- Laila Amalia Khaerani
- 26 Jul
- 6 menit membaca
LORONG-LORONG membentang di antara bangunan tua dengan arsitektur Tionghoa yang khas. Diselimuti cahaya lembut dari lampion-lampion merah yang menggantung dengan tenang. Inilah Gedung Candra Naya, bangunan seluas sekitar 2.250 meter persegi, yang berada di kawasan Glodok. Persisnya berlokasi di Jalan Gajah Mada No. 188, Jakarta Barat.
Candra Naya adalah bangunan bekas kediaman keluarga “Khouw van Tamboen”, salah satu keluarga terpandang di Batavia. Salah satu keistimewaannya terletak pada bentuk atap yang melengkung, dengan kedua ujungnya terbelah dua. Bentuk atap ini dikenal sebagai Yansen atau ekor walet. Hal ini menandakan status sosial tinggi dari pemilik bangunan.
“Bangunan Candra Naya adalah protoype dari bangunan Tionghoa dengan sistem landed house. Hal ini ditandai dengan adanya bangunan inti yang berada di tengah, bangunan sayap di kanan dan kiri, dan di bangunan belakang ada gazebo dan bangunan service,” ujar Naniek Widayati, guru besar Ilmu Arsitektur di Universitas Tarumanagara Jakarta yang juga menjadi arsitek pemugaran Candra Naya, kepada Historia.ID.
Meskipun kini terhimpit di antara dua gedung tinggi, Candra Naya tetap kokoh sebagai cagar budaya yang ramai dikunjungi.

Keluarga Khouw
Jejak keluarga “Khouw dari Tamboen” bermula dari kedatangan Khouw Tjoen dari Hokkien, sbeuah provinsi di Tiongkok, ke Hindia Belanda sekitar abad ke-18. Dia tinggal dan memulai usaha di Tegal (Jawa Tengah) tapi kemudian pindah dan menetap di Batavia.
Khouw Tjoen sukses berdagang. Setelah meninggal dunia, usahanya diteruskan oleh anaknya, Khouw Tian Sek. Dicatat Arnold Wright, penulis Inggris, dalam Twentieth Century Impressions of Netherlands India (1909), Khouw Tian Seck atau dikenal sebagai Teng Seck, “mungkin dianggap sebagai pendiri sejati kekayaan keluarga tersebut.”
Khouw Tian Sek mengalihkan aset keluarga ke usaha kepemilikan tanah, Dia memiliki banyak tanah di Batavia, bahkan hingga ke luar wilayah Batavia. Salah satunya di daerah Tambun, yang jadi pusat kekayaan keluarga Khouw. Dia juga membeli sawah dan perkebunan tebu di dalam dan sekitar Batavia. Di masa tuanya, dia diangkat oleh pemerintah Belanda sebagai opsir Tionghoa dengan gelar luitenant titulair der Chinezen.
Setelah Khouw Tian Sek meninggal tahun 1843, kekayaan keluarga diwariskan kepada ketiga putranya, Khouw Tjeng Tjoan, Khouw Tjeng Kee, dan Khouw Tjeng Po –yang disebut terakhir adalah ayah dari Khouw Yaouw Kee, anggota dari keluarga Khouw yang pertama diangkat sebagai kapiten Cina. Seperti ayahnya, tiga bersaudara itu juga memperoleh gelar luitenant titulair der Chinezen.
Khouw Tjeng Tjoan bersama saudaranya mengembangkan kekayaan keluarga Khouw. Mereka memiliki perdagangan opium serta ratusan hektar sawah di Batavia, Bekasi, Kerawang, Cikampek dan puluhan rumah di Molevliet, sebuah kanal dan nama daerah di sekitar kanal tersebut di Batavia.
Khouw Tjeng Tjoan dan saudara-saudaranya tinggal di tiga rumah besar yang dibangun berdekatan di sepanjang Molenvliet West (sekarang Jalan Gajah Mada). Menurut Suhana Lim dalam Feng Shui: Kisah Langit Manusia Bumi, rumah nomor 168 dihuni oleh Khouw Tjeng Po, di tengah atau nomor 188 ditempati oleh Khouw Tjeng Tjoan, dan nomor 204 oleh Khouw Tjeng Kee.
