- Amanda Rachmadita
- 22 Jul
- 4 menit membaca
ADA beragam kegiatan untuk mengisi waktu luang atau melepas penat dari rutinitas, salah satunya dengan karaoke. Hiburan ini digemari karena seseorang bisa menyanyi dengan diiringi alat musik tanpa harus menjadi penyanyi profesional. Tidak perlu takut tak hafal lirik lagu, sebab lirik akan ditampilkan di layar. Tak heran bila kini karaoke menjadi hiburan populer di dunia.
Karaoke berasal dari bahasa Jepang, yakni kara artinya kosong dan oke (okesutora) berarti orkestra tanpa vokal. Karaoke merujuk pada mesin yang memutar musik tanpa vokal yang memungkinkan seseorang untuk menyanyi, baik sendiri atau bersama-sama, dengan diiringi alat musik.
Daisuke Inoue menyebut kata karaoke telah ada jauh sebelum ia menciptakan mesin karaoke. Pada 1950-an, pemogokan musisi teater Jepang membuat para produser terpaksa menyetel musik yang sudah direkam sebelumnya. “Seperti yang diceritakan Inoue, beberapa pengamat menunjukkan bahwa para manajer telah menyewa ‘orkestra tanpa vokal’, yang mengarah pada penciptaan karaoke,” tulis Brian Raftery dalam Don’t Stop Believin’: How Karaoke Conquered the World and Changed My Life.
Setelah lulus sekolah, Inoue yang dibesarkan di Jutso, kota kecil di luar Osaka, pindah ke kota pelabuhan Kobe. Di akhir tahun 1950-an, ketika jazz berkembang di Jepang, Inoue kerap mengisi acara di sejumlah klub malam untuk mendapatkan penghasilan. Namun, Inoue menyadari keterampilannya bermain drum tidak dapat menyaingi para pemain berpengalaman.
Oleh karena itu, Inoue berbisnis sampingan sebagai perantara musisi dan pemilik klub, dan mengumpulkan para pemusik freelance untuk membentuk kelompok gabungan. Ia kemudian menyadari akan lebih banyak menghasilkan uang jika tidak berada di atas panggung.
Pemilik klub malam di Kobe kerap mendatangkan pianis. Para pengunjung klub sering kali didorong untuk bernyanyi secara bergantian. “Inoue melihat berapa banyak uang yang dihasilkan oleh para musisi dan beralasan bahwa akan lebih murah jika mereka menggantinya dengan mesin. Dia membuat desain untuk prototipe. Mendiktekan rencana tersebut kepada seorang teknisi listrik, dan pada 1971, Inoue meluncurkan Juke-8, mesin karaoke pertama,” tulis Raftery.
Mesin karaoke Juke-8 memadukan speaker bass-amp, perangkat slot koin, dan pemutar kaset 8 track. Dengan satu koin 100 yen –kurang dari satu dolar AS– mesin ini akan memutar musik selama lima menit. Durasi pemutaran musik sangat tepat untuk memaksimalkan pendapatan. Pasalnya, rata-rata lagu pop berdurasi sekitar tiga menit. Dengan demikian, pengguna hanya akan sampai setengah jalan pada lagu kedua sebelum mendengar bunyi bel, yang mengingatkan mereka untuk terus memasukkan koin jika ingin terus bernyanyi.
Inoue membuat sebelas mesin Juke-8. Ia menggunakan koneksinya agar klub-klub malam memesan mesin tersebut. Ia meminta musisi lokal untuk merekam musiknya. Sebagian besar lagu-lagu yang direkam merupakan musik enka, genre musik balada sentimental dari Jepang yang populer sejak 1950-an, yang dramatis dan bercerita tentang cinta. Setelah lagu-lagu tersebut direkam, Inoue mengetik liriknya, dilaminasi, dan dijilid menjadi buku lagu.
Selama lima hari pertama, mesin-mesin karaoke tidak terpakai. Inoue mempekerjakan wanita-wanita muda untuk menarik pengunjung ke klub dan menggunakan mesin karaoke. Para wanita itu akan memilihkan lagu untuk para pengunjung. Setelah menyelesaikan lagu pertama, mereka harus menyerahkan mikrofon kepada pengunjung terdekat, sehingga mesin karaoke beroperasi sepanjang malam. Strategi ini sukses. Mesin-mesin karaoke penuh koin dalam waktu dua hari.
Sementara itu, menurut Xun Zhou dan Francesca Tarocco dalam Karaoke: The Global Phenomenon, Inoue terdorong menciptakan mesin karaoke setelah mendapat permintaan dari pengunjung bar pada 1969. Ketika itu, Inoue seorang pemain keyboard yang tidak terlalu sukses di sebuah bar di Kobe. Walau begitu, ia sangat dicintai oleh penyanyi amatir karena ia memiliki sentuhan ajaib. Inoue memiliki kemampuan membuat penyanyi yang tidak pandai bernyanyi menyesuaikan suara dengan musiknya, yang membuatnya dijuluki “mesin karaoke manusia”.
