top of page

Sejarah Indonesia

Bau Kolonial Istana Kepresidenan Jakarta

Istana Negara mulanya rumah peristirahatan yang dibeli pemerintah kolonial Belanda untuk kediaman gubernur jenderal. Sementara Istana satu lagi, meski bau kolonial, tetapi diberi nama Istana Merdeka.

19 Agustus 2024
bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Seorang petugas berjaga di depan Istana Merdeka sekitar tahun 1920. Di masa lalu, bangunan yang digunakan sebagai kediaman gubernur jenderal itu dikenal dengan nama Koningsplein Paleis. (KITLV).

ISTANA Kepresidenan Jakarta dan Bogor menjadi sorotan setelah Presiden Joko Widodo menyampaikan bahwa dia merasakan bau-bau kolonial di kedua istana tersebut. Sebelum menjadi tempat tinggal resmi presiden Indonesia dan tempat berlangsung berbagai kegiatan kenegaraan, bangunan yang didirikan pada zaman kolonial Belanda itu telah lebih dulu dimanfaatkan sebagai kediaman gubernur jenderal.


Gedung Istana Negara, yang didirikan tahun 1796 mulanya digunakan sebagai rumah peristirahatan Jacob Andries van Braam, seorang pejabat yang dikenal dekat dengan Herman Willem Daendels (Gubernur Jenderal Hindia Belanda 1808–1811) dan pernah menjadi residen di Solo. Puluhan tahun berselang, bangunan tersebut dibeli pemerintah kolonial pada 1821 untuk dijadikan tempat kediaman gubernur jenderal ketika tengah melakukan perjalanan ke Batavia untuk menyelesaikan urusan bisnis, menghadiri audiensi maupun perayaan-perayaan penting.



Menurut sejarawan Adolf Heuken SJ dalam Tempat-tempat Bersejarah di Jakarta, kala itu kediaman resmi gubernur jenderal adalah Istana Bogor. “Rumah van Braam atau Istana Rijswijk dipilih untuk kepala koloni, karena istana Daendels di Lapangan Banteng belum selesai. Setelah gedung itu diselesaikan, digunakan bagi kantor-kantor pemerintah saja,” tulis Heuken.


Sementara itu, A.J. van der Aa menulis dalam Nederlands Oost-Indië: of Beschrijving der Nederlandsche bezittingen in Oost-Indië Volumes 1-2, di masa lalu bangunan ini juga dikenal dengan nama Hotel van den Gouverneur-Generaal atau Hotel Gubernur Jenderal. Digambarkan bahwa bangunan yang menghadap ke utara itu terdiri dari dua lantai dan memiliki pekarangan yang luas. Di salah satu ruangan, pemerintah Hindia Belanda rutin mengadakan pertemuan setiap dua minggu sekali untuk berkonsultasi dan memutuskan kebijakan-kebijakan penting yang akan diterapkan di wilayah koloni. Sedangkan di ruangan lain, gubernur jenderal menerima siapa saja yang ingin menyampaikan kepentingannya kepadanya setiap hari Rabu.


Seiring berjalannya waktu, bangunan ini dirasa terlalu sempit untuk mengakomodasi berbagai kegiatan yang berlangsung di sana. Oleh karena itu, pada pertengahan abad ke-19 muncul gagasan untuk membangun istana baru di area yang berdekatan dengan kediaman gubernur jenderal. Diresmikan pada Januari 1879, Koningsplein Paleis atau kini dikenal sebagai Istana Merdeka kerap difungsikan sebagai tempat untuk berbagai upacara resmi yang dihadiri banyak orang.



“Sedikitnya dua puluh orang telah menggunakan istana ini: lima belas gubernur jenderal Belanda, tiga saiko syikikan atau panglima balatentara Jepang dan dua presiden Republik Indonesia. Tetapi, hanya empat di antara mereka yang benar-benar menggunakan gedung itu sebagai tempat kediaman mereka. Mereka adalah tiga saiko syikikan dan almarhum Presiden Sukarno,” tulis Heuken.


