- Andri Setiawan
- 24 Okt 2020
- 3 menit membaca
Setelah mendapat penolakan dari berbagai elemen masyarakat, Omnibus Law kini mendapat kritikan dari para aktivis disabilitas. Musababnya, terdapat beberapa pasal dalam Undang-Undang Cipta Kerja yang menggunakan kata "cacat".
Ketua Aliansi Australia Indonesia Disability Reseach and Advocacy (AIDRAN) Slamet Thohari menyebut bahwa penggunakan kata "cacat" akan berimplikasi pada paradigma mengenai disabilitas.
“Bahwa sebenarnya penyandang disabilitas itu tidak mampu, maka segala yang dilakukan oleh perusahaan atau korporat di dalam melaksanakan investasi di Indonesia itu adalah kebaikan. Ujungnya adalah charity nanti,” kata Thohari kepada Historia.
Menggunakan kata "cacat" tentu berbeda dengan "disabilitas". "Cacat" berkonotasi pada ketidakmampuan karena kekurangan seseorang baik secara fisik maupun mental. Sementara ‘disabilitas’ ialah orang yang tidak mampu karena diskriminasi serta tidak diberikan akses dan akomodasi.
Sementara dalam UU Cipta Kerja, menurut Thohari, tidak memberikan berbagai prasyarat aksesibilitas dan akomodasi yang layak bagi penyandang disabilitas pada perusahaan-perusahaan yang hendak berinvestasi di Indonesia.
“Itu mencangkup perspektif dan perspektif itu bisa berimplikasi pada kebijakan dan kebijakan itu pasti nanti ujungnya adalah charity. Bukan lagi menjadi kewajiban seseorang (perusahaan, red.) memberikan aksesibilitas dan akomodasi yang layak bagi mereka,” jelas Thohari.
Menghapus "Cacat"
Kata ‘cacat’ kemungkinan telah digunakan oleh masyarakat Indonesia sejak sebelum kemerdekaan. Namun pada 1954, pemerintahan Sukarno mulai mencoba menghilangkan istilah cacat dan memperkenalkan istilah baru yakni "orang yang dalam kekurangan jasmani atau rokhani".
Menurut Suharto, Pim Kuipers, dan Pat Dorsett dalam “Disability Terminology and The Emergence of ‘Diffability’ in Indonesia” yang termuat dalam jurnal Disability & Society, perubahan ini merupakan konsekuensi dari rezim Sukarno yang sangat dipengaruhi oleh budaya Jawa yang menghargai kehalusan.
Rezim Sukarno memang banyak menggunakan eufemisme untuk melunakkan nilai sesuatu yang dianggap kasar atau tidak sopan. Cara serupa juga digunakan untuk mengganti kata "gelandangan" dengan "tunawisma" dan "pelacur" diganti dengan "tunasusila".
“Eufemisme ini juga diterapkan pada terminologi terkait disabilitas yang mengalami trial and error,” tulis Suharto, Kuipers, dan Dorsett.
Meski demikian, istilah "orang yang dalam kekurangan jasmani atau rokhani" ternyata masih terstigma sebagai aneh dan tidak berguna. Stigma ini terus berlanjut hingga masa Orde Baru berkuasa. Bahkan, mereka diasosiasikan dengan gangguan atau ketidakmampuan bertahan hidup. Pada masa ini, istilah "cacat" juga kadang-kadang muncul kembali dengan imbuhan "penderita" sehingga menjadi "penderita cacat".
Pada 1992, kata "penyandang" muncul menggantikan kata "penderita". Namun masih digunakannya istilah "cacat" menggagalkan upaya menghilangkan stigma negatif dan melanggengkan gagasan kerusakan.
“Pendukung disabilitas menganggap terminologi ini ofensif dan menstigmatisasi, karena ia menyamakan manusia dengan objek, seperti kursi yang rusak. Hal ini kemudian memicu ketidakpuasan banyak advokat disabilitas, terutama di Yogyakarta, yang kemudian mendorong pencarian terminologi baru yang lebih inklusif,” tulis Suharto, Kuipers dan Dorsett.
Ratifikasi CRPD
JIka sebelumnya perubahan kata lebih menggunakan eufemisme, kali ini transformasi sosial menjadi alasan perlunya terminologi baru. Para aktivis disabilitas kemudian mulai mencari istilah baru untuk menghapus istilah "cacat" yang diskriminatif.
“Kalau orang-orang memberikan kita label buruk, itu akhirnya kita menjadi buruk. Padahal sebenarnya itu tidak ada. Itu hanya konstruksi sosial yang dibangun oleh masyarakat. Maka kemudian teman-teman tahun 90-an hingga tahun 2000an perlahan-lahan mulai mengganti penyebutan dengan 'difabel', differently abled people,” terang Slamet Thohari.
Reformasi dan kemudian terpilihnya Abdurrahman Wahid sebagai presiden keempat membuka peluang baru. Hak asasi manusia menjadi pendekatan baru dalam pembangunan nasional. Hal ini memberi angin sejuk bagi advokasi hak-hak disabilitas terutama terkait akses terhadap layanan dasar dan partisipasi dalam pembangunan nasional.
Melalui Undang-Undang No. 19 Tahun 2011, pemerintah Indonesia melakukan ratifikasi Convention on The Rights of Persons with Disabilities (CRPD) atau Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas. Sejak itu, istilah "cacat" dihapus dan diganti dengan "penyandang disabilitas".
“Akhirnya istilah itu disepakati menghapus semua kata 'cacat'. Semua undang-undang, turunan maupun undang-undang setelahnya akan menggunakan istilah 'penyandang disabilitas',” jelas Thohari.
Istilah "disabilitas" diharapkan dapat mengubah stigma bahwa mereka bukan orang yang tidak normal, tidak mampu, kekurangan, lemah dan sebagainya. “Jadi disabilitas itu bukan kecacatan tapi hanya sesuatu yang menjadi bagian dari identitas. Seperti people with glasses, people with long hair dan seterusnya,” terang Thohari.
Terkait UU Cipta Kerja, Thohari telah mengirimkan surat kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) hingga ke Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan. Namun, hingga artikel ini terbit, ia belum mendapat respon apapun.











Komentar