top of page

Sejarah Indonesia

Bertaruh Nyawa Merekam Peristiwa Gwangju

Bertaruh Nyawa Merekam Peristiwa Gwangju

Aksi menentang rezim militer di Peristiwa Gwangju yang berujung tragedi berdarah. Para jurnalis asing turut bertaruh nyawa untuk menguak faktanya. 

19 Mei 2025

Dengarkan artikel

bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Aksi massa mahasiswa dan sipil pro-demokrasi yang menentang rezim militer Korea Selatan dalam Peristiwa Gwangju. (518.org).

MAYAT-mayat dan para korban luka tembak bergelimpangan di jalan-jalan pusat kota Gwangju, Korea Selatan (Korsel) siang (21 Mei 1980) itu. Jürgen Hinzpeter (diperankan Thomas Kretschmann), juru kamera asal Jerman Barat, tak percaya dengan kengerian yang dilihatnya. Ia terduduk lemas di balik sebuah mobil taksi setelah merekam barisan tentara berseragam loreng dan bersenjata lengkap menembaki massa pengunjuk rasa dengan membabi-buta. 


Choi (Park Hyuk-kwon) sang jurnalis lokal mendekati Hinzpeter dan sopir taksi yang mengantarnya dari Seoul, Kim Man-seob (Song Kang-ho), untuk segera pergi dari Gwangju. Besar harapannya agar semua video rekaman Hinzpeter bisa menembus penyensoran pemerintah Korsel sehingga membuka mata dunia akan apa yang terjadi di Gwangju sejak kemarin. 


“Mereka (tentara) mendekat. Anda harus pergi sekarang atau nantinya akan mustahil untuk pergi. Kami tidak bisa melakukannya tapi Anda bisa. Tolonglah kami,” kata Choi lirih.


Hinzpeter dan sopir taksinya tidak hanya diburu tentara tapi juga aparat intelijen DSC (Komando Pertahanan dan Keamanan) berpakaian preman. Kim Man-seob pun tancap gas. Di dalam mobil, Hinzpeter menyembunyikan rol-rol filmnya ke dalam kaleng kue kering ketika kabur dari Gwangju menuju Bandara Internasional Gimpo Seoul. 


Adegan itu menggambarkan situasi puncak upaya Hinzpeter, seorang jurnalis yang bertaruh nyawa meliput Gerakan Demokratisasi Gwangju 5.18 alias Peristiwa Gwangju (18-27 Mei 1980) yang digambarkan dalam film drama politis A Taxi Driver (2017) garapan sineas Jang Hoon. Sebagian yang digambarkan dalam filmnya terinspirasi dari kisah nyata walaupun faktanya Hinzpeter bukan satu-satunya jurnalis asing yang berhasil menembus blokade aparat militer ke Gwangju untuk meliputnya. 


“Sejak 21 Mei, sejumlah jurnalis asing yang bertugas di Seoul mempertaruhkan nyawanya untuk menyelinap masuk ke Gwangju. Philippe Pons dari Le Monde dan Shim Jae Hoon koresponden New York Times berangkat dari Seoul dengan mobil sewaan. Mereka tiba dengan disambut bak pahlawan dan menemukan fakta Gwangju bukanlah kota kekerasan, kerusuhan, dan anarki, melainkan kota pemberontak di mana kaum perempuan dan lanjut usia bersatu dengan para pemuda ikut berdemonstrasi ke Gedung Balai Provinsi,” ungkap Hwang Sok-yong dkk. dalam Gwangju Uprising: The Rebellion for Democracy in South Korea.


Pada petang hari yang sama, 21 Mei, lanjut Hwang dkk., ada lagi jurnalis Associated Press (AP) Terry Anderson dan fotografer Majalah Time Robin Moyer. Keduanya juga menyatakan kerusuhan yang terjadi di dalam kota bukanlah karena anarkisme massa aktivis, mahasiswa, dan pelahar, melainkan dipicu tindakan-tindakan represif aparat.


Para jurnalis lain yang berhasil masuk ke dalam kota Gwangju di antaranya koresponden Bradley Martin dari Baltimore Sun, koresponden Gebhard Hielscher dari Süddeutsche Zeitung, kepala biro Tokyo New York Times Henry Scott-Stokes, dan beberapa reporter lain dari Asahi Shimbun, Yomiuri Shimbun, NBC, dan ABC. Hinzpeter sendiri meliput sebagai kameraman stasiun televisi ARD. Meskipun ia bukan satu-satunya jurnalis asing, hasil rekamannyalah yang dianggap paling signifikan dalam menangkap situasi di seputar Peristiwa Gwangju dan menampilkannya ke dunia internasional sehingga ia dianggap pahlawan bagi rakyat Korsel kala itu.

Kekerasan militer dalam memberangus gelombang aksi massa di Gwangju (518.0rg)
Kekerasan militer dalam memberangus gelombang aksi massa di Gwangju. (518.0rg).

