- Petrik Matanasi
- 12 Jun
- 3 menit membaca
KEMELUT di Makassar pada awal 1950-an akibat beberapa pemberontakan membuat pemerintah serius mengatasinya. TNI selaku alat pertahanan mengirimkan lebih banyak tentaranya ke Makassar. Batalyon XVII yang dipimpin Mayor Abdullah juga ikut didaratkan ke Sulawesi Selatan.
Mulanya, Batalyon Abdullah termasuk ke dalam tiga batalyon dari Brigade Mataram yang akan didaratkan di Bantaeng. Namun kemudian dua batalyon lain langsung menuju ke Makassar. Menyisakan Batalyon Abdullah yang diperintahkan tetap mendarat di Bantaeng dengan diantar kapal motor Kaimana.
“Pada tanggal 26 April 1950 jam 05.00 pagi setibanya di tempat yang dituju sekoci-sekoci diturunkan guna mengangkut pasukan-pasukan yang akan melakukan pendaratan pertama,” catat Radik Djarwadi dalam Pradjurit Mengabdi Gumpalan Perang Kemerdekaan Bataljon Y.
Pendaratan di Bantaeng berjalan aman. Sebab, ketegangan di Makassar hanya dalam hitungan hari saja (5-13 April 1950).
Mulanya, Batalyon Abdullah hanya menurunkan satu kompi ekspedisi. Batalyon tersebut tetap bertindak hati-hati meski tidak ada perlawanan dalam pendaratan mereka. Setelah Bantaeng aman, sebuah kompi ekspedisi batalyon itu bergerak ke Jeneponto, sementara kompi-kompi lain menuju Kota Bantaeng. Di sana tak ada perlawanan yang mereka temukan.
Selain di Bantaeng dan Jeneponto, ada pula kompi yang dikirim ke Malakaji dan Bulukumba. Paling banyak, tiga kompi dari Batalyon Abdullah berada di Parepare.
Batalyon Abdullah kemudian menjadi kekuatan penting di Bantaeng. Mayor Abdullah selaku komandan batalyon kemudian diangkat menjadi komandan Sub Sektor III.
“Setelah sebulan lamanya bertugas di Bantaeng, pada 21 Mei 1950, maka Batalyon XVII mendapat perintah untuk meninggalkan Sulawesi Selatan dan turut mengambil bagian dalam Operasi Maluku Selatan,” tulis Radik Djarwadi.
Pasukan itu berada di bawah Komando Operasi pasukan Sunda Kecil yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Kosasih. Pasukan Mayor Abdullah kemudian dilibatkan dalam operasi penumpasan Repubik Maluku Selatan (RMS) pimpinan Dr. Sumoukil.
Operasi melawan angkatan perang RMS bukanlah operasi yang mudah bagi TNI. Meski menurut Dieter Bartels dalam Di Bawah Naungan Gunung Nunusaku jilid 2, kekuatan TNI sebenarnya jauh lebih banyak, puluhan ribu, menghancurkan RMS yang hanya ribu-an pasukan saja tidak semudah yang diperhitungkan.
“Batalyon Abdullah sudah menempatkan pasukan APRIS di Kepulauan Tamimbar, Kei, Aru hingga kepulauan Geser dan beberapa tempat di Seram Selatan,” kenang Alex Kawilarang, pemimpin seluruh operasi, dalam Untuk Sang Merah Putih.
Semua persiapan dilakukan Batalyon Abdullah. Selain semua pendukung teknis, taktik juga dimatangkan.
“Setelah segala sesuatunya selesai dipersiapkan di kota Geser, maka pada tanggal 24 Agustus 1950 dimulailah seluruh gerakan.” sebut Radik Djarwadi dkk.
Di sana, Batalyon Abdullah menjalani pertempuran pantai. Bukan perkara mudah. Kombatan lawan merupakan penduduk setempat yang amat mengenal medan. Maka korban dari pihak TNI pun berjatuhan, termasuk Mayor Abdullah sendiri.
“Mayor Abdullah gugur dalam salah satu pendaratan di Seram Selatan,” ujar Alex Kawilarang.
Mayor Abdullah bukan satu-satunya perwira TNI yang gugur dalam pertempuran melawan RMS. Di atas Abdullah, setidaknya ada dua letnan kolonel bernama Slamet yang juga tidak selamat dalam operasi melawan RMS itu, yakni Slamet Sudiarto dan Slamet Riyadi.
Operasi melawan RMS merupakan arena yang bagus untuk membuang perwira kerakyatan macam Abdullah, Sudiarto, dan Riyadi. Setelah 1950, tak ada lagi perwira macam Abdullah dalam ketentaraan Indonesia. Peluang terbuka hanya kepada golongan yang bisa menyekolahkan anaknya hingga SMA.
Setelah Mayor Abdullah gugur, Batalyon Abdullah bertugas di Sulawesi Selatan lagi. Kali ini tugasnya melawan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) yang dipimpin Kahar Muzakkar. Dalam tugas tersebut, Batalyon Abdullah pernah bentrok dengan batalyon yang dipimpin Andi Selle.*













Komentar