- Petrik Matanasi
- 16 Okt
- 3 menit membaca
SCHOOL tot Opleiding voor Indische Artsen (STOVIA), yang masih sering disebut Sekolah Dokter Djawa, merupakan sekolah favorit keluarga priayi Jawa. Salah satu murid sekolah yang pernah dicap sekolah miskin oleh golongan atas itu adalah Latip dari Grobogan, Jawa Tengah.
Latip lahir pada tahun 1885. Menurut buku Perkembangan Pendidikan Kedokteran di Waltevreden 1851-1926, setelah delapan tahun belajar di sekolah dokter itu, Latip dinyatakan sebagai dokter Hindia (Indisch Arts) pada Oktober 1908. Berhubung STOVIA sekolah kedinasan, maka Latip harus bekerja untuk pemerintah selama sekitar 14 tahun.
“Bekerja untuk pemerintah Hindia Belanda, setiap waktu harus siap untuk dipindahkan dari Batavia ke Bali, kemudian ke Medan. Akhirnya dia keluar dari dinas pemerintah Hindia Belanda, bergabung dengan perusahaan Belanda, Timah,” catat Hewawati Diah dkk. dalam Kembara Tiada Akhir.
Latip bekerja di perusahaan timah yang bagian dari Billiton Maatschappij. Perusahaan tersebut salah satu raksasa timah Hindia Belanda.
“Billiton Maatschappij didirikan di Amsterdam pada 1860. Perusahaan ini berkembang menjadi perusahaan pertambangan internasional, tetapi menghentikan penambangan timahnya di Indonesia pada 1958,” tulis Koos (P.N.) Kuiper dalam The Early Dutch Sinologists (1854-1900): Training in Holland and China, Functions in the Netherlands Indies.
Saat bertugas sebagai dokter di perusahaan besar itulah Latip menikahi Siti Alimah alias Ngalimah, putri dari Teuku Jusuf Djojodikromo, bangsawan dari Pidie. Ngalimah adalah kakak dari Mr. Achmad Subardjo –kelak menjadi menteri luar negeri. Dari perkawinan itu, Latip dikaruniai empat anak. Pada 1909, lahir putri sulungnya, Retnowati. Dua tahun kemudian giliran putranya, Irawan. Lalu pada 1918, lahir Herawati dan pada 1919 lahir Saptaritai. Anak ketiganya yang perempuan lahir di sana.
Sebagai dokter, kesejahteraan Latip tentu saja mapan. Dia bahkan mampu membeli barang canggih yang tak terjangkau kebanyakan pegawai kolonial.
“Ayah suka sekali mobil. Mobil pertama yang dimilikinya ialah sebuah Ford. Setiap tahun ganti mobil. Itulah kelemahannya. Lainnya tidak ada,” kata Herawati dkk.
Namun Latip kemudian sadar dia hidup bukan untuk dirinya semata. Ada anak-anaknya yang harus dibekali hidupnya dengan ilmu pengetahuan dan pendidikan yang bagus.
Umumnya, orangtua di masa itu lebih mempedulikan pendidikan anak laki-laki saja. Sementara, banyak anak perempuan putus sekolah menengah karena keburu dikawinkan melalui jalur perjodohan. Namun tak ada istilah anak perempuan tidak sekolah dalam keluarga Latip-Ngalimah ini. Retnowati setidaknya bersekolah sekolah menengah Hogare Burgerschool (HBS) Koning Willem III (KW drie) di Salemba, yang gedungnya kini menjadi bagian dari Perpusnas RI. HBS semacam SMP dan SMA yang digabung menjadi satu dengan masa belajar lima tahun. Jika hanya sampai lulus kelas tiga, hanya setara SMP.
Retnowati memang tidak kuliah hingga jadi sarjana, namun dia pernah menimba ilmu seni tari balet hingga ke Eropa. Sedari 1932 hingga 1933, dirinya sering disebut dalam koran-koran karena tariannya di Batavia. Retnowati yang ketika gadis bernama Nona Latip ini bertemu jodohnya ketika ke Paris bersama ayah-ibunya, yakni seorang mahasiswa hukum dari Jawa. Pada 1933, Nona Latip dinikahi pria yang pertama dia temui di Paris itu, yakni adalah Mr Sudjono.
Sudjono pernah ditawari dr. Latip untuk kuliah kedokteran lantaran sulit mapan sebagai pengacara. Namun Sudjono memilih jalan lain, menjadi guru bahasa ke Jepang. Dalam Mr Sudjono Mendarat dengan Pasukan Jepang di Banten 1942, Subagijo IN menggambarkan Mr Sudjono punya kegiatan lain di luar pekerjaannya, yakni pergerakan nasional demi perbaikan masyarakat Indonesia di era Hindia Belanda. Sudjono sejenis dengan adik ipar dr. Latip, yakni Mr Achmad Subardjo, yang juga bergiat dalam pergerakan nasional.
Setelah Retnowati dan Sudjono ke Jepang, dua adiknya menyusul. “Tahun 1935 saya beserta adik, Saptarita, berangkat dengan ibu ke Tokyo, dengan kapal laut,” kenang Herawati dalam buku Suka Duka Pelajar Indonesia di Jepang. Achmad Subardjo ikut juga dalam perjalanan itu.
Di sana, Herawati belajar di American School. Dua tahun dia sekolah itu. Sebelumnya, dia belajar di Lyceum yang mirip HBS di Jawa. Lulus American School, Herawati diterima kuliah jurusan sosiologi di Universitas Colombia, Amerika Serikat.
Empat tahun di Amerika, Herawati pulang sebagai Bachelor of Art. Koran Bataviaasche Nieuwsblad tanggal 14 Maret 1941 memberitakan: Nona Herawati, putri Dr. Latip dari Batavia, telah tiba di Surabaya melalui Manila. Nona Latip menjadi orang Indonesia pertama yang meraih gelar sarjana dari Universitas Columbia. Tak banyak pemuda Indonesia, apalagi pemudi Indonesia, yang bernasib baik seperti Herawati.
“Yang sangat mendorong saya untuk meneruskan studi ke luar negeri ialah ibu saya. Maklumlah beliau tidak pernah mengikuti pendidikan formal, hanya sekolah madrasah,” terang Herawati.
Ngalimah sang ibunda Herawati merupakan perempuan dengan pikiran out of the box di zamannya. Kendati hanya sekolah madrasah, dia tak ingin anak-anaknya mengalami nasib seperti dirinya yang terkungkung tradisi-budaya. Maka dia memperhatikan dan mendorong pendidikan formal putri-putrinya. Pemikirannya didukung sang suami, dr. Latip, yang membuat putra-putri mereka “kenyang” pendidikan.
Herawati kemudian terjun ke dunia jurnalistik. Dia ikut mengembangkan suratkabar Merdeka dan Indonesian Observer. Setelah menikah dengan Burhanuddin Muhamad Diah alias BM Diah, Herawati dikenal sebagai Herawati Diah. Sementara, meski aktif sebagai pelukis, Saptarita kurang dikenal dibanding kedua saudarinya. Sebab dia tak berumur panjang. Pada 1964, Saptarita Latip tutup usia di usia 45 tahun.*













Komentar