top of page

Sejarah Indonesia

Bung Karno Dan Revolusi Teknologi Antariksa Bagian

Bung Karno dan Revolusi Teknologi Antariksa (Bagian I)

Roket sebagai senjata sudah ada di Nusantara sejak abad ke-13. Roket sebagai eksperimen antariksa mewabah di kalangan mahasiswa sejak 1960-an. Menarik perhatian Bung Karno.

12 Juni 2025
bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Replika Roket Gama-1 di Museum UGM (museum.ugm.ac.id)

TIDAK hanya bersaing dalam perlombaan senjata nuklir, Amerika Serikat dan Uni Soviet sebagai pentolan dua kutub geopolitik di masa Perang Dingin juga saling berlomba mencapai antariksa. Dalam persaingan teknologi antariksa pun Presiden Sukarno tak ingin tertinggal dari Amerika ataupun Soviet. 

 

Teknologi roket jadi kunci persaingan eksplorasi antariksa. Pada dasarnya, roket adalah sebuah proyektil berbentuk silinder yang dilontarkan berkat dorongan sumber energi di dalamnya. Mirip misil, namun roket bergantung pada pembidikan yang akurat karena tak memiliki sistem pemandu tersendiri seperti misil. 

 

Percobaan roket sudah dilakukan ilmuwan Yunani Archytas sekitar tahun 400 Sebelum Masehi (SM) dengan menggunakan uap sebagai sumber pelontarnya. Seiring dengan penggunaan bubuk mesiu sebagai senjata, bangsa China antara abad 10-11 Masehi sudah menggunakan roket dengan formula bubuk mesiu sebagai senjata. Selain meriam, pasukan Kubilai Khan “mengenalkan” roket sebagai senjata kepada nenek moyang orang Indonesia ketika menginvasi Jawa pada 1293. 

 

“Tentara utusan Kubilai Khan dari China telah sejak lama mengenal senjata roket-roket kecil yang terbukti ampuh sebagai senjata perang. Menurut (bapak bangsa India) Jawaharlal Nehru dalam bukunya Glimpses of World History (1949), ada dugaan kuat ekspedisi Kubilai Khan ke Jawa membawa pengaruh besar bagi perkembangan dan kemajuan teknologi persenjataan Kerajaan Majapahit,” ungkap Djoko Pramono dalam Budaya Bahari.

 

Amerika dan Jerman pun di Perang Dunia II sama-sama mengembangkan teknologi roket sebagai senjata. Pasca-Perang Dunia II, teknologi roket mulai meluas penggunaannya, yaitua untuk merambah antariksa. 

 

“Abad ke-20 dan abad ke-21 membawa kemajuan perkembangan roket yang memungkinkan manusia menembus batas-batas Planet Bumi untuk menuju frontier terakhir yang selama ini jadi mitos sejak manusia mulai menatap langit,” tulis ilmuwan Travis Shane Taylor dalam Introduction to Rocket Science and Engineering

 

Bung Karno Kepincut Teknologi Roket

Kendati Amerika mencontek teknologi Roket Vergeltungswaffe 2 (V-2) yang digunakan Jerman di Perang Dunia II, Sovietlah yang mencuri start dalam pengembangan roket untuk eksplorasi antariksa. Dengan Roket R-7, pada 4 Oktober 1957 Soviet jadi negara pertama yang mengirim wahana satelit Sputnik untuk mengorbit di antariksa. Pada 12 April 1961, Soviet juga jadi yang pertama mengirim manusia, kosmonot Yuri Gagarin, mengorbit ke antariksa dengan R-7 sebagai pendorong wahana kapsul Vostok 1-nya. 

 

Amerika baru mengikutinya pada 1961 dengan mencanangkan misi fenomenal. Presiden John F. Kennedy “menitipkan” ambisi kepada badan antariksa Amerika, NASA, untuk mengirim manusia pertama ke bulan. Ambisi tersebut baru bisa diwujudkan pada 20 Juli 1969 ketika dua astronotnya, Neil Armstrong dan Buzz Aldrin Jr., jadi dua manusia pertama yang menginjakkan kaki di bulan dengan menggunakan wahana Apollo 11 berpendorong roket Saturn V. 

 

Maka sejak 1950-an perhatian Presiden Sukarno sudah mulai tertuju pada hal yang sama. Setelah membentuk Dewan Penerbangan melalui Peraturan Pemerintah No. 5 Tahun 1955, Presiden Sukarno pada 1962 juga menginisiasi pembentukan Panitia Astronautika yang jadi cikal bakal Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN, kini Organisasi Riset Penerbangan dan Antariksa Badan Riset dan Inovasi Nasional/ORPA-BRIN). 

