top of page

Sejarah Indonesia

Dari Badjak Laoet ke Batalyon Abdullah

Pasukan Abdullah berpengalaman di masa revolusi. Dari ALRI, pasukan ini jadi bagian AD di bawah Divisi I pimpinan Kolonel Sungkono.

10 Juni 2025
bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Ilustrasi laskar perjuangan. Pasukan Abdullah yang ikut berjuang dalam mempertahankan kemerdekaan, burmula dari laskar bernama Badjak Laoet. (IWM)

Diperbarui: 3 hari yang lalu

SETELAH 1946, pasukan Badjak Laoet yang dipimpin oleh Abdullah alias Dullah ikut bergeser makin ke selatan dari Sidoarjo dalam Pertempuran Surabaya. Di sana, Badjak Laoet bertambah kuat lantaran isinya ditambahkan unsur dari pasukan 0032 pimpinan Letnan Soeharto. Pasukan itu kemudian menjadi bagian dari Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI) dan lebih dikenal dengan Batalyon Abdullah –di masa revolusi, ada tren nama pasukan berdasarkan nama komandannya.

 

Situasi negeri yang kala itu sedang kacau membuat Batalyon Abdullah mesti ke mana-mana ikut tugas memanggil. Saat  terjadi  apa yang dinamakan “Kudeta 3 Juli 1946” di ibukota Yogyakarta oleh kelompok Tan Malaka yang gagal, pasukan yang dipimpin Abdullah juga ikut serta dalam penanggulangan kudeta tersebut.

 

“Beberapa pasukan dari ALRI Pangkalan VII diperintahkan berangkat ke Jogjakarta untuk turut menenteramkan suasana di ibu kota revolusi yang genting itu. Di antara pasukan-pasukan yang diberangkatkan itu terdapat pula sedjumlah pasukan jang dipimpin oleh Kapten Abdullah,” catat Radik Djarwadi dkk dalam Pradjurit Mengabdi Gumpalan Perang Kemerdekaan Bataljon Y.

 

Masalah Kudeta 3 Juli tidak berlarut-larut karena para pemimpinnya sudah ditangkapi. Jadi meski tak menghadapi tentara Belanda, pasukan Abdullah tetap sibuk. Pada bulan berikutnya, Agustus 1946, beberapa anggota pasukan Abdullah yang berasal dari pasukan 0032 ada yang dikirim ke Banyuwangi dan Bangil. Mereka yang dikirim ke Banjuwangi dipimpin Letnan Satu Soelaeman, sementara yang dikirim ke Bangil dipimpin Letnan Dua Soeparto.

 

Pasukan Abdullah dikirim pula sampai ke Jawa Barat. Antara 22 Oktober 1946 hingga 16 November 1946, mereka ditugaskan ikut mengawal perundingan di Linggarjati, Kuningan, Jawa Barat.

 

“Menjelang akan diadakannya perundingan antara Indonesia-Belanda di Linggardjati, maka sebagian dari pasukan Kapten Abdullah dikirimkan ke Cirebon untuk melakukan tugas pengawalan. Pasukan ini dipimpin sendiri oleh Kapten Abdullah,” catat Radik Djarwadi.

 

Ketika ALRI Pangkalan VII berada di Lawang, pasukan yang disebut Barisan Pelopor pimpinan Kapten Abdullah pernah berbasis di Punten, Batu dan Bululawang. Pasukan Abdullah yang mulanya batalyon dalam Tentara Laut Republik Indonesia (TLRI) itu kemudian terkena reorganisasi setelah pemerintahan Hatta mengeluarkan kebijakan itu pada awal 1948.  

 

Reorganisasi di Angkatan Laut pada 1948 telah membuat ALRI kehilangan Tentara Laut Republik Indonesia (TLRI) yang menjadi kekuatan tempurnya. TLRI itu dipindahkan ke Angkatan Darat. Bekas Barisan Pelopor pimpinan Abdullah kemudian menjadi Depot Batalyon, yang dalam perjalanannya pernah berada di Brigade 16 Divisi I TNI. Kala itu pangkat Abdullah tetap mayor sedangkan panglima Divisi I adalah Kolonel Sungkono.

 

Depot Batalyon lalu berganti menjadi Batalyon XVII dengan Mayor Abdullah tetap komandannya. Ketika meletus Peristiwa Madiun 1948, batalyon XVII dikirimkan ke daerah Rembang dan Tuban. Mayor Abdullah berusaha mengurangi jumlah korban dalam konflik antara kelompok Musso-Amir dengan pemerintah pusat pimpinan Hatta tersebut.

 

“Penjagaan TNI terutama terbatas di Tuban dan Rembang. Di tempat-tempat itu bertugas bagian-bagian dari batalyon XVII dari Mayor Abdullah yang baru saja diresmikan dalam Brigade 1 dari Letnan Kolonel Sudirman,” catat Abdul Haris Nasution dalam Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia Volume 9.

 

Pada akhir 1948 pasukan Abdullah dipecah. Tujuannya untuk memenuhi kebutuhan taktis.

 

“Bataljon XVII dipecah mendjadi dua; dua kompi menuju Kabupaten Tuban, dua kompi lainnja menuju ke Tretes-Lawang dan meneruskan perang gerilya di masing-masing daerahnya,” terang Radik Djarwadi.

 

Batalyon XVII ikut bergerilya melawan Belanda setelah militer Belanda kian agresif. Seperti apa perjuangan Batalyon Abdullah itu melawan Belanda, akan dikisahkan dalam tulisan berikutnya. (Bersambung).

 

Comments

Rated 0 out of 5 stars.
No ratings yet

Add a rating
Mayor Udara Soejono Sang Eksekutor Kartosoewirjo

Mayor Udara Soejono Sang Eksekutor Kartosoewirjo

Mayor Soejono disebut sebagai eksekutor imam DI/TII S.M. Kartosoewirjo. Dia kemudian dieksekusi mati karena terlibat G30S.
Bung Karno dan Sepakbola Indonesia

Bung Karno dan Sepakbola Indonesia

Meski punya pengalaman kurang menyenangkan di lapangan sepakbola di masa kolonial, Bung Karno peduli dengan sepakbola nasional. Dia memprakarsai pembangunan stadion utama, mulai dari Lapangan Ikada hingga Gelora Bung Karno.
Juragan Besi Tua Asal Manado

Juragan Besi Tua Asal Manado

Bekas tentara KNIL yang jadi pengusaha kopra dan besi tua ini sempat jadi bupati sebelum ikut gerilya bersama Permesta.
Perdebatan dalam Seminar Sejarah Nasional Pertama

Perdebatan dalam Seminar Sejarah Nasional Pertama

Seminar Sejarah Nasional pertama tidak hanya melibatkan para sejarawan, melainkan turut menggandeng akademisi dan cendekia berbagai disiplin ilmu serta unsur masyarakat. Jadi momentum terbitnya gagasan Indonesiasentris dalam penulisan sejarah nasional Indonesia.
Berlan Kampung Serdadu dan Anak Kolong

Berlan Kampung Serdadu dan Anak Kolong

Sedari dulu, Berlan adalah daerah militer. Di zaman KNIL, Jepang, ataupun Indonesia, tetap sama.
bottom of page