- Petrik Matanasi
- 26 Mei
- 3 menit membaca
KEBERHASILAN program “kolonisatie” (transmigrasi kolonial) di Gedong Tataaan dan Pringsewu di Lampung Selatan mendorong pemerintah Hindia Belanda memperluas cakupan wilayahnya. Setelah kedua daerah itu, pemerintah membuka lagi daerah tujuan transmigrasi, yakni di Trimurjo, Sukadana, Lampung Tengah.
“Pada tahun 1932 pemerintah Hindia Belanda mulai mengirimkan para kolonis (penduduk) itu ke daerah utara. Mereka ditempatkan di daerah Trimurjo, tepatnya di Desa Adipuro yang dikenal dengan sebutan bedeng 1 atau BD 1,” catat Naim Emel Prahana dalam Cerita Rakyat dari Lampung Volume 2.
Pada 1932 itu, pendatang awal masih sedikit karena infrastruktur belum beres. Koran Soerabaijasch Handelsblad tanggal 15 Februari 1933 menyebut, pada awal 1933 saja survei untuk pembangunan irigasi belum selesai.
Kendati terus berlangsung, sejak 1932 transmigrasi di Lampung Tengah berjalan lambat. Seiring dengannya, segalanya terus dipersiapkan. Baru setelah semua persiapan dianggap beres, pemerintah baru berani mengerahkan para transmigran secara besar-besarn ke sana pada 1935.
“Sebelum tahun 1935 di daerah ini telah ditempatkan sekelompok kolonis, tapi pengiriman kolonis secara besar-besaran baru dimulai dalam tahun 1935 setelah diadakan persiapan-persiapan,” catat Sri Edi Swasono dalam Sepuluh windhu transmigrasi di Indonesia, 1905-1985.
Dalam hitungan bulan, daerah yang disebut Trimurjo itu mulai berubah. Pendatangnya pun mulai bertambah. Perkembangannya mirip Gedong Tataaan yang dimulai sejak 1905. Penghuni daerah transmigran di Gedong Tataan, Pringsewu, dan Trimurjo ini sama-sama berasal dari Jawa.
Adalah pertanian yang menjadi tulang punggung kehidupan di sana. Irigasi membuat sawah-sawah yang dibuka oleh para transmigran itu menjadi hidup. Pada 1936 saja, persawahannya sudah terlihat banyak.
“Hari ketiga saya tinggal di Lampong saya gunakan untuk mengunjungi daerah koloni baru Trimurjo. Dalam perjalanan ke sana saya pertama-tama mengunjungi pintu air di Way Sekampong, yang menyediakan irigasi untuk wilayah kolonisasi baru,” terang Wedana Pangkah, Tegal Raden Muljadi dikutip De Locomotief tanggal 4 Maret 1936. “Di pintu masuk ke daerah koloni Jawa saya tidak melihat apa pun di hamparan yang luas, selain sawah-sawah yang diairi dengan irigasi.”
Geliat pertanian berarti pertanda kehidupan baik bagi banyak orang Jawa kala itu. Dari sawah-sawah di desa-desa di Sukadana itu, kemudian muncul perniagaan yang mengundang banyak orang datang. Dari sanalah kemudian berkembang daerah baru yang kini disebut Metro.
“Terbentukmya Metro bermula dari dibangunnya induk desa baru yang diberi nama Trimurjo yang berarti ‘tiga kebahagiaan’. Dan ing mengacu pada sumber perairan, yang terdiri dari tiga saluran utama yang terbagi menjadi tiga jalur irigasi,” terang Kian Amboro dkk. dalam Metro Tempo Dulu: Sejarah Metro era Kolonisasi 1935-1942.
Nama Metro, yang didirikan untuk menampung lebih banyak lagi pendatang dari luar, amat berbau Eropa. Ada beberapa versi mengenai muasal nama Metro sebagai daerah transmigrasi di Sukadana.
“Pertama, diambil dari bahasa Belanda, yaitu centrum yang berarti pusat. Kedua, kata Metro diberikan oleh para kolonial dari Jawa. Jadi, semua kolonis menanggung susah dan senang bersama-sama. Dari persahabatan itu mereka semula menyebutkan tempat itu sebagai Mitro, berarti teman. Lama-kelamaan pengucapannya berubah menjadi Metro,” tulis Naim Emel Prahana.
De Indisch Courant punya pendapat lain lagi. Dalam edisi 18 Desember 1937, koran tersebut menyatakan bahwa Residen Rookmaker menyebut Metro sebagai awal kata dari Metropolis, namun para transmigran di sana suka menyebutnya sebagai Mitro (yang artinya teman).
Apapun asal namanya, Metro terus berkembang. Koran-koran berbahasa Belanda, seperti Het Vaderland (2 Desember 1936), menyebut Metro sebagai kota utama di daerah transmigrasi itu. Hingga hari ini nama Metro masih dipakai dan dikenal banyak orang di Lampung. Metro, yang berisikan banyak orang Jawa, dikenal sebagai daerah penghasil pertanian. Suasana perkampungan-perkampungan di Metro pun mirip seperti kampung-kampung Jawa di manapun, baik secara bentuk fisik maupun sosialisasi antarpenduduknya yang memakai bahasa Jawa.*
Bukan trimurjo tapi trimurdho,yg artinya tiga pintu air untuk irigasi bagi krmakmuran petani