- Petrik Matanasi
- 22 Mei
- 3 menit membaca
ALIH-ALIH beruntung dan bisa hidup enak, wajah dan perawakan mirip orang kulit putih justru membuat orang-orang Indo-Eropa “semakin” berat hidupnya. Mereka dipinggirkan alias tak diterima di mana-mana.
Hal itu mendorong mereka acapkali mencari tempat baru yang bisa menerima. Maka setelah tahun 1905 banyak desa orang Jawa –menjadi transmigran dalam program Kolonisatie atau transmigrasi kolonial– terbentuk di Desa Bagelen dan sekitarnya di Kecamatan Gedong Tataan, Lampung, orang-orang Indo-Eropa yang termarjinalkan di Hindia Belanda pun tertarik membuka “koloni” atau daerah baru di Lampung. Indo-Europeesch Verbond (IEV) selaku organisasi orang Indo Eropa di Hindia menjadi sponsornya.
“Saya datang ke sini tahun 1925,” kata Karl Emile August Kloer (1877-1966) dalam Winschoter Courant edisi 2 Juli 1949, “sebagai pemimpin kelompok kecil orang Indo-Eropa yang mencari kehidupan di sini sebagai kolonis. Kami mendapat pinjaman satu ton dan tanah itu dibagi menjadi 11 bidang tanah sewa selama 75 tahun.”
Waktu 75 tahun merupakan batas maksimal sewa lahan yang diatur pemerintah kolonial. Sewa dengan jangka waktu itulah yang diambil orang-orang Indo yang diorganisir IEV di Lampung. Mereka tak membeli, hanya menyewa lahan di Gisting, Kabupaten Tanggamus. Jadi orang-orang Indo-Eropa yang menjadi kolonis (kini transmigran) tak membeli tanah dari orang-orang pribumi.
Para Indo yang menjadi kolonis itu mulai menyewa tanah pada tahun 1925. Sesuai aturan, masa sewa tanah itu mestinya berakhir pada tahun 2000. Namun, kemudian politik mengubah segalanya sehingga mereka mesti angkat kaki meski masa sewa tanah mereka belum habis.
Pada 1925, seperti diberitakan Het Nieuw van den dag voor Nederlandsch Indie dan De Locomotief edisi 17 Oktober 1925, daerah yang kini disebut Gisting itu dipersiapkan oleh sebuah komisi yang dipimpin Einthoven. Mereka yang dari EIV berkonsultasi dengan kontrolir setempat bernama Sanders.
Lahan yang dikelola Kloer dkk. itu bisa ditanami kopi, teh, karet, dan bermacam tanaman komoditas lain. Peternakan sapi juga bisa diusahakan di daerah beriklim sejuk itu. Air tawar di sana cukup melimpah. Jalan poros antara Kota Agung dan Gisting sepanjang 16 km sebagai akses juga sedang dibangun. Kota Agung yang berada di pesisir punya potensi menjadi pelabuhan.
Setelah semua persiapan rampung, lahan yang mulai dibuka sejak 1925 itu resmi dibuka pada 10 Juli 1926. Lahan perkebunan itu kemudian berkembang. Luas lahan yang ditanami kemudian mencapai 3.000 hektar. Bisnis utama dari pertaniannya adalah kopi. De Indisch Courant tanggal 10 Juli 1939 memberitakan, di areal perkebunan itu lalu didirikan pabrik kopi.
“Kopi Gisting kami dikenal di seluruh Nusantara sebelum perang,” ujar Kloer.
Selain tanaman industri, tanaman pangan pun diadakan di sana untuk bertahan hidup para kolonisnya. Gisting amat cocok untuk menanam sayur dan buah.
“Kami memasok buah-buahan dan sayur-sayuran, bahkan bunga ke Palembang. Bahkan pada waktu itu ada proyek untuk memperpanjang jalur keretaapi ke sini, untuk pengiriman produk, karena banyak perusahaan karet dan kopi di sini. Juga Belgia, Jerman, Belanda, dan Inggris, sementara masyarakat internasional punya banyak kepentingan di sini,” tambah Kloer, yang di masa mudanya pernah menjadi administrator sebuah pabrik gula di Solo, Jawa Tengah dan ketika membuka Gisting bersama yang lainnya sudah masuk usia pensiun.
Pada 1940-an, jalan poros antara Kota Agung dan Telukbetung (kini Bandar Lampung) telah bisa dilewati truk dengan bobot 3 ton. Namun untuk membangun jalur keretaapi dari Tanjungkarang diperlukan waktu lama karena jauhnya jarak. Meski begitu, Gisting dan daerah-daerah transmigrasi di Lampung pada 1940-an berkembang baik dan dianggap sukses oleh pemerintah kolonial. Penduduk Indo di Gisting cukup cepat meningkat.
“Kelompok pertama terdiri dari lima orang, kemudian lima belas orang dan seterusnya, hingga tahun 1940 terjadi penjajahan sekitar 550 orang, sebuah panti asuhan dengan 80 anak dan sebuah sekolah dengan tiga guru dan 180 murid,” kata Kloer.
Ketika Perang Dunia II pecah, sekitar 40 hingga 50 pemuda Indo asal Gisting ikut berperang bersama tentara kolonial Koninklijk Nederlandsch Indisch Leger (KNIL) melawan tentara Jepang. Salah satunya putra Rene Gustaaf. Dia ditugaskan di Cimahi dan sempat ditawan Jepang. Setengah dari pemuda Gisting yang berperang itu tak kembali.
Di zaman pendudukan Jepang, orang Indo di Gisting banyak yang ditawan di Tanjungkarang, Bandar Lampung. Setelah tiga bulan, mereka dikembalikan. Namun lahan mereka sudah porak-poranda ketika mereka kembali. Mereka terpaksa memulai perkebunan mereka lagi dari nol.
Tanggal 10 Juli ditetapkan sebagai hari jadi Koloni Gisting, yang kemudian diberi nama resmi De Giesting. Hari jadi itu kerap dirayakan orang-orang Indo-Eropa yang menjadi warganya.
Gisting bahkan kemudian menjadi tempat kunjungan orang-orang Indo atau Eropa. Meski agak “ngeri-ngeri sedap” alamnya, Gisting memikat orang Eropa dan Indo, baik sebagai tempat rekreasi maupun mencari penghidupan. Pada Juli 1939, misalnya, kapal SS Rooseboom milik maskapai Belanda Koninklijk Packetvaart Maatschappij (KPM) berlayar ke daerah Lampung. Para penumpangnya kemudian berpelesir ke Gisting. Selain Gisting, kaki Gunung Tanggamus juga dikunjungi karena hawa sejuknya.
Wisata ke Gisting dan kawasan-kawasan lain di sekitar Tanggamus pernah juga memakan korban. Pada 1934, seorang kulit putih bernama Dr. Toxopeus yang berlibur ke sana dikabarkan hilang. Koran Soerabaijasch Handelsblad tanggal 5 Juli 1934 memberitakan, guru HBS Bandung itu hilang di Tanggamus pada Jumat, 29 Juni 1934. Setelah dicari-cari tak ditemukan, pada Sabtu, 30 Juni sang guru ditemukan di Talangpadang.*
Comments