top of page

Sejarah Indonesia

Gedung Grahadi Dulu Dan

Gedung Grahadi Dulu dan Kini

Bermula dari “tuinhuis” yang dibikin pejabat VOC di tepi sungai. Gedung Grahadi bertahan lebih dari dua abad hingga jadi sasaran pembakaran.

9 September 2025

Dengarkan artikel

bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Bagian bangunan Gedung Grahadi yang hangus dilalap si jago merah (kominfo.jatimprov.go.id)

SEBAGAIMANA kota-kota besar lain, di Surabaya bertebaran bangunan bersejarah dari era kolonial yang sudah berstatus cagar budaya. Satu di antaranya Gedung Negara Grahadi di Jalan Gubernur Suryo.


Gedung Grahadi merupakan kantor Wakil Gubernur Jawa Timur (Jatim) Emil Dardak. Sepuluh hari lalu, situs bersejarah berusia 230 tahun itu nahas jadi sasaran pembakaran dan penjarahan dalam kerusuhan antara massa demonstran dan aparat.


Kejadiannya bermula dari massa yang mendatangi Gedung Grahadi pada 30 Agustus 2025 malam. Mereka menuntut pembebasan sekitar 40 rekan mereka yang diciduk aparat sehari sebelumnya ketika menggelar aksi solidaritas mendiang pengemudi ojek online (ojol) Affan Kurniawan.


Suasana tegang sempat mereda ketika Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa didampingi Pangdam V/Brawijaya Mayjen Rudy Saladin datang menemui massa di depan Gedung Grahadi dan bersedia memenuhi permintaan massa. Namun setelah gubernur dan pangdam bertolak ke Polrestabes Surabaya, massa yang masih bertahan di Gedung Grahadi terlibat kericuhan dengan aparat.


Saat keadaan tengah ricuh, seorang pria mencurigakan mengenakan helm plus bermasker dan berjaket ojol samping melempar sebuah kayu yang terbakar ke ruang penerimaan tamu gedung dari halaman. Kobaran api makin membesar setelah torch gas disemburkan ke tempat yang sama.


Alhasil, beberapa bagian bangunan Gedung Grahadi dilumat api. Termasuk relief-relief di dinding dan atap bangunannya. Sebagai bangunan bersejarah, nilai kerugiannya tak bisa dinilai dengan rupiah berapa pun besarnya. Gubernur Khofifah yang prihatin berharap aparat kepolisian bisa menyelidiki pelakunya yang ia yakini bukan warganya yang cinta pada sejarah kotanya.


“Sedih. Gimana menghitung nilai sejarah? Kalau kita lihat kayu-kayu jatinya (dari) zaman Belanda yang sudah ratusan tahun, hampir semuanya hangus. Saya enggak yakin yang tega merusak itu orang Jawa Timur. Kalau mereka menyampaikan pendapat, orasi, mengkritik, tapi saya rasa mereka enggak akan tega merusak cagar budaya. Kalau kita mencintai negeri ini saya rasa kita tidak akan merusak seperti ini,” ujar Khofifah pada Rabu (3/9/2025).


Bagian Gedung Negara Grahadi saat terbakar (Humas PCU/jatimprov.go.id)
Bagian Gedung Negara Grahadi saat terbakar (Humas PCU/jatimprov.go.id)

Rumah Bersantai di Tepi Sungai

Seiring pesatnya pertumbuhan kota Surabaya pada akhir abad ke-18, permukiman orang-orang Eropa mulai tumbuh. Utamanya pasca-penyerahan Surabaya dari penguasa Kesultanan Mataram Pakubuwono II kepada Kongsi Dagang Hindia Timur VOC pada 1743.


Transportasi air kala itu jadi bagian vital bagi masyarakat maupun para pejabat VOC. Para pejabat VOC lebih gemar bepergian dengan menyusuri Sungai Kalimas ketimbang menggunakan kereta kuda. Maka kantor residen pun berada dekat Jembatan Merah di atas Sungai Kalimas (kini dekat kawasan Kembang Jepun).