Sayangnya, rumah nomor 168 sudah dibongkar dan dijadikan SMAN 2 Jakarta. Sedangkan nomor 204 sempat dipakai Kedutaan Besar Republik Rakyat Tiongkok sebelum dirobohkan menyusul Peristiwa Gerakan 30 September 1965 dan lahannya dialihfungsikan untuk komersial. Yang tersisa hanyalah rumah nomor 188 yang kini dikenal sebagai Gedung Candra Naya.
Tak ada catatan pasti mengenai waktu pendirian kompleks rumah tersebut. Pada salah satu panel lukisan yang menghiasi dinding bangunan, terdapat tulisan dalam aksara Cina yang merujuk pada tahun “kelinci api”. Tahun ini dalam kalender Cina hanya terjadi setiap 60 tahun sekali, yaitu 1807 dan 1867. Jadi, kemungkinan bangunan ini didirikan pada salah satu dari dua tahun tersebut. Bisa jadi dibangun oleh Khouw Tian Sek tahun 1807 untuk menyambut kelahiran anaknya, Khouw Tjeng Tjoan. Bisa pula didirikan oleh Khouw Tjeng Tjoan tahun 1867.
Saat itu fungsi bangunan utama digunakan sebagai tempat menjalankan aktivitas bisnis atau administrasi keluarga Khouw Tjeng Tjoan. Sedangkan di bagian belakang kompleks terdapat bangunan dengan dua lantai yang memiliki 100 tempat tidur. Bangunan ini diperuntukkan sebagai rumah tinggal para selir.
“Jangan heran, karena pemiliknya mempunyai 14 orang istri dan 24 orang anak. Belum lagi ratusan orang pelayan yang juga menempati rumah itu,” catat Alwi Shahab dalam Robinhood Betawi Kisah Betari Tempo Doeloe.


Rumah Mayor
Kediaman Khouw Tjeng Tjoan, yang kemungkinan meninggal tahun 1880, kemudian ditempati oleh putranya, Khouw Kim An. “Saat tinggal di sana, Khouw Kim An memiliki peran yang sangat besar terutama bagi perkembangan masyarakat Tionghoa,” ujar Naniek.
Khow Kim An adalah salah satu pendiri organisasi sosial Tiong Hwa Hwe Kwan (THHK) di Batavia. Dia dianugerahi pangkat luitenant (letnan) oleh pemerintah Hindia Belanda pada 1905, dipromosikan menjadi kapitan (1908), dan kemudian diangkat sebagai mayor (19101-1918 dan diangkat kembali 1927-1942). Karena jabatan inilah, Gedung Candra Naya dahulu dikenal sebagai Rumah Mayor.
Saat menjabat sebagai mayor, Khouw Kim An tidak hanya menjadikan rumahnya sebagai tempat tinggal, tetapi juga pusat pertemuan komunitas Tionghoa. Khow Kim An juga meraih beberapa kedudukan penting. Pada 1918, bersama hartawan Tjong A Fie dan Lie Tjian Tjoen, dia mendirikan Batavia Bank. Dia pernah terpilih menjadi presiden Kong Kwan (Dewan Cina) di Batavia. Kemudian diangkat menjadi anggota Dewan Rakyat atau Volksraad (1921-1930). Dengan kedudukan itu, tak heran jika rumah Khouw Kim An kerap didatangi banyak orang.
“Pentingnya kediaman Khouw Kim An menyebabkannya ditetapkan sebagai situs warisan pada 1931 berdasarkan Monumenten Ordonantie, upaya pertama Belanda untuk mengakui bangunan bersejarah di koloni mereka,” catat Ronald G. Knapp dalam Chinese Houses of Southeast Asia.
Nasib Khouw Kim An berubah drastis saat pendudukan Jepang. Dia diinternir oleh tentara Jepang dan meninggal dunia pada 13 Februari 1945. Dia dimakamkan di kompleks pemakaman Keluarga Khouw di Jati Petamburan, Jakarta Pusat. Khouw Kim An menjadi penghuni terakhir rumah ini, yang ditinggalkan oleh putra-putranya.

