- Petrik Matanasi
- 10 Mar
- 3 menit membaca
SEKRETARIS Kabinet Teddy Indra Wijaya kembali jadi pemberitaan. Pria yang akrab disapa Mayor Teddy itu mendapat kenaikan pangkat satu tingkat, dari mayor menjadi letnan kolonel (letkol).
Kontan saja hal tersebut menuai kritik berbagai pihak. Salah satunya dari lembaga Imparsial. Direktur Imparsial Ardi Manto Adiputra mengatakan kenaikan pangkat Mayor Teddy tersebut merupakan penyalahgunaan wewenang.
“Seharusnya, sesuai dengan prinsip dan aturan yang berlaku, Mayor Teddy diwajibkan untuk mengundurkan diri dari dinas aktif militer sebelum menerima jabatan sipil di pemerintahan. Kami menegaskan bahwa sistem kepangkatan dalam TNI harus tetap berlandaskan meritokrasi dan profesionalisme guna menjaga kehormatan serta integritas institusi TNI,” ujarnya, dikutip tempo.co, 8 Maret 2025.
Apa yang dialami Teddy –jika bukan sebuah bentuk kesalahan oleh institutis– merupakan hal yang baru, sebab umumnya seorang tentara baru menjadi menteri atau pejabat setingkatnya setelah mencapai atau melewati pangkat mayor jenderal. AM Hendropriyono, contohnya. Waktu diangkat jadi menteri transmigrasi dan permukiman-perambah hutan, dirinya sudah berpangkat mayor jenderal dan pernah menjadi Panglima KODAM Jaya (DKI Jakarta dan sekitarnya). Begitu juga mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Sebelum menjadi menteri pertambangan dan energi, pangkat mayor jenderal sudah disandangnya. Mayor Teddy jelas pengecualian. Dia semacam anak ajaib yang luar biasa.
Apabila mau lebih banyak membaca sejarah bangsa, semestinya Mayor Teddy malu pada seorang yang pernah ikut bertaruh nyawa di Perang Kemerdekaan. Sewaktu zaman revolusi kemerdekaan, ada seorang insinyur asal Rote, Nusa Tenggara Timur bernama Herman Johannes (1912-1992). Pemuda Kristen itu dengan sadar mendukung eksistensi negara Republik Indonesia di kala sulit.
Sehari-harinya, Herman bertugas sebagai kepala laboratorium persenjataan republik yang kekurangan senjata. Dia juga menyambil sebagai pengajar teknik di perguruan tinggi yang kelak menjadi Universitas Gadjah Mada.
“Selama perang kemerdekaan Johannes secara sukarela meninggalkan kampus, ikut perang gerilya, menerima pangkat mayor, dalam posisi sebagai pakar pembuat bom,” catat Julius Pour dalam Doorstoot naar Djokja: Pertikaian Pemimpin Sipil-Militer.
Herman berjasa dalam sabotase jalur militer Belanda dengan “menghancurkan jembatan Bogem di atas Sungai Opak dan Jembatan Sentolo di Sungai Progo.” Mayor Herman juga berjasa mendirikan pemancar radio darurat.
Pada 1950 ketika perang dengan Belanda usai, Hermann memilih kembali jadi sipil. Dia akhirnya dipercaya menteri Tenaga dan Pekerjaan Umum dalam Kabinet Natsir. Dengan sadar, dirinya menanggalkan pangkat mayor-nya sehingga tak ada embel-embel “mayor” dalam penulisan namanya.
Pun ketika sudah tidak jadi menteri, Herman tidak kembali menjadi mayor. Dia memilih kembali menjadi pengajar sains di Universitas Gadjah Mada hingga kemudian menjadi rektornya.
Di masa Orde Baru, Herman memposisikan diri sebagai ilmuwan yang kritis. Dia menyesalkan pernyataan pemerintah ke masyarakat bahwa menatap langsung gerhana matahari bisa menimbulkan kebutaan. Herman menganggap ilmu pengetahuan masyarakat dihadang untuk berkembang dengan informasi yang menurutnya salah.
“Kita kehilangan momen yang sangat berguna untuk kemajuan ilmu pengetahuan,” kata Herman dalam Apa dan Siapa Sejumlah Orang Indonesia 1985-1986.
Teladan sang Pahlawan Nasional itu antara lain kesadaran akan tugasnya di bidang sains hanya membutuhkan ilmu teknik dan sama sekali tak butuh pangkat mayor. Pangkat bukanlah sesuatu yang perlu dibawa ke mana-mana, apalagi ke lembaga yang tidak ada kaitannya dengan pangkat tersebut.
Mirip cerita Herman Johannes yang eksis di zaman Sukarno, di era Orde Baru pun ada tokoh yang mirip. Tapi dia bukan insinyur, melainkan seorang dokter. Namanya Abdul Gafur (1939-2020).
Buku Daftar anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) hasil Pemilihan Umum 1977 menyebutkan, Mayor (Kes) dr Abdul Gafur diangkat menjadi anggota DPR dari Fraksi Golongan Karya ABRI. Namun dia tidak lama dalam jabatan itu, lantaran pada 1978 Mayor dr. Abdul Gafur diangkat menjadi menteri muda Urusan Pemuda hingga 1983.
Di masa itulah dia mengalami nasib seperti Mayor Teddy. Pada 1983, seperti dicatat dalam Pemilihan Umum Tahun 1982 Volume 16, pangkatnya naik menjadi letnan kolonel. Namun, pangkatnya tak pernah disebutkan dalam penyebutan namanya di muka publik. Pun hingga Gafur diangkat menjadi menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) pada 1983 hingga 1988.*













Komentar