 

Menurut Muchammad Toyib dalam Bintang-Bintang Penyuluh: Perkembangan Astronomi Amatir di Jawa Timur, Panitia Astronautika dibentuk pada 31 Mei 1962 sebagai salah satu panitia teknis di bawah Dewan Penerbangan RI oleh dua petingginya, Ir. Djuanda dan R.J. Salatun. Penelitian tentang teknologi roket jadi tidak hanya untuk persenjataan tapi juga riset ilmiah antariksa. 

 

Untuk penelitian ilmiahnya, Panitia Astronautika mencanangkan Proyek Penelitian Roket Ilmiah dan Proyek Awal (PRIMA) pada 22 September 1962. Proyek tersebut diemban mahasiswa dan akademisi Institut Teknologi Bandung (ITB) bersama AURI (Angkatan Udara Republik Indonesia, kini TNI AU). Menariknya, di tahun yang sama para mahasiswa teknik Universitas Gadjah Mada (UGM) yang tergabung dalam Perkumpulan Roket Mahasiswa Indonesia (PRMI) juga menjalankan proyek mandiri. Sementara, proyek pengembangan roket untuk persenjataan diampu ALRI (Angkatan Laut Republik Indonesia, kini TNI AL) dengan pendirian Sekolah Roket dan Peluru Kendali Angkatan Laut (SEROPKAL) pada 1 Agustus 1963. 

 

Demam roket dan eksplorasi antariksa meluas berkat “suntikan moril” dari kedatangan para kosmonot Soviet ke Indonesia. Selain kosmonot Gherman Titov yang berkunjung ke Jakarta, Yogyakarta, dan Surabaya medio 1962, rombongan kedua dan ketiga datang ke Jakarta pada Januari dan November 1963. Rombongan terdiri dari Andriyan Nikolayev, manusia ketiga yang mengorbit ke antariksa; Valery Bykovsky dan istrinya yang juga kosmonot perempuan pertama dunia, Valentina Tereshkova. Kendati kedatangan mereka jadi “penghias” kerjasama pengadaan alutsista, kesempatan itu juga dimanfaatkan Bung Karno –yang menggelar sambutan dan parade besar-besaran– untuk menggenjot lagi animo masyarakat tentang eksplorasi antariksa. 

 

“Presiden Sukarno menegaskan bahwa jika ingin menjadi negara besar maka harus ambil bagian dalam revolusi atom dan antariksa untuk menjawab amanat penderitaan rakyat. Ia membuat pernyataan ini pada malam hari di parade rakyat untuk menyambut para kosmonot Soviet yang berkunjung atas undangan Presiden Sukarno,” ungkap laporan badan intelijen Amerika, CIA, “Djakarta Rally Greets USSR Cosmonauts” bertanggal 5 Desember 1963. 

 

Demam roket itu begitu menjanjikan. Mahasiswa teknik UGM yang tergabung dalam PRMI mencuri start dengan jadi yang pertama berhasil dalam percobaan peluncuran roketnya pada 24 Agustus 1963. Roket Gama-1 sepanjang 90 cm dengan diameter 76 mm-nya sukses diluncurkan hingga sekira 20 kilometer di atas permukaan bumi di Pakanewon Sanden, Bantul, Yogyakarta yang kemudian menuai kekaguman Bung Karno. 

 

Bak persaingan Amerika-Soviet, para mahasiswa ITB yang tak mau kalah turut mengembangkan roketnya sendiri di luar Proyek PRIMA. Hasilnya, pada 6 Januari 1964, mereka menghasilkan sepasang Roket Ganesha X-1A dan Roket Ganesha X1B berdimensi panjang 1,5 meter dan diameter 10 cm yang sukses diluncurkan di Pantai Pameungpeuk, Garut pada 6 Januari 1964. 

 

Proyek PRIMA sendiri yang dikerjakan para mahasiswa ITB serta personel AURI dan Perindustrian Angkatan Darat (Pindad) pimpinan Laksamana Muda Budiardjo, mengikuti pelaksanaan International Quiet Sun Years (IQSY) 1964-1965. Namun, baru membuahkan sebuah roket berbobot 220 kilogram dengan panjang 10,5 meter dan diameter 250 mm beberapa bulan setelah roket-roket Ganesha diluncurkan. Bung Karno menamai roket itu Kartika-1, yang sukses diluncurkan di Pamengpeuk pada 14 Agustus 1964 dengan ketinggian sekira 50 kilometer alias mencapai lapisan stratosfer (12-50 kilometer). 

