- Petrik Matanasi
- 15 Mei
- 2 menit membaca
TAK seperti namanya, Kota Agung hanyalah kota distrik di Lampung. Statusnya ibukota dari Kabupaten Tanggamus. Letaknya bukan di dataran tinggi, melainkan di pesisir, tepatnya di Teluk Semangka. Orang Lampung menyebut semangka sebagai semaka.
Perkembangan Kota Agung tak bisa dilepaskan dari kolonisatie (transmigrasi kolonial). Setelah kolonisatie di Gedong Tataan yang dimulai sejak 1905 berdampak baik, program itu diadakan pula di dekat Kota Agung. Lokasinya berada di sisi barat Kota Agung ke arah Taman Nasional Bukit Barisan Selatan. De Indische Courant tanggal 23 November 1935 memberitakan, koloni (daerah transmigrasi) yang dibuka itu berada dekat Sungai Way Semangka.
Untuk menjalankan programnya, orang-orang Jawa lalu didatangkan ke daerah secara bergelombang pada 1920-an. Menurut De Courier tanggal 15 Juli 1939, daerah itu dibuka pada 1921, sekitar 16 tahun setelah Gedong Tataan. Di kemudian hari, koloni itu dinamai Wonosobo lantaran asal penduduknya.
“Pada 1921 proyek lagi di Way Semangka (Kota Agung) untuk orang-orang asal Wonosobo, oleh karena itu desa intinya pun diberi nama Wonosobo,” catat Sri Edi Swasono dalam Sepuluh Windhu Transmigrasi di Indonesia, 1905-1985.
Wonosobo adalah nama sebuah kabupaten di Jawa Tengah. Tanahnya yang subur membuat penduduknya lumayan padat. Kepadatan itulah yang coba dikurangi pemerintah kolonial dengan transmigrasi ke Way Semangka. Terlebih, udara di Desa Wonosobo dekat Kota Agung juga sejuk, mirip dengan Wonosobo di Jawa Tengah meski tak sedingin Dieng.
Sambil membuka desa baru yang diprioritaskan untuk peningkatan pangan dan perkebunan itu, pemerintah kolonial membuatkan jalan aksesnya. De Indische Courant tanggal 23 November 1935 menyebut jalan antara Lampung dan Bengkulu akan melewati daerah ini juga.
Alhasil, transmigrasi di Wonosobo “cabang Lampung” berkembang. Tiap beberapa tahun biasanya ada pendatang baru di daerah itu. Jumlah transmigran pun terus bertambah. Maka pada 1929, pemerintah kolonial berrencana menutup Desa Wonosobo untuk pendatang baru.
Namun, masalah di Desa Wonosobo ternyata tak sedikit. Pengairan di sana ternyata bermasalah. Buku Republik Indonesia Sumatera Selatan menyebut, air di Way Ngarip kadang tidak jelas alurnya dan ini membahayakan persawahan yang ada.
Selain pengairan, transmigrasi di Desa Wonosobo itu disebut menyedot anggaran pemerintah cukup besar alias mahal biayanya. Deli Courant tanggal 6 Oktober 1926 menyebut pemerintah kolonial sampai menganggarkan dana sebesar 30.000 gulden untuk pembangunan daerah transmigrasi itu. Jumlah tersebut meliputi 25.000 gulden untuk pembangunan saluran drainase di Desa Wonosobo dan 5.000 gulden sisanya digunakan untuk berbagai proyek drainase kecil lainnya. Dengan begitu, warga transmigran tidak terganggu banjir dan paceklik jika air salah menggenang.
Meski mahal, proyek tersebut diteruskan juga oleh pemerintah kolonial. De Courier tanggal 15 Juli 1939 menyebut, daerah itu pada tahun 1936 dimekarkan –kini, Wonosobo telah meningkat statusnya menjadi kecamatan– dengan pendirian permukiman di tepi kanan Sungai Way Semangka. Pada akhir Desember 1938, jumlah penduduknya dilaporkan telah mencapai hampir 7.000 jiwa.
Para transmigran di Desa Wonosobo hidup turun-temurun. Di Provinsi Lampung itu mereka –seperti juga di daerah-daerah transmigrasi lain– hidup dengan tradisi-budaya seperti di Jawa. Maka di Wonosobo pun bahasa Jawa masih terpelihara hingga kini meski ia tak lagi menjadi daerah tujuan transmigrasi seperti di zaman kolonial.*













Komentar