- Petrik Matanasi
- 15 Okt
- 3 menit membaca
HAMPIR setiap hari sekarang ini ada berita tentang sopir. Namun kebanyakan bernuansa negatif sebab para sopir diberitakan bernasib buruk. Mulai dari objek pemeresan aparat ataupun preman hingga ada yang menangis akibat barang-barang bawaan yang hendak dikirimnya dijarah masyarakat saat truk si sopir kecelakaan.
Kondisi para sopir itu jelas berkebalikan dari kondisi sopir di masa lalu. Dulu, saat masih sedikit orang Indonesia bisa menyetir, profesi sopir punya prestise.
Sopir tentu masuk seiring masuknya modernitas di Hindia Belanda (kini Indonesia). Istilah “sopir” sendiri berasal dari bahasa Perancis, yakni chauffeur. Istilah tersebut diserap orang Belanda lalu digunakan hingga ke Hindia. Istilah itu akhirnya dilafalkan sebagai supir atau sopir oleh orang Indonesia. Dalam bahasa Inggris sopir adalah driver. Semua orang bisa mendefinisikan sopir sebagai orang yang mengemudikan mobil. Kini sopir pun merangkap pemilik mobil. Namun, ini tidak berlaku di masa lalu.
Di awal abad ke-20, sopir belum tentu pemilik mobil. Kala itu mobil masih termasuk barang mewah yang hanya dimiliki keluarga kaya. Jadi sopir hanyalah jenis pekerjaan tetap seseorang (profesi), sebagai orang yang mengemudikan mobil milik orang lain. Pemilik mobil di zaman itu belum tentu menyetir mobilnya sendiri. Ada masa menyalakan mesin mobil bukan hal mudah, harus diengkol dari bagian mesin di depan mobil. Jadi pekerjaan itu lebih sukar daripada sekarang.
Pemilik mobil zaman itu biasanya pejabat, pengusaha atau golongan mapan lain. Tiada rakyat jelata. Di antara pemilik mobil itu adalah Wim Wertheim (1907-1998), seorang dosen di Recht Hoge School (Sekolah Tinggi Hukum) di Jakarta sebelum tentara Jepang menduduki Indonesia pada 1942. Di masa itu, kesejahteraan dosen amat baik.
“Kami telah membeli sebuah mobil bekas seharga 500 gulden. Itu pada Maret (1940). Mobilnya murah, tetapi memerlukan banyak bensin. Selain itu, karena saya maupun istri saya tidak dapat mengemudi, kami terpaksa memperbesar staf rumah tangga kami dengan seorang pakar, seorang sopir bernama Kawi,” terang Wim Wertheim seperti dikutip Rudolf Mrazek dalam Engineers of Happy Land.
Namun, di masa pra-pendudukan Jepang itu prestise sopir telah menurun dibanding era awal abad tersebut. Jadi ketika Kawi dijadikan sopir pribadi keluarga Wertheim, profesi sopir sudah menjadi profesi yang lebih umum.
Jauh sebelum Wertheim dan keluarganya tiba di Hindia Belanda, profesi sopir memiliki prestise tinggi. Namun masa kejayaan itu Hindia Belanda teramat singkat.
“Pada masa-masa awal, dan, bila kami tidak keliru, sampai 1908, profesi sopir pada umumnya dianggap bagus, dan sangat dihargai,” kutip Rudolf Mrazek dari suratkabar Motorblad edisi 29 Februari 1928.
Jika dihitung dari kedatangan mobil pertama di Indonesia, yang dimiliki Susuhunan Paku Buwono X dari Kesunanan Surakarta di tahun 1894, maka kejayaan sopir tak lebih dari 15 tahun. Setelah 1894, mobil-mobil lain pun berdatangan. Pemiliknya umumnya pengusaha atau tuan tanah, entah itu orang Eropa maupun Tionghoa.
Ketika mobil-mobil itu tiba, hanya sedikit orang yang bisa menyetir mobil. Sopir pun menjadi ketarampilan/keahlian yang langka. Sampai suratkabar Motorblad membuat istilah disebut “Kesopiran”.
“Kemampuan para pengemudi untuk menemukan tempat mereka di dunia. Hakikat kesopiran adalah merawat mobil,” demikian Motorblad mendefinisikan.
Para pribumi yang umumnya miskin jelas mengidamkan sopir sebagai pekerjaan. Namun ternyata bukan mereka saja yang mengidamkannya. Orang Belanda atau Eropa dan juga Tionghoa pun meminatinya. Sebab, gajinya bukan “kaleng-kaleng”.
“Pada awal 1900an pekerjaan sopir masih dipandang sangat terhormat dan berharga. Mereka mendapat gaji yang sangat layak. Banyak orang Belanda dan orang Cina yang memilih kerja menjadi sopir. Pada waktu itu jumlah mobil masih sangat sedikit, demikian pula jumlah orang yang bisa menyetir mobil. Kondisi tersebut menyebabkan ‘harga’ seorang sopir cukup mahal. menurut Ingleson, mobil yang baru masuk ke Indonesia sekitar 1910an merupakan simbol baru dari status dan kemakmuran,” tulis Purnawan Basundoro dalam Merebut Ruang Kota: Aksi Rakyat Miskin Kota Surabaya, 1900-1960-an.
Penyebaran modernitas pada akhirnya melunturkan keelitannya sendiri. Jumlah mobil yang kian banyak di Indonesia akhirnya membuatnya tak lagi menjadi sesuatu yang unik ataupun “wah”. Ia telah menjadi umum. Seturut dengannya, orang yang mengemudikannya alias sopir pun bukan profesi yang wah lagi.
“Lambat laun penghargaan terhadap para sopir itu merosot, tak banyak Cina yang ingin melakukannya, dan, sungguh, hanya kami, bangsa Indonesia, tetap bertahan menjadi sopir. Kami, begitu tampaknya sekarang, memegang monopoli,” demikian Motorblad mendeskripsikan, dikutip Rudolf Mrazek.
Kawi si sopir keluarga Wertheim pun menjalani pekerjaannya sebagai sopir di saat presitse sopir sudah merosot. Kawi bahkan lebih apes lagi, sebab setelah tentara Jepang masuk Jakarta dan mendudukinya pada Maret 1942, banyak orang Belanda ditangkapi kemudian ditawan. Kawi tak bisa lagi menjadi sopir pribadi bagi orang-orang Belanda. Setelah itu, masa terus berganti dan pekerjaan sopir tak pernah lagi memberi kesejahteraan apalagi prestise setinggi era sebelumnya.*