 

Di samping proyek PRIMA, LAPAN juga menggadang Proyek S yang berdasarkan Keputusan Presiden No. 242 Tahun 1963 tentang Pembiayaan dan Pelaksanaan Proyek Roket Ionosfer/Angkasa Luar itupun membuahkan hasilnya dua tahun berselang. Bedanya, proyek S tidak mengembangkan roket secara mandiri sebagaimana roket-roket tadi. Kendati timnya “mencomot” para mahasiswa dan sarjana UGM dan ITB, Proyek S menggadang penelitian antariksa dengan 10 Roket Kappa-8 yang dibeli dari Jepang. Proyeknya diguyur anggaran sekitar 6 juta dolar Amerika untuk kontrak impor sistem Roket Kappa-8 dari perusahaan Jepang C. Itoh & Co., pembangunan basis peluncuran roket baru di Pameungpeuk, dan keperluan riset-riset fisika ionosfer dan fisika atmosfer. 

 

“Impor 10 buah roket Kappa-8 sebagai tindak lanjut pelaksanaan proyek IQSY. Sudah dilengkapi dengan peralatan pembantu di darat seperti sistem telemetri, sistem tracking, dan radar. Para ahli astronautika Indonesia melakukan peningkatan dengan assembling, penyetelan, dan kalibrasi,” ungkap Fachrudin Nur Fadlillah Alfauzi dkk. dalam artikel “Perkembangan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (1963-1998) yang termuat di Jurnal Candi, Volume 24, No. 1, tahun 2024. 

 

Dari 10 roket yang diimpor, tiga di antaranya kemudian menjalani peluncuran pertama di pangkalan peluncuran Pusat Antariksa Pameungpeuk berturut-turut pada 7, 11, dan 17 Agustus 1965. Ketiganya sanggup mencapai lapisan termosfer (80-70 kilometer di atas permukaan laut). Roket pertama pada 7 Agustus meluncur sampai ketinggian 334 kilometer, roket kedua pada 11 Agustus mencapai 250 kilometer, dan roket ketiga pada 17 Agustus 1965 mencapai 70 kilometer. 

 

“Dari peluncuran tersebut didapatkan beberapa data ilmiah yang bisa dikatakan 100 persen sempurna yakni mengenai angin, suhu, dan sebagainya. Peristiwa ini merupakan yang pertama kali dicapai di daerah Khatulistiwa dalam ketinggian yang lebih dari orbit para astronot,” ujar Wakil Direktur Jenderal LAPAN Komodor Udara Imam Sukotjo dikutip harian Kompas, 9 Agustus 1965. 

 

Namun, tujuh sisanya tak bisa diluncurkan karena Peristiwa Gerakan 30 September 1965 mengubah arah perpolitikan. Pemerintahan Presiden Soeharto dengan keterbatasan anggaran untuk riset harus memilih antara antariksa atau dirgantara. Soeharto akhirnya memilih pembangunan industri kedirgantaraan dengan memanggil pulang Bacharuddin Jusuf Habibie dari Jerman. 



Comments

Rated 0 out of 5 stars.
No ratings yet

Add a rating
Senjata Rahasia yang Dikembangkan Amerika Serikat dalam Perang Dunia II

Senjata Rahasia yang Dikembangkan Amerika Serikat dalam Perang Dunia II

Seorang dokter gigi dan ahli bedah memiliki gagasan tidak biasa untuk membalas serangan Jepang atas Pearl Harbor. Menggunakan kelelawar yang membawa bom untuk membakar Jepang.
Para Haji dan Uang Palsu

Para Haji dan Uang Palsu

Kasus uang palsu melanda daerah Sepanjang, Sidoarjo. Beberapa haji terlibat di dalamnya.
Handala, Simbol Perlawanan Palestina dalam Seni Jalanan

Handala, Simbol Perlawanan Palestina dalam Seni Jalanan

Kapal bantuan kemanusiaan “Handala” yang menembus blokade Israel dinamai dari karakter kartun ikonik karya seniman Palestina korban Peristiwa Nakba.
Ted Lurie, Jurnalis Israel yang Masuk ke Istana Merdeka

Ted Lurie, Jurnalis Israel yang Masuk ke Istana Merdeka

Ted Lurie disebut sebagai orang Israel pertama yang terang-terangan masuk ke Indonesia, bahkan istana kepresidenan. Hampir mengancam hubungan diplomatik Indonesia dengan negara-negara sahabat Timur Tengah.
Sebelum Felix Mendoza Dipancung

Sebelum Felix Mendoza Dipancung

Dia keturunan Portugis di Maluku. Dia bagian dari perlawanan terhadap tentara Jepang.
bottom of page