- Randy Wirayudha

- 10 Jul
- 5 menit membaca
SEBAGAI pengusaha, Anwar Sutan Saidi memupuk kekayaan dengan memberdayakan perekonomian rakyat di pesisir barat Sumatera hingga membangun bank yang jadi fondasi perusahaan-perusahaan lainnya. Menurut Audrey R. Kahin dalam Rebellion to Integration: West Sumatra and the Indonesian Polity: 1926-1998, Anwar berfokus pada upaya-upaya pengembangan potensi dagang di daerah dataran tinggi Minangkabau, utamanya di Agam yang lahan pertanian dan perkebunannya terbatas. Di Sungai Puar, Ampat Angkat, Kamang, Koto Gadang, hingga Guguk, potensi datang dari banyaknya barang kerajinan besi, ukiran kayu, pakaian, perabot, hingga perak.
Lalu untuk memperkuat permodalan para sesama saudagar, pada 27 Desember 1930 Anwar bersama beberapa koleganya mendirikan Lembaga Abuan Saugadar yang kemudian membawahi Bank Tabungan Saudagar. Pada 1940, bank itu bertransformasi menjadi NV Bank Nasional dan Anwar tetap menjadi direktur utamanya.
“Tak satupun dari kesepuluh anggota dewan komisaris yang mendirikan bank ini pernah duduk di sekolah menengah. Sebagian besar di antaranya adalah tamatan sekolah agama. Tiga dari mereka pedagang buku, dua lainnya pemilik percetakan dan penerbit, sedangkan lima orang sisanya adalah saudagar lain yang umumnya saudagar batik. Semua pendiri ini bersepakat bahwa keuntungan bank pada lima tahun pertama tidak akan dibagikan melainkan ditanamkan kembali sebagai penambah modal bank,” tulis Kahin.
Gurita usahanya dengan jaringan sampai ke Malaya dan Singapura membuat Anwar melebarkan lagi sayapnya. Mulai 1938, dia turut memprakarsai berdirinya empat perusahaan: pabrik sabun “Fort de Kock”, NV Inkorba yang bergerak dalam impor batik, Handelsvereeniging Boemipoetera berupa kongsi impor-ekspor berbagai barang, serta penerbit dan percetakan Noesantara. Kantor Boemipoetera acapkali jadi tempat berkumpul para aktivis pergerakan dan percetakan Noesantara seringkali menerbitkan karya-karya Tan Malaka.
Sebagai konglomerat “urang awak”, Anwar tak berpaling dari politik. Anwar “bermain dua kaki”, dalam bisnis dan politik.
Kahin menyebutkan, sudah sejak muda Anwar mengenal politik dari kakaknya yang aktif di Partai Rakyat Indonesia (Pari) –faksi partai yang didirikan Tan Malaka bersama Djamaludin Tamin dan Subakat pada 1927, yakni Djamaluddin Ibrahim. Tak ayal Anwar berelasi dengan Tan Malaka secara tak langsung, melalui kakaknya dan menerbitkan karya-karya Tan Malaka melalui perusahaan percetakannya.
Sedangkan perkenalannya dengan Mohammad Hatta terjadi medio 1932, tak lama setelah Hatta lulus dari studinya di Rotterdam. Hatta memimpin Pendidikan Nasional Indonesia atau PNI Baru selepas PNI bubar dan bertransformasi menjadi Partai Indonesia (Partindo) pasca-Sukarno dipenjara di Sukamiskin.
“Ketika Hatta berada di Bukittinggi pada November 1932, seorang pengusaha lokal bernama Anwar Sutan Saidi mengenalkannya dengan Kandur Sutan Rangkayo Basa, utusan Tan Malaka yang memberikan kepada Hatta satu eksemplar majalah organ politik Pari, Obor. Hubungan pribadi dan kekeluargaan antar pengikut-pengikut Tan Malaka dan tokoh-tokoh PNI Baru juga dekat: Anwar adik kandung Djamaluddin Ibrahim yang saat itu menjadi penghubung Pari untuk Singapura dan Jawa. Jazir adalah adik kandung salah satu pembantu utama Tan Malaka, Djamaluddin Tamin, yang menjadi ketua PNI Baru seksi Padang Panjang,” sambung Kahin.