Suatu hari, seorang pelanggan memintanya ikut dalam perjalanan perusahaan dan memainkan alat musik untuk mengiringinya di sebuah pesta. Namun, Inoue terlalu sibuk untuk pergi. Ia merekam musik dalam sebuah kaset dan memberikannya kepada pelanggan tersebut. Inoue merekam musik dengan tempo yang telah disesuaikan. Pelanggan itu menyukainya, dan Inoue mengumpulkan uang dari musik rekamannya tanpa mengiringi pelanggannya menyanyi secara langsung.
“Dalam waktu tiga bulan, teman Inoue –seorang ahli elektronik, tukang kayu, dan perajin meubel– menyelesaikan permintaannya, sebuah mesin karaoke yang dilengkapi dengan mikrofon. Mereka menyebutnya Juke-8. Dengan memasukkan koin 100 yen ke dalam mesin, musik latar akan mulai diputar hanya dalam waktu lima detik. Awalnya mereka hanya membuat sebelas mesin, tetapi dengan cepat menjadi sangat populer sehingga mereka harus memproduksi sepuluh ribu mesin lagi,” tulis Zhou dan Tarocco.
Mesin karaoke tak hanya menarik minat para pengunjung klub di Kobe, tetapi juga orang-orang dari berbagai wilayah di Jepang. Kendati mesin karaoke sangat populer, Inoue tak berminat mengajukan paten. Ia percaya penciptaan mesin karaoke dapat dimulai di mana saja melampaui budaya dan batas-batas negara. Jika ia tidak menemukan mesin itu pertama kali, orang lain yang akan melakukannya. “Hanya kebetulan saja hal ini dimulai di Jepang. Seluruh dunia sama saja. Semua orang memiliki mimpi yang sama. Mereka semua ingin bernyanyi,” kata Inoue dikutip oleh Zhou dan Tarocco.
Paten mesin karaoke pun dimiliki oleh Roberto Del Rosario dari Filipina. Ia membuat mesin karaoke yang disebut Sing Along System pada 1975, dan memasarkannya tahun 1978. Mesin karaoke ini digambarkan sebagai mesin compact yang praktis, serbaguna, dan ringkas yang menggabungkan amplifier, speaker, tuner, dan mikrofon dengan fitur-fitur untuk meningkatkan suara seseorang. Alat-alat ini ditempatkan dalam kabinet. Pada 1996, Mahkamah Agung di Filipina menetapkan Roberto Del Rosario sebagai penemu sistem karaoke.
Sementara itu, menurut Raftery, respons positif masyarakat Jepang terhadap mesin karaoke dipengaruhi oleh faktor sejarah dan sosial yang unik. Inoue tumbuh dewasa selama ledakan industri di Jepang setelah Perang Dunia II, sebuah masa yang menghasilkan kemajuan teknologi yang luar biasa, yang menanamkan semangat berkreasi pada orang-orang Jepang. Inoue melihat adanya kebutuhan dasar manusia yang tidak terpenuhi, dan meresponsnya dengan menggabungkan teknologi lama dengan cara yang baru. Kreativitas yang penuh semangat seperti itu merupakan ciri khas budaya Jepang pascaperang, dan terus berlanjut hingga kini.
Karaoke juga menarik bagi tradisi dan nilai-nilai sosial Jepang, termasuk pentingnya kerja keras. Di Jepang, kemampuan menyempurnakan lagu tertentu sering dianggap sebagai bukti disiplin diri, dan banyak orang Jepang yang lebih tua mencoba menghafal setidaknya satu musik enka. Inilah sebabnya mengapa bar karaoke sangat populer di kalangan pekerja Jepang, atau salarymen, yang pergi ke sana tidak hanya untuk minum maupun merokok, tetapi juga membuat atasannya terkesan melalui sebuah lagu.
“Para salaryman bertanggungjawab atas meningkatnya popularitas karaoke di tahun 1980-an, saat Jepang berada di tengah-tengah ledakan ekonomi nasional. Ketika negara ini membuka diri terhadap perdagangan yang lebih besar, para pebisnis yang berkunjung dari seluruh dunia diperkenalkan dengan bar karaoke, yang terkadang digunakan sebagai ruang pertemuan informal,” tulis Raftery.
Setelah populer di Jepang, mesin karaoke merambah ke berbagai negara, mulai dari Amerika Serikat hingga Indonesia.*










Komentar