top of page

Sejarah Indonesia

Asal Usul Jalan Tol Di Indonesia

Asal Usul Jalan Tol di Indonesia

Kali pertama jalan tol diusulkan, ditolak karena dianggap kuno. Kini, pembangunan tol gencar dilakukan.

3 September 2015

Dengarkan artikel

bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Pembangunan jalan tol menuju Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta. (Nugroho Sejati/Historia).

MENJELANG akhir bulan puasa tahun 2015, Presiden Joko Widodo meresmikan jalan tol terpanjang di Indonesia, yaitu Cipali atau Cikopo-Palimanan. Selanjutnya, ada beberapa proyek tol yang sedang dibangun, seperti Solo-Kertosono, Balikpapan-Samarinda, empat ruas tol Sumatera, enam tol dalam kota Jakarta dan beberapa proyek tol lainnya.


Orang yang pertama kali mengusulkan jalan tol adalah Walikota Jakarta, Sudiro (menjabat tahun 1953-1960). Usulan jalan berbayar itu sebagai cara pemerintah daerah Kotapraja Jakarta mendapatkan dana tambahan untuk pembangunan.


“Pemerintah Daerah Kota Praja Jakarta Raya berusaha keras, karena pengeluarannya terus meningkat, padahal subsidi dari pemerintah pusat tetap terbatas,” tulis Subagijo IN dalam Sudiro Pejuang Tanpa Henti.


Selain tol, Sudiro juga mengusulkan retribusi satu sen dari harga normal bensin, namun ditolak menteri perekonomian; dan airport tax atau pajak bandar udara Kemayoran yang diusulkan bersama Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sementara (DPRDS), juga ditolak pemerintah pusat.


Sudiro bersama Badan Pemerintah Harian Kotapraja Jakarta menyampaikan usul jalan tol kepada DPRDS pada 1955. Usul itu muncul karena sedang pembangunan jalan raya, yang sekarang disebut Jalan Sudirman-MH Thamrin, dengan anggaran yang sangat besar.


“Di jembatan panjang, pada ujung jalan MH Thamrin itulah, diusulkan untuk didirikan tempat guna pemungutan toll bagi tiap kendaraan bermotor yang lewat di situ,” tulis Soebagijo. “Usul ini ditentang keras oleh DPRDS.”


Alasannya, ada anggota DPRDS menganggap tol akan menghambat laju lalu lintas. Anggota lain menyebut tol sebagai pajak kuno. Alasan terakhir ada benarnya. Penerapan pungutan uang untuk jalan sudah dilakukan pada zaman kolonial. Pemerintah kolonial menyewakan gerbang pemungutan tol kepada kalangan Tionghoa. Bahkan, tarif pajak didasarkan kepada kedudukan gerbang tol, selain tingkat kemakmuran rata-rata di suatu distrik.


“Jadi sepikul (61,175 kg) beras harus membayar pajak sebesar 44 sen di Ampel. Sebuah gerbang tol di Surakarta yang telah lama didirikan pada jurusan Sala-Salatiga, hanya akan terkena pajak 15 sen pada gerbang tol utama Panaraga di Jawa Timur, 8 sen di bandar Pacitan di pantai selatan dan hanya ditarik 2 sen saja di rangkah pager Waru di Pacitan,” tulis Peter Carey dalam Orang Cina, Bandar Tol, Candu, dan Perang Jawa.


Ketika tol dianggap ketinggalan zaman, beberapa negara menggunakan sistem tol tersebut. Hal itu berdasarkan pengalaman Sudiro sendiri ketika mengunjungi Amerika Serikat. “Tatkala Sudiro sendiri pada tahun 1961 naik mobil dari New York ke Washington, di tempat tertentu diharuskan membayar toll. Apakah dengan demikian di USA hingga saat ini toll itu juga dianggap sebagai pajak kuno,” tulis Subagijo.


Jalan tol yang dianggap kuno akhirnya dibangun juga 18 tahun kemudian, ketika pembangunan jalan tol pertama di Indonesia dimulai pada 1973. Jalan tol Jagorawi (Jakarta-Bogor-Ciawi) sepanjang 46 km itu dioperasikan pada 9 Maret 1978.


Pembangunan jalan tol sekarang ini juga mendapatkan penentangan dengan alasan tidak akan menyelesaikan masalah lalu-lintas. Namun, pemerintah jalan terus bahkan pembangunan jalan tol dilakukan di berbagai daerah.

Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian
Dari Gas hingga Listrik

Dari Gas hingga Listrik

NIGM adalah perusahaan besar Belanda yang melahirkan PLN dan PGN. Bersatunya perusahaan gas dan listrik tak lepas dari kerja keras Knottnerus di era Hindia Belanda.
Pangku yang Memotret Kehidupan Kaum Pinggiran

Pangku yang Memotret Kehidupan Kaum Pinggiran

Film perdana Reza Rahadian, “Pangku”, tak sekadar merekam kehidupan remang-remang lewat fenomena kopi pangku. Sarat pesan humanis di dalamnya.
Soebandrio Tidak Menyesal Masuk Penjara Orde Baru

Soebandrio Tidak Menyesal Masuk Penjara Orde Baru

Soebandrio dikenal memiliki selera humor yang tinggi. Selama menjadi tahanan politik Orde Baru, dia mendalami agama Islam, sehingga merasa tidak rugi masuk penjara.
Khotbah dari Menteng Raya

Khotbah dari Menteng Raya

Tak hanya mendatangkan suara, Duta Masjarakat juga menjadi jembatan Islam dan nasionalis sekuler. Harian Nahdlatul Ulama ini tertatih-tatih karena minim penulis dan dana.
Lagi, Seruan Menolak Gelar Pahlawan Nasional Bagi Soeharto

Lagi, Seruan Menolak Gelar Pahlawan Nasional Bagi Soeharto

Wacana penganugerahan gelar pahlawan nasional bagi Soeharto kian santer. Dinilai sebagai upaya pengaburan sejarah dan pemutihan jejak kelam sang diktator.
bottom of page