top of page

Sejarah Indonesia

Dari Trimurjo Mitro Hingga Metro

Dari Trimurjo, Mitro hingga Metro

Meski yang terakhir dibuka, daerah transmigrasi yang kini bernama Metro berkembang cepat hingga menjadi kota yang ramainya mengalahkan Pringsewu dan Gedong Tataan.

25 Mei 2025

Dengarkan artikel

bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Samber Park, salah satu ruang terbuka hijau di Kota Metro, yang berawal dari lahan transmigrasi. (disporapar.metrokota.go.id).

KEBERHASILAN program “kolonisatie” (transmigrasi kolonial) di Gedong Tataaan dan Pringsewu di Lampung Selatan mendorong pemerintah Hindia Belanda memperluas cakupan wilayahnya. Setelah kedua daerah itu, pemerintah membuka lagi daerah tujuan transmigrasi, yakni di Trimurjo, Sukadana, Lampung Tengah.  


“Pada tahun 1932 pemerintah Hindia Belanda mulai mengirimkan para kolonis (penduduk) itu ke daerah utara. Mereka ditempatkan di daerah Trimurjo, tepatnya di Desa Adipuro yang dikenal dengan sebutan bedeng 1 atau BD 1,” catat Naim Emel Prahana dalam Cerita Rakyat dari Lampung  Volume 2.

 

Pada 1932 itu, pendatang awal masih sedikit karena infrastruktur belum beres. Koran Soerabaijasch Handelsblad tanggal 15 Februari 1933 menyebut, pada awal 1933 saja survei untuk pembangunan irigasi belum selesai.


Kendati terus berlangsung, sejak 1932 transmigrasi di Lampung Tengah berjalan lambat. Seiring dengannya, segalanya terus dipersiapkan. Baru setelah semua persiapan dianggap beres, pemerintah baru berani mengerahkan para transmigran secara besar-besarn ke sana pada 1935.


“Sebelum tahun 1935 di daerah ini telah ditempatkan sekelompok kolonis, tapi pengiriman kolonis secara besar-besaran baru dimulai dalam tahun 1935 setelah diadakan persiapan-persiapan,” catat Sri Edi Swasono dalam Sepuluh windhu transmigrasi di Indonesia, 1905-1985


Dalam hitungan bulan, daerah yang disebut Trimurjo itu mulai berubah. Pendatangnya pun mulai bertambah. Perkembangannya mirip Gedong Tataaan yang dimulai sejak 1905. Penghuni daerah transmigran di Gedong Tataan, Pringsewu, dan Trimurjo ini sama-sama berasal dari Jawa.


Adalah pertanian yang menjadi tulang punggung kehidupan di sana. Irigasi membuat sawah-sawah yang dibuka oleh para transmigran itu menjadi hidup. Pada 1936 saja, persawahannya sudah terlihat banyak.


“Hari ketiga saya tinggal di Lampong saya gunakan untuk mengunjungi daerah koloni baru Trimurjo. Dalam perjalanan ke sana saya pertama-tama mengunjungi pintu air di Way Sekampong, yang menyediakan irigasi untuk wilayah kolonisasi baru,” terang Wedana Pangkah, Tegal Raden Muljadi dikutip De Locomotief tanggal 4 Maret 1936. “Di pintu masuk ke daerah koloni Jawa saya tidak melihat apa pun di hamparan yang luas, selain sawah-sawah yang diairi dengan irigasi.”


Geliat pertanian berarti pertanda kehidupan baik bagi banyak orang Jawa kala itu. Dari sawah-sawah di desa-desa di Sukadana itu, kemudian muncul perniagaan yang mengundang banyak orang datang. Dari sanalah kemudian berkembang daerah baru yang kini disebut Metro.


“Terbentukmya Metro bermula dari dibangunnya induk desa baru yang diberi nama Trimurjo yang berarti ‘tiga kebahagiaan’. Dan ing mengacu pada sumber perairan, yang terdiri dari tiga saluran utama yang terbagi menjadi tiga jalur irigasi,” terang Kian Amboro dkk. dalam Metro Tempo Dulu: Sejarah Metro era Kolonisasi 1935-1942


Nama Metro, yang didirikan untuk menampung lebih banyak lagi pendatang dari luar, amat berbau Eropa. Ada beberapa versi mengenai muasal nama Metro sebagai daerah transmigrasi di Sukadana.


“Pertama, diambil dari bahasa Belanda, yaitu centrum yang berarti pusat. Kedua, kata Metro diberikan oleh para kolonial dari Jawa. Jadi, semua kolonis menanggung susah dan senang bersama-sama. Dari persahabatan itu mereka semula menyebutkan tempat itu sebagai Mitro, berarti teman. Lama-kelamaan pengucapannya berubah menjadi Metro,” tulis Naim Emel Prahana.


De Indisch Courant punya pendapat lain lagi. Dalam edisi 18 Desember 1937, koran tersebut menyatakan bahwa Residen Rookmaker menyebut Metro sebagai awal kata dari Metropolis, namun para transmigran di sana suka menyebutnya sebagai Mitro (yang artinya teman).


Apapun asal namanya, Metro terus berkembang. Koran-koran berbahasa Belanda, seperti Het Vaderland (2 Desember 1936), menyebut Metro sebagai kota utama di daerah transmigrasi itu. Hingga hari ini nama Metro masih dipakai dan dikenal banyak orang di Lampung. Metro, yang berisikan banyak orang Jawa, dikenal sebagai daerah penghasil pertanian. Suasana perkampungan-perkampungan di Metro pun mirip seperti kampung-kampung Jawa di manapun, baik secara bentuk fisik maupun sosialisasi antarpenduduknya yang memakai bahasa Jawa.*

1 Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian
Tamu
31 Mei

Bukan trimurjo tapi trimurdho,yg artinya tiga pintu air untuk irigasi bagi krmakmuran petani

Suka
Hind Rajab dan Keheningan yang Memekakkan Telinga

Hind Rajab dan Keheningan yang Memekakkan Telinga

Film “The Voice of Hind Rajab” jadi antidot amnesia kisah bocah Gaza yang dibantai Israel dengan 335 peluru. PBB menyertakan tragedinya sebagai bagian dari genosida.
Orde Baru “Memfitnah” Orang Dayak

Orde Baru “Memfitnah” Orang Dayak

Dulu, orang Dayak dituduh pembakar hutan yang lebih berbahaya dari industri. Padahal, tidak banyak lahan hutan alam Kalimantan yang mereka gunduli.
Arsip Korupsi Sejak Zaman Kompeni

Arsip Korupsi Sejak Zaman Kompeni

Korupsi sejak masa VOC hingga kolonial Belanda terekam dalam arsip. Korupsi akan terus ada karena berkaitan dengan kekuasaan, kewenangan, dan keserakahan manusia.
Ziarah Sejarah ke Petamburan (1)

Ziarah Sejarah ke Petamburan (1)

Dari pelatih sepakbola Timnas Indonesia Toni Pogacnik hingga pembalap Hengky Iriawan. Sejumlah pahlawan olahraga yang mewarnai sejarah Indonesia dimakamkan di TPU Petamburan.
Foto "Gadis Napalm" yang Kontroversial

Foto "Gadis Napalm" yang Kontroversial

Cerita di balik potret bocah-bocah yang menangis histeris saat terjadi serangan napalm di Perang Vietnam. Kini atribusi fotonya jadi polemik.
bottom of page