- Petrik Matanasi
- 11 Jun
- 5 menit membaca
Diperbarui: 12 Jun
SUATU kali, Kolonel Alex Evert Kawilarang dengan seragam dan tanda pangkat militernya muncul di hadapan anggota Batalyon XVII pimpinan Kapten Abdullah, dikenal sebagai Batalyon Abdullah. Alih-alih mendapatkan hormat dari para prajurit mengingat dirinya salah satu pejabat penting militer Republik Indonesia, Alex justru seperti diacuhkan. Alex tentu mafhum. Abdullah alias Dullah dan pasukannya adalah tentara yang lahir karena revolusi, bukan karena sekolah militer.
Dullah dan pasukannya terkesan anti-formalitas ala militer. Dullah sendiri hanya rakyat biasa dengan tradisi-budayanya yang merakyat. Sikap merakyatnya makin menjadi-jadi setelah revolusi kemerdekaan Indonesia pecah, bahkan ketika dirinya sudah menjadi tentara.
Pamor Abdullah meroket cepat di ketentaraan pada 1945. Dalam waktu singkat dia jadi kapten dan kemudian menjadi mayor. Namun, pangkatnya tidak membuatnya terlihat lebih tinggi di dalam pasukannya. Sebagai orang yang bukan priayi, dia tak “aji mumpung” menjadi priyayi baru di masa revolusi itu.
Dullah sebagai mana umumnya pemuda Surabaya. Caranya bicara, bertindak, dan bergaul dengan orang lain cenderung spontan. Meski dia berasal dari Gorontalo, dia besar dan tumbuh layaknya pemuda Surabaya yang umumnya suka berterus terang, apa adanya, dan cenderung egaliter. Di luar urusan ketentaraan, dia cenderung enggan untuk bersikap lebih tinggi dari anggota pasukannya. Dullah adalah komandan ideal dalam tentara rakyat. Dullah adalah komandan yang tidak menuntut banyak kepada anak buahnya.
“Tuntutan Abdullah pada anak buahnya hanyalah loyalitas kepada revolusi,” sebut Suhario Padmodiwirio alias Hario Kecik dalam Autobiografi Seorang Mahasiswa Prajurit.
Kendati tak berasal dari pendidikan militer, Dullah yang berasal dari golongan bawah tidak lupa bahwa dirinya adalah tentara –model baru yang tidak terikat pada budaya feodal. Maka, Dullah tahu apa yang harus dilakukan ketika dalam pertempuran.
“Jika pertempuran-pertempuran sedang berkobar ia senantiasa berada di barisan terdepan memberikan pimpinan dan petunjuk, terutama dalam cara mereka memberi semangat anak buahnya. Perasaan senasib dan sepenanggungan sangat mendarahdaging,” catat Radik Djarwadi dkk. dalam Pradjurit Mengabdi, Gumpalan Perang Kemerdekaan Bataljon Y.
Kepemimpinan Mayor Abdullah, bisa terlihat dalam keadaan penting dan tentu saja genting. Radik Djarwadi dkk. menyebut dalam perkara atau keadaan yang penting, Dullah selalu memberikan keputusan tepat dan tegas.
Gaya kepempinan Mayor Abdullah tentu sulit ditiru oleh para perwira berlatar priyayi ketika memimpin prajurit yang latar kehidupannya keras apalagi berpengalaman tempur.
“Hubungan prajurit dan perwira terbilang longgar di Jawa Timur. Berbeda dengan di Jawa Barat. Perwira-perwira Jawa Timur pun di masa sulit tampak tak begitu peduli dengan hal semacam itu,” kata Hario Kecik.
Menurut Hario Kecik, Abdullah adalah tipe orang yang sederhana. Dia mudah bergaul dan memahami siapa saja.
“Ia tidak mementingkan segala macam tata cara penghormatan, tapi cukup berwibawa untuk mengendalikan para anak buahnya yang berasal dari rakyat biasa,” kenang Hario Kecik. Para pemuda itu, sambung Hario Kecik, “mengalami masa pahit di jaman kolonial Belanda dan penjajahan Jepang.”
Ketika baru jadi tentara, Dullah tahu bahwa para pemuda dari rakyat jelata itu kebanyakan belum pernah jadi tentara atau mendapatkan pendidikan militer sehingga harus didekati dengan cara yang merakyat, budaya yang sudah mendarah daging pada dirinya. Gaya militer KNIL atau PETA belum tentu cocok untuk anak buahnya yang kebanyakan anti-formalitas. Dullah yang tidak pernah sekolah tentu tidak punya pengalaman ala bekas sersan KNIL atau PETA dalam menghadapi bawahan dengan gaya-gaya feodal Eropa atau Jepang.
Pertempuran
Efektif-tidaknya gaya kepemimpinan Dullah yang “luwes” itu tentu paling tepat dinilai dari kiprahnya dalam pertempuran. Sebagaimana banyak kesatuan bersenjata lain di berbagai tempat, Batalyon XVII alias Batalyon Abdullah juga terlibat dalam pertempuran melawan pasukan Belanda setelah militer Belanda melancarkan agresinya yang kedua pada pengujung 1948. Batalyon Abdullah sempat bertahan di pegunungan selatan Jawa Timur.
Dalam Clash II itu, lawan Batalyon Abdullah adalah tentara Belanda, baik yang berasal dari Koninklijk Landmacht alias dari wajib militer bule Belanda maupun tentara lokal Koninklijk Nederlandsch Indische Leger (KNIL) yang berasal dari berbagai macam etnis Indonesia, serta tentara bantuan Belanda yang bernama Batalyon Tjakra (penerus tradisi Barisan Madoera), yang direkrut dari orang-orang Madura yang kurang pengetahuan tentang revolusi Indonesia.
