- Amanda Rachmadita
- 7 Jul
- 4 menit membaca
SEPERTI senjata dan kendaraan tempur, makanan juga berperan besar dalam pertempuran. Sebab, tentara yang cukup makan akan mampu mengalahkan lawannya yang berperang dalam kondisi kelaparan. Salah satu makanan yang ditemukan dalam ransum para serdadu adalah coklat. Kandungan protein dan karbohidrat –serta kalsium dalam coklat susu– membuat coklat menjadi makanan padat kalori yang praktis untuk tentara dan penjelajah.
Menurut Ross F. Collins dalam Chocolate: A Cultural Encyclopedia, telah sejak lama coklat menjadi makanan andalan para prajurit di lapangan. Di wilayah Mesoamerika, tempat kelahiran coklat, tentara Aztec dan Maya membawa coklat yang diolah dalam bentuk kue atau bola-bola yang dicampur jagung panggang untuk mendapatkan nutrisi lengkap dan energi selama bertempur. Biasanya mereka memarut kue coklat untuk dijadikan minuman, tetapi dalam keadaan darurat, kue itu dapat dimakan langsung.
Tak hanya para prajurit di wilayah Mesoamerika, orang Eropa yang mengenal coklat pada 1500-an juga menyadari manfaat makanan ini untuk para serdadu, dan kemudian memperluas kebiasaan membawa coklat sebagai perbekalan perang selama berabad-abad setelahnya.
“Dalam sebuah tulisan pada 1662, Henry Stubbe mencatat bahwa tentara Inggris di Jamaika hidup dengan pasta dari biji kakao yang dicampur dengan gula dan dilarutkan dalam air. ‘Makanan yang sempurna’ ini menemani pasukan Inggris selama Perang Revolusi serta menjadi makanan yang banyak dikonsumsi oleh kedua pihak yang berseteru dalam Perang Sipil Amerika Serikat. Napoleon pun dilaporkan membawanya ke medan perang. Para prajurit yang tidak memiliki makanan lain dapat bertahan hidup dengan mengonsumsi coklat sebagai makanan darurat,” tulis Collins.
Dalam sejarah militer AS, sejumlah sejarawan menyimpulkan, coklat mengambil peranan dalam setiap operasi militer AS sejak Revolusi Amerika. Walau banyak dikonsumsi selama Perang Sipil AS (1861–1865), coklat tidak secara resmi masuk dalam daftar makanan yang menjadi ransum tentara. Namun, kondisi berbeda terlihat pada Perang Dunia I, ransum coklat menjadi bagian penting bagi Angkatan Darat AS, karena makanan ini dipandang mampu memenuhi kebutuhan energi dan kalori bagi tentara di medan perang. Coklat sebagai ransum tentara berlanjut di masa Perang Dunia II.
Mark Henry dan Mike Chappell mencatat dalam The US Army in World War II (1): The Pacific, ada beberapa paket ransum untuk tentara di lapangan, di antaranya ransum B, C, D, dan K. Ransum B adalah makanan kaleng dalam jumlah besar. Ransum ini populer di kalangan prajurit, tetapi terlalu berat untuk dibawa kecuali memiliki kendaraan. Ransum C juga makanan dalam jumlah cukup besar. Sejak pertengahan 1943, ransum ini dilengkapi dengan rokok, permen karet, dan kertas toilet.
Ransum K tersedia pada 1943 dan dirancang sebagai ransum tempur individu yang mudah dibawa dan dikonsumsi. Ransum ini terdiri dari menu sarapan, makan siang, makan malam dan dilengkapi dengan bumbu, keju, permen, minuman, kertas toilet, dan rokok. Sedangkan ransum D adalah coklat batangan dan wafer seberat 4 ons. Coklat ini dapat bertahan pada suhu 120 derajat Fahrenheit (48 derajat Celsius).
“Ransum ini dijuluki sebagai ‘senjata rahasia Hitler’ karena efeknya pada pencernaan beberapa tentara,” tulis Henry dan Chappell.
Kehadiran coklat dalam ransum tentara AS tak luput dari perkembangan industri coklat di Negeri Paman Sam. Sebelum Perang Dunia II, perusahaan Hershey bekerja sama dengan militer AS untuk mengembangkan coklat militer yang dikenal dengan ransum “D ration bar” untuk melengkapi makanan para tentara. Sebagai ransum darurat, makanan ini sengaja diolah dengan rasa kurang enak untuk mencegah para prajurit mengonsumsinya sebagai camilan. Coklat batangan ini dikemas dengan praktis agar dapat disimpan di dalam perlengkapan prajurit dan tidak mudah meleleh.
Dalam perkembangannya, coklat batangan yang mengandung 600 kalori itu tidak begitu disukai para tentara karena rasanya yang kurang nikmat. “Ternyata coklat batangan yang diproduksi Hershey lebih terasa seperti kentang rebus daripada coklat sehingga tidak populer di kalangan tentara. Namun, coklat batangan Hershey kerap digunakan sebagai alat tukar di kalangan tentara dan warga sipil selama perang, biasanya makanan ini ditukar dengan rokok dan barang-barang lainnya,” tulis Peter Kurie dalam In Chocolate We Trust: The Hershey Company Town Unwrapped.
Selain Hershey, perusahaan Forrest Mars yang mengembangkan permen coklat M&M’s juga memproduksi ransum coklat untuk tentara AS. Pada 1941, Mars memproduksi permen coklat sebagai respons terhadap kendala pengiriman dan penjualan produk berbasis coklat di bulan-bulan yang panas. Tanpa pendingin ruangan, banyak peritel yang memilih mengurangi stok persediaan coklat di musim panas. Mars kemudian mendekati R. Bruce Murrie, putra dari presiden Hershey Company, William Murrie, untuk menawarkan kemitraan.
Mars dan Murrie kemudian memperkenalkan produk coklat susu berbentuk kacang dalam lapisan permen keras yang dapat disimpan dengan mudah dan tidak gampang meleleh. Mereka menamai produk tersebut dengan inisial nama keduanya, yakni M&M’s.
“Waktu kemunculan permen coklat itu sangat tepat. Sebab, ketika itu Angkatan Darat AS sedang berupaya mengembangkan produk coklat yang dapat bertahan dalam cuaca panas dan pengemasan yang kasar. M&M’s adalah solusinya,” tulis Collins.
Mulanya produksi permen coklat ini hanya untuk kalangan militer. Setelah Perang Dunia II, M&M’s diperkenalkan ke publik dan mendapatkan popularitas yang tinggi.
Sementara itu, pihak militer AS meminta Hershey memperbaiki rasa coklat batangan yang tidak begitu lezat. Muncullah Tropical Bar pada 1943. Meski rasa coklat ini tidak lebih enak dari sebelumnya, setidaknya para tentara menilai kemasannya lebih baik. Produk ini bertahan cukup lama. Setelah Perang Dunia II, para tentara yang terjun ke medan perang di Korea dan Vietnam masih mengonsumsi coklat ini. Hershey menghentikan produksi Tropical Bar tidak lama setelah berakhirnya Perang Vietnam.*











Komentar