Setelah Indonesia merdeka, kedua istana itu menjadi saksi peristiwa bersejarah. Di Ruang Upacara atau Ruang Resepsi Istana Negara pernah berlangsung penandatangan Persetujuan Linggarjati pada November 1946. Hasil dari persetujuan itu salah satunya adalah mengakhiri pertempuran antara Republik Indonesia dan Kerajaan Belanda untuk sementara waktu dan memungkinkan pembentukan Republik Indonesia Serikat (RIS).


Menurut Heuken, meski Istana Merdeka baru dibangun hampir satu abad setelah Istana Negara, bangunan tersebut memiliki keterkaitan emosional yang lebih besar dengan rakyat Indonesia. Sebab, di depan istana itulah diselenggarakan sebuah upacara yang mengharukan pada 27 Desember 1949, di mana bendera Belanda yang sebelumnya berkibar di sana diturunkan dan diganti dengan bendera Merah Putih.



“Pada hari itu, ratusan ribu orang memenuhi tanah lapangan dan tangga-tangga gedung ini dengan diam mematung. Mata mereka terpaku pada tiang bendera dan tanpa malu-malu menetaskan air mata. Ketika Sang Merah Putih menjulang ke atas dan berkibar, meledaklah kegembiraan mereka dan terdengar teriakan: Merdeka! Merdeka! Oleh karena itu, diputuskanlah menamai gedung ini Istana Merdeka,” tulis Heuken. Upacara pengibaran bendera Merah Putih menjadi bagian dari prosesi pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda yang ditandatangani Sultan Hamengkubuwono IX dan Wakil Ratu Belanda A.H.J. Lovink di Istana Merdeka tahun 1949.


Di masa kepemimpinan Sukarno, Istana Merdeka juga kerap digunakan presiden untuk menerima tamu dari berbagai negara. Pertemuan itu biasanya dilangsungkan di “Ruang Mandat”, di sanalah para duta besar negara asing menyerahkan surat-surat kepercayaan kepada Presiden Sukarno. Selain itu, Istana Merdeka juga menjadi saksi upaya pembunuhan terhadap Sukarno.


Pada 9 Maret 1960 pilot AURI, Letnan Udara II Daniel Alexander Maukar dengan pesawat tempur MIG-17 memberondong Istana Merdeka. Sukarno selamat dari upaya pembunuhan tersebut. Maukar divonis mati, tetapi Sukarno memberinya amnesti.

Comments

Rated 0 out of 5 stars.
No ratings yet

Add a rating
Mayor Udara Soejono Sang Eksekutor Kartosoewirjo

Mayor Udara Soejono Sang Eksekutor Kartosoewirjo

Mayor Soejono disebut sebagai eksekutor imam DI/TII S.M. Kartosoewirjo. Dia kemudian dieksekusi mati karena terlibat G30S.
Bung Karno dan Sepakbola Indonesia

Bung Karno dan Sepakbola Indonesia

Meski punya pengalaman kurang menyenangkan di lapangan sepakbola di masa kolonial, Bung Karno peduli dengan sepakbola nasional. Dia memprakarsai pembangunan stadion utama, mulai dari Lapangan Ikada hingga Gelora Bung Karno.
Juragan Besi Tua Asal Manado

Juragan Besi Tua Asal Manado

Bekas tentara KNIL yang jadi pengusaha kopra dan besi tua ini sempat jadi bupati sebelum ikut gerilya bersama Permesta.
Perdebatan dalam Seminar Sejarah Nasional Pertama

Perdebatan dalam Seminar Sejarah Nasional Pertama

Seminar Sejarah Nasional pertama tidak hanya melibatkan para sejarawan, melainkan turut menggandeng akademisi dan cendekia berbagai disiplin ilmu serta unsur masyarakat. Jadi momentum terbitnya gagasan Indonesiasentris dalam penulisan sejarah nasional Indonesia.
Berlan Kampung Serdadu dan Anak Kolong

Berlan Kampung Serdadu dan Anak Kolong

Sedari dulu, Berlan adalah daerah militer. Di zaman KNIL, Jepang, ataupun Indonesia, tetap sama.
bottom of page