top of page

Sejarah Indonesia

Bung Karno Dan Revolusi Teknologi Nuklir Bagian

Bung Karno dan Revolusi Teknologi Nuklir (Bagian II)

Ambisi Bung Karno memiliki bom atom sendiri untuk menjaga kedaulatan hanya dianggap “gertak sambal” oleh Amerika.

5 Juni 2025
bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Presiden Sukarno yang pernah punya ambisi mengembangkan nuklir (ANRI)

Diperbarui: 12 Jun

GURUN Lop Nur di kawasan Xinjiang, China yang tenang mendadak bergetar hebat hari itu, 16 Oktober 1964. Sekira pukul 3 petang, bom atom “Miss Qiu” dari Project 596 yang dipasang di atas menara buatan setinggi 102 meter meletup dahsyat. Kekuatannya yang 22 kiloton TNT lebih besar dari dua bom atom di Hiroshima dan Nagasaki pada 1945 hingga menciptakan “awan jamur” setinggi 909 meter di atas permukaan laut. 

 

“China meledakkan bom atom pada pukul 15.00 pada 16 Oktober 1964 dan oleh karenanya jadi uji coba (senjata) nuklir pertama yang sukses. Ini jadi pencapaian besar bagi China dalam memperkuat pertahanan nasionalnya dan dalam menentang kebijakan serta ancaman nuklir imperialis Amerika Serikat,” bunyi pernyataan pemerintah China dalam buku Break The Nuclear Monopoly, Eliminate Nuclear Weapons.

 

“Miss Qiu” merupakan alat uji ledak nuklir fisi uranium-235 yang digarap tim peneliti pimpinan fisikawan Deng Jiaxian dalam program “Dua Bom, Satu Satelit”. Kesuksesan China sebagai negara Asia pertama yang memiliki bom atom di awal era perlombaan senjata nuklir itu turut jadi perhatian Presiden Sukarno. 

 

Sebagaimana uraian dalam artikel sebelumnya, Bung Karno sudah menjajaki teknologi nuklir pada akhir 1950-an. Mulanya untuk tujuan damai. Pada 1961, berkat bantuan dana Amerika Serikat, Reaktor Riset Nuklir TRIGA-Mark II pun mulai dibangun di kawasan kampus Institut Teknologi Bandung (ITB). Menyusul kemudian rencana pembangunan Reaktor Nuklir IRT 1000 di Serpong, Tangerang yang diampu Lembaga Tenaga Atom (LTA) pimpinan Dr. Gerrit Augustinus Siwabessy. 

 

Menurut Teuku Reza Fadeli dalam Nuklir Sukarno: Kajian Awal atas Politik Tenaga Atom Indonesia 1958-1967, Bung Karno ketika mulai concern terhadap energi nuklir pada 1958 bertekad ingin tetap berkomitmen dalam perdamaian dunia sehingga menyatakan Indonesia tak tertarik membangun senjata nuklir. Nuklir dimanfaatkan semata hanya untuk tujuan-tujuan damai. Namun visi itu berubah semenjak China sukses melakukan tes bom atom “Miss Qiu”. 

 

“Sehari sesudah uji coba bom nuklir RRC, Indonesia melakukan reaksi nuklir pertama di reaktor riset Bandung. Dan hanya sekitar tiga minggu sesudahnya, Presiden Sukarno melakukan kunjungan kenegaraan ke RRC pada 5 November 1964. Ia disambut oleh Chou En-lai selaku Perdana Menteri, Lo Jui-Ching selaku Wakil Perdana Menteri, dan Liu Hsiao selaku Wakil Menteri Hubungan Luar Negeri,” tulis Teuku Reza. 

 

Tetangga Ketar-ketir, Amerika Tak Khawatir

Bergesernya haluan politik Presiden Sukarno bukan hanya karena kesuksesan uji coba bom atom China semata. Yang lebih mendasar, kebijakan-kebijakan yang diambilnya berangkat dari Politik Mercusuar dan Politik Konfrontasi yang dikosepnya sebagai “lawan tanding” bagi praktik-praktik neo-kolonialisme dan neo-imperialisme Amerika dkk. oleh Blok Barat. Jalan politik yang ditempuhnya itu lalu diwujudkannya dengan membentuk poros kekuatan baru, New Emerging Forces (NEFO). Salah satu wujud NEFO itu adalah Poros Jakarta-Peking (kini Beijing)-Pyongyang-Hanoi-Phnom Penh yang dibentuk pada 1964. 

 

“Indonesia juga menjalankan Politik Konfrontasi dengan Malaysia yang dianggap negara bentukan Inggris (Blok Barat). Di tengah-tengah ketegangan konfrontasi itu, PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) ingin menjadikan Malaysia sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB. Indonesia pun memutuskan keluar dari PBB karena dianggap sudah terlalu memihak kepada imperialisme. Langkah Indonesia menolak keras Blok Barat dan keluar dari PBB membuat Indonesia mau tak mau terseret mendekat ke negara besar di (Blok) Timur yang bisa memberinya dukungan, yaitu RRC,” tambahnya. 

