bawahan Simbolon– Letkol Abdul Manap Lubis. Sementara itu, Kolonel Zulkifli Lubis menyerahkan diri bersama 19 anak buahnya di Solok, Sumatra Barat pada 18 Agustus 1961.
Menurut sejarawan Richard Zakaria Leirissa, amnesti bagi orang-orang PRRI punya porsi berbeda. Tergantung dari kedudukan dan keterlibatan mereka. Selain para pemimpinnya, ribuan pelajar dan mahasiswa yang tergabung dalam pasukan PRRI-Permesta yang menyerahkan diri berangsur-angsur dikirimkan ke Jawa. Dalam susunan batalion-batalion, mereka ditempatkan di berbagai tempat atau asrama untuk rehabilitasi.
“Berdasarkan syarat-syarat tertentu, sebagian di antara mereka melanjutkan pengabdian di bidang militer TNI, sebagian lagi kembali ke dalam kehidupan masyarakat sipil biasa,” terang Leirissa dalam PRRI Permesta: Strategi Membangun Indonesia Tanpa Komunis.
Sementara itu, mereka yang punya peran dan posisi krusial dalam PRRI-Permesta tak serta merta memperoleh kebebasan setelah beroleh amnesti. Untuk tokoh-tokoh seperti Sjafruddin, Natsir, Burhanuddin Harahap, Husein, Simbolon, Lubis, Sumual, dan nama-nama lain yang dianggap pemuka utama dalam gerakan, harus menjalani penahanan untuk beberapa waktu lamanya. Dalam bahasa yang lebih halus, pemerintah menyebut penahanan ini sebagai karantina politik. Seperti mereka yang memilih menolak amnesti dari pemerintah, karantina politik bagi para tokoh tersebut baru berakhir setelah rezim Sukarno lengser.*












Komentar