Perjuangan Batalyon Abdullah di segitiga Pegunungan Arjuno timur tidaklah mudah. Sebab, lawan mereka tentara yang terlatih, bersenjata lengkap, dan cukup logistik. Kondisi tersebut berkebalikan dengan kondisi pasukan Abdullah. Belum lagi, para serdadu Belanda “melek huruf”.
Keunggulan pengetahuan itu membuat Belanda terus mencari cara baru untuk mengenyahkan lawannya. Salah satunya dengan membuat jebakan, seperti para pendahulu mereka dulu ketika mengalahkan para pejuang yang menentang kehadiran VOC dan Hindia Belanda. Jebakan pasukan Belanda itu antara lain berupa bujukan kepada Letnan Ichdar dan pasukannya yang merupakan bagian dari Batalyon Abdullah. Namun, bujukan itu tidak mempan.
“Suatu ketika pasukannya menderita kerugian yang tidak sedikit akibat suatu sergapan musuh di Gunung Gangsir. Dengan sangat tergesa-geasa pihak musuh segera menyebarkan plakat ke seluruh pelosok desa. Akan tetapi jiwa pejuang-pejuang Republik tidak seempuk yang dikira,” tulis Radik Djarwadi dkk. dalam Pradjurit Mengabdi, Gumpalan Perang Kemerdekaan Bataljon Y.
Plakat-plakat itu lalu dicopoti para pemuda Indonesia. Mereka meyakini itu sebuah jebakan.
Menjadi komandan tentu menuntut Mayor Abdullah berpikir kendati dirinya sadar tidak sepintar orang yang bersekolah. Beruntung di dalam pasukannya terdapat Kapten FJ “Broer” Tumbelaka. Sebagaimana diterangkan Barbara Silar Harvey dalam Permesta: Pemberontakan Setengah Hati, Tumbelaka sebagaimana umumnya perantau Minahasa, relatif berpendidikan. Maka Tumbelaka yang merupakan wakil Abdullah di Batalyon XVII ini menjadi tempat Mayor Abdullah bertukar pikiran.
Bersama para perwiranya, Mayor Abdullah berusaha menyusun pasukan sekuat mungkin. Pasukannya dibekali pedoman dalam bergerilya. Kala itu, Abdul Haris Nasution belum menulis buku Fundamentals of Guerilla War yang bisa dijadikan bekal pengetahuan teknis bergerilya.
“Setiap anggota pasukan harus menyimpan rahasia dan menyembunyikan diri atau berpakaian setjara rakjat biasa, bilamana tidak sedang bertugas,” sebut Radik Djarwadi dkk.
Pedoman seperti itu sangat umum dalam perang gerilya. Menyatu sebagai rakyat merupakan intinya. Sudah pasti menyerang lawan adalah keharusan di kala mampu dan setelah lewat penuh perhitungan.
“Setiap serangan diperhitungkan dengan teliti dan mempunyai keyakinan akan mencapai hasil yang memuaskan. Menyerang dengan tiba-tiba dan menghilang secepat-cepatnya setelah mencapai hasil,” sambung Radik Djarwadi dkk.
Selain itu, para prajurit diperintahkan untuk mengintensifkan penghadangan konvoi-konvoi musuh dengan ranjau setelah melewati perhitungan matang.
Mayor Abdullah dan jajarannya tidak alergi dengan orang-orang Indonesia yang di masa revolusi itu masih bekerja kepada NICA. Orang-orang inilah yang sangat potensial dijadikan semacam “kolone kelima” atau penyusup.
“Setiap orang yang bekerja pada pihak musuh, harus berusaha untuk merugikan musuh. Misalnya mencuri peluru dan bahan-bahan amunisi lainnya,” catat Radik Djarwadi dkk.
Sebagai pasukan yang bergerilya, sudah tentu Batalyon Abdullah terus berusaha mendekatkan diri pada warga desa yang sama-sama rakyat jelata. Selain itu, mereka konsisten berpindah dari satu desa ke desa lain.
“Pasukan senantiasa bergerak dari desa ke desa agar sukar diketahui dengan pasti kedudukan basis kekuatan gerilya. Gerakan dari pasukan bersenjata yang meluas, akan mempunyai arti propaganda juga,” tulis Radik Djarwadi dkk.
Dari “memegang” desa-desa itu, pasukan Abdullah lalu menyusun pos penghubung di setiap desa. Tujuannya untuk mendukung pergerakan pasukan.
Cara Batalyon Abdullah melumpuhkan musuh juga tidaklah kaku. Untuk mengalahkan musuh, tidak harus dilakukan dengan membunuh langsung pasukan musuh tapi dengan menghancurkan sumber-sumber kekuatan musuh. Dalam pedoman gerilya yang dimiliki Batalyon Abdullah diserukan agar pasukan terus berupaya melumpuhkan objek-objek perekonomian yang vital bagi musuh. Di lapangan tempat Batalyon Abdullah bergerak, objek vital itu terutama adalah onderneming-onderneming alias perkebunan yang ada. Cara yang dilakukan untuk melumpuhkan yaitu membakar dan merusak tanaman-tanaman tebu, mengorganisasikan pemogokan buruh, atau sabotase. Dengan spirit merdeka dan disiplin mematuhi pedoman itulah Batalyon Abdullah bisa mengatasi masa sulitnya di medan pertempuran dan memenangkan pertempuran hingga Belanda angkat kaki.*
Comments