 

Penggulingan pemimpin Uni Soviet Nikita Khrushchev oleh presidium eksekutifnya pada 1964 ikut merenggangkan hubungan Indonesia-Soviet. Padahal, Soviet dengan kreditnya amat membantu Indonesia dalam memperbesar dan memodernisasi militernya selain mewujudkan proyek-proyek mercusuarnya. Kehilangan Soviet, praktis Indonesia tinggal menggantungkan harapan pada Tiongkok.

 

“Sukarno sendiri meyakini RRC dan Indonesia memiliki haluan yang sama dalam perjuangan negara berkembang. Maka Indonesia pun menilai RRC sebagai bangsa seperjuangan yang revolusioner. Kedua negara juga sedang dalam semangat menentang neo-kolonialisme dan neo-imperialisme Barat,” lanjut Teuku Reza. 

 

Setelah Bung Karno beranjangsana ke China pada 5 November 1964, menteri luar negeri China membalas kunjungan ke Jakarta tiga pekan berselang. Bung Karno mulai membuka pintu bagi potensi nuklir sebagai senjata untuk mempertahankan kedaulatan dengan mentransformasikan LTA menjadi Badan Tenaga Atom Nasional (BATAN) pada 26 November 1964 lewat Undang-Undang (UU) No. 31 Tahun 1964 tentang Ketentuan-Ketenuan Pokok Tenaga Atom. 

 

“Dukungan Sukarno terhadap upaya pengembangan tenaga nuklir dalam konteks ini turut dipengaruhi uji (bom atom) China. Sebulan setelah uji coba itu, Direktur Peralatan Angkatan Darat (Palad) Brigjen Hartono jadi pejabat Indonesia pertama yang menyatakan kemungkinan Indonesia memiliki bom atom sendiri. Pernyataan Hartono mendapat reaksi dari beberapa negara tetangga. (Wakil PM Malaysia) Tun Abdul Razak menyatakan itu akan jadi ancaman serius. Di Australia, Menteri Pertahanan Shane Paltridge menyatakan kemungkinan Indonesia memiliki senjata nuklir tidak boleh dipandang remeh,”tulis Robert M. Cornejo dalam tesisnya, “When Sukarno Sought the Bomb: Indonesian Nuclear Aspirations in the Mid-1960s” yang diterbitkan Jurnal The Nonproliferation Review tahun 2000. 

 

Para tetangga di kawasan kian ketar-ketir dengan konfirmasi Bung Karno dalam pidatonya di Muktamar Muhammadiyah ke-36 di Bandung, 24 Juli 1964. Dalam pidatonya, Bung Karno mengutarakan upaya Indonesia untuk “Berdikari” agar tidak melulu bergantung pada impor. Sikap tersebut kemudian diupayakan dengan membuat mobil, kapal perang, roket, hingga bom atom sendiri. 

 

“Insya Allah di waktu dekat kita membuat bom atom sendiri! Wah, jangan kata, bom atom bom atom-an, ini apakah kita itu dijadikan agresor? Tidak, tidak! Bukan untuk agresi, tetapi untuk menjaga kedaulatan kita, menjaga tanah air kita. Tidak mau kita agresi kepada bangsa lain. Tetapi jikalau kemerdekaan kita diganggu, diserang oleh orang lain, kita wajib melawan...kita menyusun defensif yang jikalau perlu sampai kepada roket, kepada missile, kepada bom atom kita kerahkan, agar supaya tanah air kita yang diamanatkan oleh Tuhan kepada kita ini, selamat tidak diganggu oleh orang lain,” kata Bung Karno, dikutip Suara Merdeka, 26 Juli 1965. 

 

Usai menyambut kunjungan Wakil Kongres Rakyat Nasional RRC Li Hsueh-feng pada 7 Agustus 1965, Ketua DPR-Gotong Royong Arudji Kartawinata menyatakan optimismenya bahwa Indonesia akan segera menyusul China untuk mengujicobakan bom atom. Adapun penjajakan kerjasama dan pengalihan teknologi senjata nuklir jadi pembahasan dalam pertemuan Wakil PM China Chen Yi dengan Wakil PM Subandrio medio Agustus 1965. 

 

“Kami bisa membantu Anda dalam hal ini. Jika kami tidak membantu, maka kami bukanlah teman sejati Anda. Sepengetahuan kami, Anda sudah punya fondasi-fondasinya. Membangun sebuah bom nuklir bukanlah misi yang mustahil, kita bisa membangunnya sendiri. Kedua pihak bisa mendiskusikan isu-isu ini secara rahasia,” ujar Chen Yi kepada Subandrio, dikutip Taomo Zhou dalam artikel “China and the Thirtieth of September Movement” di Jurnal Indonesia, No. 98 terbitan Oktober 2014. 