Ketika Diederik ‘Dirk’ van Hogendorp menjabat residen Surabaya pada akhir abad ke-18, ia memilih sebuah lahan untuk membangun sebuah kediaman baru yang asri guna menikmati suasana aktivitas Sungai Kalimas. Kala itu air Kalimas masih bening sampai dasar sungainya pun terlihat.


“Alasan si Dirk membangun rumahnya di situ, katanya, kalau ia ngantor biar cepat. Ia tinggal naik perahu menuju ke kantornya yang terletak di kawasan Kembang Jepun. Di samping itu si Dirk juga memberi alasan, bahwa pada saat santai di sore hari sambil klesetan menyeruput kopi ia pun bisa memandang perahu-perahu yang seliweran di Kalimas,” begitu Dukut Imam Widodo mengisahkan dalam Soerabaia Tempo Doeloe, Volume 2.


Dirk Hogendorp lahir di Heenvliet, Belanda pada 13 Oktober 1761. Sempat mengenyam pendidikan kadet di Korps Prussia di Berlin, pada 1784 ia melancong ke Hindia Timur bersama adiknya, Gijsbert Karel van Hogendorp, untuk mengikuti ayahnya, Willem van Hogendorp, yang bekas pejabat VOC.


“Keluarga van Hogendorp juga punya hubungan dekat dengan para pejabat Republik Belanda di Den Haag,” tulis Valika Smeulders dan Lisa Lambrechts dalam artikel “Dirk: From Abolitionist to Slaveholder” yang termaktub di katalog Slavery: The Story of Joao, Wally, Oopjen, Paulus, Van Bengalen, Surapati, Sapali, Dirk, Lohkay.


Karier Dirk terbilang moncer di jajaran pejabat VOC. Ia kemudian menjabat sebagai residen Surabaya kurun 1794-1798. Ia sendiri mulai membangun kediamannya di tepi Sungai Kalimas itu pada 1795.


“Lagipula di masa itu ia ingin cari tempat yang lebih baik dan menyingkir dari pemukiman Eropa yang mulai padat di tengah kota. Ia juga tidak puas dengan kamar-kamar sempit di kediaman resmi residen di Jembatan Merah,” tulis Howard W. Dick dalam Surabaya, City of Work: A Socioeconomic History, 1900-2000.


Rumah Residen Surabaya alias Gedung Grahadi pada 1930-an (Repro: Surabaya, City of Work)
Rumah Residen Surabaya alias Gedung Grahadi pada 1930-an (Repro: Surabaya, City of Work)

Lahannya dibeli Dirk dari seorang pedagang. Ia membangunnya jadi sebuah tuinhuis yang menghadap ke Kalimas dengan biaya besar mencapai 14 ribu ringgit.


“Dengan segala kepintarannya melobi si Dirk berhasil menguasai lahan tersebut dengan harga yang sangat murah. Ia membangun sebuah tuinhuis, rumah indah yang dikelilingi taman bunga nan elok. Jika dibandingkan dengan wujud bangunannya yang ada pada saat ini, yaitu Gedung Grahadi, tampaknya tuinhuis milik si Dirk ini bergaya Oud Holland Stijl, di mana bangunan induk dengan atap yang menjulang tinggi kekar dan berwibawa. Pelatarannya tentu luas, ada rumah monyetnya tempat berteduh para penjaganya, mengingat ia seorang pejabat tinggi,” sambung Dukut.


Namun, Dirk tak lama menjadi residen. Banyak pejabat VOC lain resah karena pandangan politiknya yang anti-perbudakan. Dirk bahkan sempat dijebloskan ke penjara dengan tuduhan penyalahgunaan wewenang.


