top of page

Sejarah Indonesia

Lintah Darat di Kampung Transmigran

Utang jadi masalah penting para transmigran di daerah Gedong Tataan. Banyak lintah darat meraup kekayaan darinya.

22 Mei 2025
bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Para transmigran asal Jawa di Sumatra. Hasrat ingin memperbaiki hidup di rantau para transmigran banyak yang pupus gegara masalah utang pada lintah darat. (ANRI).

SETELAH  Gedong Tataan dibuka sebagai wilayah transmigrasi pada 1905, banyak daerah lain di Lampung yang mengikutinya dan dengan nama seperti nama-nama tempat di Jawa pula. Wates –yang dalam bahasa Jawa berarti batas atau pembatas– salah satunya, dengan penduduk juga kebanyakan orang Jawa. Anang dan Abdulrachman Hamim merupakan di antara transmigran asal dari Wates yang berada di dalam Gedong Tataan itu.


Sebagai perantau, Anang tentu harus memulai hidup dari nol. Maka, kendati telah mendapat bekal modal berupa lahan, dia seperti banyak transmigran lain pun menganggap perlu meminjam uang untuk modal memulai putaran roda ekonomi kehidupannya. Het Nieuws van den dag tanggal 26 September 1933 mengisahkan bahwa Anang pada awal 1928 meminjam uang sebesar  300 gulden pada Abdulrachman Hamim. Dari pinjaman sebesar itu, tiap bulannya Anang harus membayar uang pokok pinjamannya itu plus bunga sebesar 20 gulden.


Anang yang merasa tertolong itu rajin membayar bunganya. Menjelang tahun 1930, setidaknya Anang sudah 18 kali membayar bunga utangnya. Anang kemudian pinjam lagi 200 gulden, jadi total utangnya menjadi 500 gulden. Bunganya pun bertambah menjadi 40 gulden tiap bulan.

Namun, nasib berkata lain. Anang kemudian jatuh sakit sehingga bisnisnya kacau. Jangankan utangnya, bunga bulanannya pun tak mampu dia dibayarkan ke Abdulrachman selama berbulan-bulan.


Merasa dirugikan, pada akhir 1931 Abdulrachman pun memaksa Anang ke notaris di Tanjungkarang (kini Bandar Lampung). Di sana dia terpaksa menyetujui pembuatan surat utang oleh Abdulrahman dengan jumlah utang sebesar 1500 gulden plus bunga sebesar 60 gulden tiap bulan.


Anang mulanya tak paham hitungan utang yang dibuat oleh Abdulrachman. Utangnya dari 500 gulden naik 1000 gulden menjadi 1500 gulden. Jika pun dia tak pernah membayar bunga utang selama 18 bulan dengan besaran bunga yang 40 gulden itu, maka tambahan utangnya sebetulnya hanya 720 gulden.


Setelah urusan utang-piutang yang berjalan selama dua tahun itu, Anang akhirnya sadar bahwa Abdulrachman seorang lintah darat yang kejam. Tentu saja Abdulrachman boleh dilaporkan untuk diadili di Landraad (Pengadilan Negeri) di Tanjungkarang sebagai terdakwa kasus sumpah palsu dalam perkara itu.


Kisah utang-piutang Anang-Abdulrachman itu hanyalah satu dari sekian banyak kasus riba di daerah transmigrasi di Gedong Tataan. Para lintah darat di sana menganggap bahwa para petani Jawa yang kurang berpendidikan soal keuangan dan regulasi utang sebagai lahan subur yang menghasilkan uang. Saking besarnya potensi cuan, tak hanya lintah darat inlaander macam Abdulrachman yang coba memanfaatkannya. Kelas menengah seperti pedagang Tionghoa atau pegawai negeri (ambtenaar) pun tertarik menjadi lintah darat yang meminjamkan uang dengan bunga tinggi.


Para pedagang Tionghoa di sana biasanya membuka warung kelontong atau sepeda. Warung itu hanya bisnis yang terlihat, namun meminjamkan uang dengan bunga tinggilah yang menjadi bisnis utama mereka.


Kendati produksi padi di Gedong Tataan tergolong surplus, berhutang kepada lintah darat yang dijadikan kebiasaan para petani membuat mereka jadi tak punya beras. Padi-padi mereka disita jika utang mereka tak bisa dilunasi dengan uang. Alhasil, banyak petani terpaksa hanya makan jagung dan ketela karena gagal bayar utang.


Berhutang kepada lintah darat namun seperti satu-satunya jalan untuk mengatasi masalah keuangan para petani, sebab bank ataupun lembaga keuangan resmi lain tampaknya tidak bisa menjangkau para petani. Koran Het Vaderland tanggal 20 Juli 1911 menyebut, sejak 1911 sudah ada Lampongsche Bank.


Pemerintah kolonial telah menyuntikan modal sebesar 20.000 gulden untuk memberikan bantuan keuangan kepada para petani di daerah transmigrasi. Koran Het Nieuws van den Dag edisi 9 Mei 1938 menyebut, bank itu katanya telah memanjakan para transmigran dengan pinjaman. Padahal, kenyataan di lapangan berbeda. Pada 1926, diketahui penipuan sering terjadi dan negara mengalami kerugian sebanyak 3 juta gulden karena salah urus bank itu. Setelah Depresi Ekonomi 1929, bank itu tak bisa memberi pinjaman lagi. Orang-orang Belanda menyadari, bank bukan jalan penting dalam menolong orang Jawa di daerah transmigrasi kolonial itu.*

Comentarios

Obtuvo 0 de 5 estrellas.
Aún no hay calificaciones

Agrega una calificación
bottom of page