 

Optimisme yang kian memuncak memunculkan ekspektasi besar untuk Indonesia membuat kejutan dengan mengujicobakan bom atom tepat pada HUT TNI 5 Oktober 1965.


Kendati potensi kerjasama dengan China begitu kuat, toh Amerika justru tak khawatir. Sudah jauh-jauh hari Amerika menanggapi ambisi bom atom itu sekadar “gertak sambal”.  Di kolom Chicago Tribune edisi 3 Februari 1965, “U.S. Rejects Atomic Claim by Indonesia”, Philip Dodd memberitakan dengan mengutip pejabat Amerika yang tak disebutkan namanya, bahwa Indonesia tak punya kapasitas membangun sebuah bom atom secara mandiri. Fasilitas Reaktor TRIGA-Mark II di Bandung hanyalah reaktor riset sehingga tidak memadai untuk membangun senjata nuklir. Usai dibangun, reaktor tersebut baru punya kapasitas 100 kilowatt. Sedangkan pembangunan reaktor di Serpong atas bantuan Soviet baru akan rampung pada 1967. 

 

“Pejabat Amerika menyatakan klaim Indonesia akan punya bom atom pada Oktober hanyalah sesumbar belaka. Indonesia belum punya kemampuan dan fasilitas yang memadai untuk membuat sebuah senjata nuklir,” tulis Dodd. 

 

Pemerintah Amerika juga diyakinkan oleh laporan CIA, dinas intelijennya. Dalam arsip memo intelijen rahasia “Indonesia’s Effort to Acquire an Atomic Bomb” tertanggal 29 September 1965, CIA merangkum 10 poin informasi menyoal kecilnya kemungkinan ambisi Bung Karno soal bom atom bisa diwujudkan. Kendati tidak tertutup kemungkinan Indonesia kemudian bisa meledakkan bom atom, tetapi itu bukan buatan sendiri, melainkan bom atom pemberian China karena kabar tentang kerjasama China-Indonesia di bidang nuklir tak kunjung terealisasi. 

 

“Peking sepertinya tidak setuju untuk menyediakan alat-alat (senjata) nuklir atau bantuan dalam jumlah substansial agar Indonesia bisa mengembangkan sendiri senjata nuklirnya. Lagi pula pihak China masih terkendala suplai material-material lain dan sepertinya tidak mungkin memberikan suplai mereka,” kata laporan CIA dalam poin lainnya. 

 

Pada akhirnya, ambisi senjata nuklir Indonesia kandas. Peristiwa Gerakan 30 September 1965 mengubah konstelasi politik Indonesia dan melengserkan Bung Karno dua tahun berselang. Penggantinya, Soeharto, cenderung ke Blok Barat. Orientasi teknologi nuklir di pemerintahan Soeharto hanya untuk tujuan damai, sebagaimana persetujuan keamanan badan atom internasional IAEA (International Atomic Energy Agency) yang turut diteken Indonesia pada 19 Juni 1967. 



Comments

Rated 0 out of 5 stars.
No ratings yet

Add a rating
Misil-Misil Iran yang Menembus Kecepatan Suara

Misil-Misil Iran yang Menembus Kecepatan Suara

Bermula dari mengimpor, Iran kini mampu membuat misil sendiri. Korea Utara turut berjasa dalam permulaan program misil di “Negeri Para Mullah”.
Sisa-sisa F-14 Tomcat di Negeri Para Mullah

Sisa-sisa F-14 Tomcat di Negeri Para Mullah

Kondang gegara film “Top Gun”, jet tempur F-14 Tomcat pernah jadi andalan AL Amerika. Iran kini satu-satunya negara penggunanya.
Iran dan Program Nuklirnya (Bagian II)

Iran dan Program Nuklirnya (Bagian II)

Iran memulai program nuklirnya dengan bantuan Amerika. Perlahan pasca-Revolusi Iran dianggap sebagai ancaman.
Iran dan Program Nuklirnya (Bagian I)

Iran dan Program Nuklirnya (Bagian I)

Amerika Serikat awalnya membantu program nuklir Iran, namun berbalik karena menuduh Iran bikin senjata nuklir.
Membedah Sejarah Kesehatan dan Kedokteran Indonesia

Membedah Sejarah Kesehatan dan Kedokteran Indonesia

Tema sejarah kesehatan masih begitu terbatas dalam historiografi Indonesia. Sejarawan Hans Pols menawarkan perspektif baru dalam memahami dinamika sejarah kesehatan di Indonesia.
bottom of page