Candra Naya
Pada 1946, rumah nomor 188 disewa dan dimanfaatkan sebagai kantor Sin Ming Hui (Perhimpunan Sinar Baru) yang bergerak di bidang pendidikan dan sosial. Khow Woen Sioe, saudara Khouw Kim An, menjadi ketua umum selama empat periode berturut-turut.
Sejak itu, rumah itu menjadi tempat lahirnya berbagai lembaga, dari pendidikan hingga poliklinik, serta beragam kegiatan, dari fotografi hingga bulutangkis. Semua fasilitas tersebut diperuntukkan bagi masyarakat kurang mampu.
“Poliklinik itu gratis, yang gunanya untuk mewadahi masyarakat Tionghoa kurang mampu. Akhirnya, poliklinik itu menjadi cikal bakal Rumah Sakit Sumber Waras,” ujar Naniek. Beberapa anggota Sin Ming Hui juga mengagas sekolah tinggi ekonomi yang kelak berkembang menjadi Universitas Tarumangera.
Pada 1960-an, sesuai kebijakan pemerintah, Sin Ming Hui berganti nama menjadi Perhimpunan Sosial Tjandra Naja atau kini yang kemudian disesuaikan dengan ejaan baru menjadi Perhimpunan Sosial Candra Naya. Sebutan Candra Naya kemudian juga dipakai untuk menyebut bekas rumah keluarga Khouw.
Menyusul Peristiwa Gerakan 30 September 1965, sementara dua rumah lainnya hancur dan berubah fungsi, rumah nomor 188 terbengkalai. Sempat terjadi perselisihan, ahli waris keluarga Khouw menjual rumah dan lahan di sekitarnya kepada Modern Group milik Samadikun Hartono pada 1992.
Setahun kemudian, Gubernur DKI Jakarta menetapkan Gedung Candra Naya sebagai bangunan cagar budaya yang harus dileastarikan. Namun, status itu tak menghentikan pembangunan kompleks hotel, apartemen, dan pertokoan ritel setinggi 30 lantai di sekitar rumah keluarga Khouw. Dampaknya, sayap samping dan bangunan terkait di belakang dihancurkan, hanya menyisakan sepasang struktur utama yang membingkai halaman yang terjepit di antara menara-menara bangunan baru yang menjulang di lokasi tersebut.
“Meskipun pengembang properti tersebut menyatakan kesediaannya untuk merekonstruksi beberapa bagian rumah bangsawan yang telah dihancurkan itu, keseluruhan pembangunan terhenti tahun 1997 karena krisis ekonomi Indonesia,” catat Ronald G. Knapp.
Setelah sekian lama terbengkalai, Candra Naya akhirnya direstorasi sejalan dengan pembangunan superblok Green Central City oleh PT Bumi Perkasa Permai, anak perusahaan dari Modern Group. Proses restorasi mulai diadakan tahun 2014. Hal ini menjadikan Candra Naya diapit dua bangunan yang menjulang tinggi. Di bagian depan menjadi Hotel Novotel. Sedangkan, di bagian belakang didirikan gedung apartemen.
“Bangunan inti yang berada di tengah masih utuh. Sedangkan bangunan kanan dan kiri adalah bangunan baru dengan sistem rekonstruksi karena bangunan aslinya sempat dirobohkan sementara saat mau membangun dua bangunan Green Central City, tetapi saat dibangun tetap menggunakan material yang lama,” ujar Naniek.
Bukan hanya material. Kayu, ukiran, dan elemen lainnya yang terpasang tetap dipertahankan sebagaimana aslinya. Namun, masalahnya, Gedung Candra Naya tidak terlihat dari jalan raya karena posisinya terimpit oleh dua gedung yang lebih tinggi.
“Yang jadi masalah utama adalah ketika membuat basement hotel dan apartemen yang dibuat tidak masuk ke dalam tetapi dibuat semi naik di atas tanah 1,2 meter. Ini menyebabkan Gedung Candra Naya jadi terlihat tenggelam,” ujar Naniek.
Meskipun demikian, Modern Group tetap menjaga bangunan inti Candra Naya. Bangunan ini tidak disewakan secara komersial dan dapat diakses secara gratis. Saat ini, Gedung Candra Naya digunakan sebagai wisata edukasi, serta memiliki satu ruang ibadah yang masih sering dikunjungi.*



















Komentar