Sang Juru Kamera Merekam Tragedi Peristiwa Gwangju

Masyarakat Gwangju pada 20 Mei 1980 sudah tiga hari merasakan situasi makin mencekam sejak pengumuman keadaan darurat militer pada tengah malam 17 Mei dan permulaan unjuk rasa massa Gerakan Demokratisasi Korea. Jam malam diberlakukan, jaringan listrik dibatasi, dan jaringan telekomunikasi diputus oleh pemerintah.


Gerakan massa yang dipelopori para mahasiswa Universitas Negeri Chonnam itu menentang kebijakan-kebijakan yang dianggap anti-demokrasi dari pemerintahan militer pimpinan diktator Jenderal Chun Dwoo-hwan yang sebelumnya mengkudeta pemerintahan Presiden Choi Kyu-hah. Aksi massa juga muncul di ibukota Seoul namun gelombang unjuk rasa terbesarnya terjadi di Gwangju lantaran selama ini ibukota Provinsi Jeolla Selatan itu selalu jadi simbol perjuangan demokrasi.


“Tanpa air dan listrik, Kwangju (Gwangju, red.) selalu diselimuti kegelapan saat malam. Stasiun-stasiun penyiaran dan pos-pos polisi hangus terbakar. Di atas kendaraan demonstrasi di Gedung Balai Provinsi saya melihat kerumunan (massa) mengibarkan bendera-bendera Korea. Pada momen itu saya juga mendengar gemuruh nyanyian (lagu) ‘Arirang’. Saya merinding seketika, pikiran saya kosong, dan saya mulai terisak tangis,” kenang reporter Kim Chung-gun, dikutip Choi Jung-woon dalam artikel “The Formation of an ‘Absolute Community’” termaktub di buku Contentious Kwangju: The May 18 Uprising in Korea’s Past and Present.


Bentrokan massa dengan aparat kepolisian sudah terjadi sejak 18 Mei. Ketika kekacauan sudah tak lagi bisa ditanggulangi polisi, pemerintah menerjunkan pasukan Angkatan Darat (AD) bersenjata lengkap dari sejumlah brigade lintas udara (linud) dan infantri mekanis.


“Pada 18 Mei sekitar 5.000 massa mahasiswa bentrok dengan polisi setelah menuntut dicabutnya status darurat militer dan pembebasan aktivis Kim Dae-jung, serta menuntut mundurnya Jenderal Chun. Barisan polisi huru-hara memukul mundur pendemo dengan senapan dan bayonetnya. Kebrutalan tentara linud juga memicu kemarahan warga yang membalas dengan lemparan batu dan bom molotov. Ketika situasi sudah dianggap tak terkendali, pada 20 Mei petang sekitar 300 prajurit linud melepaskan tembakannya ke arah para pendemo di sekitar Gedung Balai Provinsi,” tulis Yun Seongyi dalam Two-Track Democracy in South Korea: The Interplay Between Institutional Politics and Contentious Politics.


Kabar tentang kerusuhan di Gwangju sejak 18 Mei itu juga jadi perhatian para jurnalis asing, salah satunya Hinzpeter. Sebelum dipindah ke stasiun televisi ARD cabang Tokyo, ia bertugas di Hong Kong pada awal 1967 dan Saigon (kini Ho Chi Minh City) pada musim semi 1967, saat terjadi Perang Vietnam, hingga 1980. Karena pembatasan masuknya jurnalis asing ke Korsel, Hinzpeter datang ke Seoul pada 19 Mei dengan menyamar sebagai anggota misionaris Katolik Jerman Barat berkat bantuan Pastor Paul Schneiss. 


“Hinzpeter dari (media Jerman) ARD masuk kota Gwangju dengan menyamar, mempertaruhkan segala risiko, untuk merekam suasana protes dan kebrutalan militer. Hinzpeter tak sendiri dalam misinya. Richard Thompson dari BBC, John Schultes dari ABC, dan Masato Guroda dari NHK juga meliput dari garis depan di Gwangju,” tulis Park Byung-kee dalam 5.18: Gwangju Democratization Movement 5.18.


Hinzpeter tiba di Gwangju dengan diantar sopir taksi dari Seoul, Kim Sa-bok, pada 20 Mei pagi. Ketika tiba, gelombang demonstrasinya sudah meningkat dengan massa lebih dari 10 ribu orang. Bentrokan yang terjadi berujung pada penganiayaan, penyiksaan, dan pembunuhan terhadap para demonstran dengan popor senapan, tongkat, maupun bayonet. 


Horor serupa juga terjadi keesokannya, 21 Mei, yang merupakan klimaks kekerasan aparat terhadap massa. Pasukan khusus linud dari Batalyon ke-33 dan Batalyon ke-35 sudah tidak ragu-ragu menyemburkan tembakan membabi-buta kepada massa yang berkerumun di sisi selatan Gedung Balai Provinsi. Aksi massa damai pun berubah menjadi tragedi berdarah. Bagi Hinzpeter, suasananya lebih buruk dari apa yang pernah ia saksikan di Perang Vietnam. 