Pada 1800-an, Dirk juga kondang sebagai penghasil naskah tonil tentang perbudakan, “Kraspoekol; of de Slaaverny. Een tafereel der zeden van Neerlands Indien (Kraspoekol; atau Perbudakan. Sebuah drama moralitas berlatarbelakang Hindia Timur). Itu merupakan adaptasi novel ayahnya, Kraspoekol, of de Droevige Gevolgen van Eene te Verre Gaande Strengheid, Jegens de Slaaven (1780).


Dari Hindia Timur, Dirk “hijrah” ke Brasil. Di sana, ia membuka perkebunan dekat Rio de Janeiro sampai akhir hayatnya pada 29 Oktober 1822.


Sepeninggalnya, tuinhuis Dirk di Surabaya diambil-alih pemerintah kolonial. Rumah itu sempat ingin dijadikan kediaman resmi gubernur jenderal di masa pemerintahan Herman Willem Daendels, namun batal.


“Gubernur Jenderal (1808-1811) Daendels sempat menambahkan fasad bergaya klasik di bagian belakang bangunan (yang kini menghadap Jalan Pemuda) yang kemudian bagian bangunannya diubah jadi gerbang utama,” terang Dick.


Setelahnya, rumah itu dijadikan tempat pertemuan hingga pesta oleh para residen berikutnya. Di masa pendudukan Jepang, eks tuinhuis Dirk dijadikan kantor syucokan atau gubernur militer.


Begitu Republik Indonesia merdeka, eks tuinhuis itu diberi nama Gedung Negara Grahadi (Sanskerta: Graha dan Ad; artinya rumah indah). Ia menjadi saksi bisu perkembangan Surabaya.


“Gedung ini jadi tempat perundingan Presiden Sukarno dengan Jenderal Hawthorn (Panglima Divisi India ke-23 Mayjen Douglas Cyril Hawthorn, red.) pada Oktober 1945 untuk mendamaikan pertempuran pejuang dengan pasukan Sekutu. Dan dari geding ini juga pada 9 November 1945 pada jam 23.00 Gubernur (Raden Mas Tumenggung Ario) Soerjo memutuskan menolak ultimatum menyerah tanpa syarat. Pemerintah Provinsi Jawa Timur, sejak 1991 membuka gedung ini untuk wisata bersama-sama dengan kantor Gubernur Jawa Timur,” tukas Yopby Alim Saifulloh dalam artikel “Arsitektur Kolonial Gaya Empire Style di Kota Surabaya Tahun 1900-1942” di Jurnal Avatara, Vol. 6, No. 3, 2018.



Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian
Hind Rajab dan Keheningan yang Memekakkan Telinga

Hind Rajab dan Keheningan yang Memekakkan Telinga

Film “The Voice of Hind Rajab” jadi antidot amnesia kisah bocah Gaza yang dibantai Israel dengan 335 peluru. PBB menyertakan tragedinya sebagai bagian dari genosida.
Orde Baru “Memfitnah” Orang Dayak

Orde Baru “Memfitnah” Orang Dayak

Dulu, orang Dayak dituduh pembakar hutan yang lebih berbahaya dari industri. Padahal, tidak banyak lahan hutan alam Kalimantan yang mereka gunduli.
Arsip Korupsi Sejak Zaman Kompeni

Arsip Korupsi Sejak Zaman Kompeni

Korupsi sejak masa VOC hingga kolonial Belanda terekam dalam arsip. Korupsi akan terus ada karena berkaitan dengan kekuasaan, kewenangan, dan keserakahan manusia.
Ziarah Sejarah ke Petamburan (1)

Ziarah Sejarah ke Petamburan (1)

Dari pelatih sepakbola Timnas Indonesia Toni Pogacnik hingga pembalap Hengky Iriawan. Sejumlah pahlawan olahraga yang mewarnai sejarah Indonesia dimakamkan di TPU Petamburan.
Foto "Gadis Napalm" yang Kontroversial

Foto "Gadis Napalm" yang Kontroversial

Cerita di balik potret bocah-bocah yang menangis histeris saat terjadi serangan napalm di Perang Vietnam. Kini atribusi fotonya jadi polemik.
bottom of page