top of page

Sejarah Indonesia

Chairil Anwar Sang Pejuang

Chairil Anwar Sang Pejuang

Dia dikenal sebagai penyair pemberontak di zamannya. Benarkah selain menulis puisi-puisi revolusioner, dia pun seorang pemanggul senjata?

Oleh :
16 Desember 2020
bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Chairil Anwar (Wikimedia)

Karawang-Bekasi sejak 21 Juli 1947 adalah kesedihan. Haji Sidin masih ingat bagaimana di perbatasan antara kedua kota itu terjadi pertempuran yang cukup besar selama tiga hari berturut-turut antara para pejuang Indonesia dengan para serdadu Belanda.


“Itu yang mati banyak. Ratusan mungkin jumlahnya, ya tentara ya masyarakat biasa,” kenang lelaki berusia 91 tahun itu.


Dalam Gangsters and Revolutionaries, sejarawan Robert B. Cribb menyebut pertempuran besar dan brutal itu terjadi setelah para serdadu Belanda dari Batalyon 3-9-RI Divisi 7 Desember merangsek ke Karawang via Bekasi. Penyerbuan itu dilakukan, persis sehari setelah Gubernur Jenderal NICA (Pemerintah Sipil Hindia Belanda) H.J. van Mook mengumumkan pembatalan sepihak kesepakatan Perjanjian Linggarjati yang pernah ditandatangani oleh Indonesia dan Belanda beberapa bulan sebelumnya. Inilah yang mengawali Aksi Polisional I Belanda (pihak Republik menyebutnya sebagai Agresi Militer Belanda I).


Dalam situasi seperti itulah, penyair Chairil Anwar digambarkan oleh Sjuman Djaya dalam skenario film berjudul Aku melintasi lokasi-lokasi bekas terjadinya pertempuran. Dia yang saat itu tengah menuju Bekasi dari Karawang, menyaksikan bagaimana mayat-mayat manusia dan binatang ternak bertebaran di jalanan, rawa-rawa, sungai dan pepohonan.


“Semua itu dilihat dengan mata kepala Chairil sendiri…” tulis Sjuman Djaya.


Pengalaman itu rupanya sangat membekas di benak Chairil. Beberapa bulan setelah Insiden Karawang-Bekasi 1947, penyair yang kerap nongkrong di Pasar Senin, Jakarta itu menulis sebuah puisi berjudul "Karawang-Bekasi".


Kami yang kini terbaring antara Karawang-BekasiTidak bisa teriak "Merdeka" dan angkat senjata lagiTapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kamiTerbayang kami maju dan berdegap hati?Kami bicara padamu dalam hening di malam sepiJika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetakKami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debuKenang, kenanglah kami


Kami sudah coba apa yang kami bisaTapi kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan 4-5 ribu jiwaKami cuma tulang-tulang berserakanTapi adalah kepunyaanmuKaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakanAtaukah jiwa kami melayang untuk kemerdekaan, kemenangan dan harapanAtau tidak untuk apa-apaKami tidak tahu, kami tidak bisa lagi berkata. Kaulah sekarang yang berkataKami bicara padamu dalam hening di malam sepiJika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetakKenang-kenanglah kami


Teruskan, teruskanlah jiwa kamiMenjaga Bung KarnoMenjaga Bung HattaMenjaga Bung SyahrirKami sekarang mayatBerilah kami artiBerjagalah terus di garis batas pernyataan dan impianKenang-kenanglah kamiYang tinggal tulang-tulang diliputi debuBeribu kami terbaring antara Karawang-Bekasi


Muncul pertanyaan dalam rangka apa, Chairil berada di Karawang pada saat-saat genting seperti itu? Soal ini memang belum jelas benar. Namun dalam bukunya Menteng 31:Membangun Jembatan Dua Angkatan, tokoh pemuda pejuang A.M. Hanafi menyebut jika Chairil memiliki keakraban yang khusus dengan para aktivis pemuda yang tergabung dalam kelompok Menteng 31.


“Chairil Anwar…pernah bersama-sama kami sejak dari Menteng 31 sampai ke Karawang-Bekasi…” ungkap Hanafi.


Sejarah mencatat para aktivis Menteng 31 kemudian mendirikan Angkatan Pemoeda Indonesia (API) pada 1 September 1945. API inilah yang kemudian menjadi cikal bakal Lasjkar Rakjat Djakarta Raja (LRDR) yang kemudian mengundurkan diri ke Karawang dan menerukan perjuangan dari kota beras tersebut.


Kedekatan Chairil dengan anak-anak API terkonfirmasi dari salah satu puisi-nya yang berjudul Malam. Dalam buku Derai-derai Cemara yang disunting oleh Taufiq Ismail, disebutkan jika Chairil menulis puisi tersebut di markas API yang terletak di Jalan Menteng No.31 Jakarta.


Meskipun soal kedekatan Chairil dengan dunia kaum bersenjata Jakarta dan Karawang tak diragukan lagi, namun tidak demikian dengan keikutsertaannya sebagai salah satu kaum pemanggul senjata. Almarhum Ajip Rosidi adalah salah seorang yang tidak yakin jika Chairil terlibat langsung di lapangan sebagai penempur.


“Kalau sebagai aktivis pejuang atau propagandis lewat karya-karyanya, saya percaya. Dia memang seorang nasionalis sampai ke tulang-tulangnya,” ungkap Ajip saat diwawancara di kantor Historia pada 2017. (Bersambung)


Comments

Rated 0 out of 5 stars.
No ratings yet

Add a rating
Ayah dan Anak dalam Delegasi Indonesia di Konferensi Meja Bundar

Ayah dan Anak dalam Delegasi Indonesia di Konferensi Meja Bundar

Margono Djojohadikusumo dan Sumitro Djojohadikusumo menjadi anggota delegasi Republik Indonesia dalam Konferensi Meja Bundar. Ayah dan anak ini berunding dalam komisi keuangan dan ekonomi.
Ikut Piala Dunia, Hukom Naik Pangkat

Ikut Piala Dunia, Hukom Naik Pangkat

Di luar lapangan hijau, Hukom hanya serdadu rendahan. Keikutsertaannya di Piala Dunia membuat pangkatnya naik.
Anwar Sutan Saidi, Konglomerat yang Berdayakan Rakyat

Anwar Sutan Saidi, Konglomerat yang Berdayakan Rakyat

Bermula dari keinginan berdayakan ekonomi rakyat, Anwar Sutan Saidi kemudian ikut mengongkosi pergerakan nasional di Minangkabau.
Bersantap ala Eropa di Braga

Bersantap ala Eropa di Braga

Restoran Maison Bogerijen yang kini Braga Permai menjadi saksi bisu sejarah kuliner dari era Hindia Belanda yang masih tersisa.
Zulkifli Lubis Sabotase Pelantikan Bambang Utoyo

Zulkifli Lubis Sabotase Pelantikan Bambang Utoyo

Ketika Zulkifli Lubis memboikot pelantikan Bambang Utoyo sebagai KSAD.
bottom of page