“21 Mei 1980 itu saya masih di Gwangju. Saya menyaksikan aksi-aksi unjuk rasa dan tindakan kekerasan militer. Saya menyaksikan warga sipil ditembaki dan dibunuh. Saya menyaksikan tentara memukuli dan menyiksa warga sipil. Saya tak bisa mempercayai apa yang terjadi di Gwangju. Keadaannya sudah seperti neraka,” kenang Hinzpeter dikutip Park. 


Hinzpeter dan beberapa jurnalis asing tidak hanya meliput di lokasi-lokasi aksi unjuk rasa. Mereka juga mendatangi sejumlah rumah sakit untuk mengonfirmasi bahwa korban luka dan korban tewas tidaklah seperti apa yang diberitakan media massa lokal yang tentu sudah disensor pemerintah. Dari mata kamera Hinzpeter juga didapati fakta bahwa –sebagian massa ada juga yang mempersenjatai diri– yang memicu kerusuhan adalah aparat, bukan massa demonstran. 


Dalam film A Taxi Driver, Hinzpeter digambarkan bertaruh nyawa lantaran diburu aparat intelijen berpakaian preman ketika berusaha keluar dari Gwangju. Ia berhasil dan hasil rekaman dari lebih dari 10 rol filmnya tidak hanya ditayangkan stasiun televisinya tapi juga media-media internasional lain. 


Mulai 22 Mei, pasukan militer Korsel berangsur-angsur ditarik mundur ke pinggiran kota meski semua jalur dan jaringan komunikasi masih diputus. Sementara, massa yang membentuk Komite Pemukiman Warga dan Komite Pemukiman Pelajar mulai menguasai kota dengan dibantu aparat Kepolisian Provinsi Jeonnam yang berpihak pada massa. Negosiasi dengan petinggi militer berlangsung pada 27 Mei setelah pihak militer gagal masuk kembali ke dalam kota akibat blokade warga sipil. 


Peristiwa Gwangju berdarah memakan korban amat banyak. Laporan pemerintah menyatakan, terdapat 144 warga sipil, 22 prajurit, dan 4 aparat polisi tewas. Sementara 127 warga sipil, 109 prajurit, dan 144 aparat kepolisian terluka. Sementara, versi massa pergerakan menyatakan total korban tewasnya mencapai antara 1.000-2.000 jiwa dan korban luka-luka berkisar 1.800-3.500 orang.


“Liputannya (Hinzpeter) yang berani mengungkapkan Tragedi Gwangju kepada publik global yang membangkitkan dukungan dan kemarahan internasional. Hasil liputan para jurnalis asing lain dari garis depan Gwangju menghadirkan kontras yang mencolok dengan versi keterangan rezim Chun Doo-hwan tentang aksi itu yang dikatakannya sebagai ‘kerusuhan’ belaka. Melalui lensa mereka, dunia melihat penindasan brutal dan semangat pantang menyerah rakyat Korea dalam memperjuangkan hak-hak mereka dalam hal demokrasi,” tandas Park.*

Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian
Hind Rajab dan Keheningan yang Memekakkan Telinga

Hind Rajab dan Keheningan yang Memekakkan Telinga

Film “The Voice of Hind Rajab” jadi antidot amnesia kisah bocah Gaza yang dibantai Israel dengan 335 peluru. PBB menyertakan tragedinya sebagai bagian dari genosida.
Orde Baru “Memfitnah” Orang Dayak

Orde Baru “Memfitnah” Orang Dayak

Dulu, orang Dayak dituduh pembakar hutan yang lebih berbahaya dari industri. Padahal, tidak banyak lahan hutan alam Kalimantan yang mereka gunduli.
Arsip Korupsi Sejak Zaman Kompeni

Arsip Korupsi Sejak Zaman Kompeni

Korupsi sejak masa VOC hingga kolonial Belanda terekam dalam arsip. Korupsi akan terus ada karena berkaitan dengan kekuasaan, kewenangan, dan keserakahan manusia.
Ziarah Sejarah ke Petamburan (1)

Ziarah Sejarah ke Petamburan (1)

Dari pelatih sepakbola Timnas Indonesia Toni Pogacnik hingga pembalap Hengky Iriawan. Sejumlah pahlawan olahraga yang mewarnai sejarah Indonesia dimakamkan di TPU Petamburan.
Foto "Gadis Napalm" yang Kontroversial

Foto "Gadis Napalm" yang Kontroversial

Cerita di balik potret bocah-bocah yang menangis histeris saat terjadi serangan napalm di Perang Vietnam. Kini atribusi fotonya jadi polemik.
bottom of page