Baca juga: Menjemput Tan Malaka Sang Pemimpin Adat
Maka ketika Hatta dan Sjahrir dibuang ke Boven Digul lalu Banda Neira, Anwar tetap berhubungan baik dengan Hatta. Anwar –yang terus “belajar” mengenai ekonomi kapitalis dan perbankan serta dampak buruknya lewat perantara tiga pemuda– ingin belajar agar NV Bank Nasional tetap pada landasan sosial memberdayakan perekonomian rakyat dengan penyediaan modal. Untuk itu, Anwar menyurati Hatta bahwa ia akan mengirim tiga pemuda ke Banda Neira untuk berguru pada Hatta. Ketiganya yakni Munir, Bachtul, dan Damanhuri. Hatta setuju asalkan ketiga anak muda itu diberi uang saku masing-masing 25 gulden sebulan untuk ongkos dan biaya hidup mereka sendiri selama di Banda Neira.
“Setelah dua tahun di Neira (1938, red.), saya menerima surat dari Anwar Sutan Saidi, bahwa ia akan mengirim dua anak didiknya supaya saya bersedia meneruskan mendidik mereka. Keduanya baru tamat sekolah MULO Bukittinggi. Yang seorang kemenakannya, Munir dan seorang lagi teman Munir seorang anak asisten pos bernama Bachtul. Pada akhir tahun 1939 atau permulaan 1940 bertambah lagi murid saya seorang. Ia dikirim Anwar Sutan Saidi ke Neira, namanya Damanhuri, tamatan SMA Taman Siswa. Saya mengadakan pelajaran spesial, terutama dalam pelajaran Ekonomi Perbankan,” kenang Hatta dikutip Rosihan Anwar dalam Mengenang Sjahrir: Seorang Negarawan dan Tokoh Pejuang Kemerdekaan yang Tersisih dan Terlupakan.
Anwar tetap “bermain dua kaki”. Di satu sisi aktif membantu para tokoh pergerakan baik materiil maupun immateriil, di sisi lain ia juga masuk menjadi anggota Minangkabau Raad, semacam DPRD era kolonial, wilayah Sumatra Westkust Residentie (kawasan pesisir barat Sumatra). Keputusannya itu turut diberitakan De Sumatra Post edisi 10 Maret 1941: Direktur NV Bank Nasional Anwar Sutan Saidi mendapat kursi anggota Minangkabau Raad untuk area Fort de Kock (Bukittinggi). Ia masuk ke dewan daerah itu menggantikan Jahja Datoek Kajo –ayah Panglima Divisi Siliwangi Daan Jahja– yang pensiun.
Namun baru setahun jadi anggota, Minangkabau Raad bubar seiring masuknya Jepang. Perekonomian sempat ambruk dan Anwar berupaya keras mempertahankan eksistensi NV Bank Nasional dan perusahaan-perusahaannya. Salah satu upayanya adalah mengalihkan keuntungan usaha-usahanya ke dalam bentuk batangan-batangan emas dan properti. Maka ketika inflasi melonjak, perusahaan-perusahaannya mampu bertahan.
Baca juga: Lima Bulan Bung Karno di Padang
Sebagai “bohir” kaum pergerakan, Anwar turut memfasilitasi rapat-rapat pergerakan. Dari sanalah dia kemudian mengenal langsung Bung Karno, yang dari tempat pengasingannya di Bengkulu dipindah ke Padang. Kantor cabang Handelsvereeniging Boemipoetera miliknya sempat jadi tempat pertemuan Bung Karno dan tokoh-tokoh pergerakan lain.
“Ketika para pemimpin PNI mengadakan rapat di kantor Bumiputra milik saudagar Anwar Sutan Saidi, mereka terbagi antara kelompok pro dan kontra terhadap Jepang. Sebagai direktur Bank Nasional dan perusahaan-perusahaan dagang lain, Anwar kali ini menghindari politik dan justru hanya melibatkan diri dalam aktivitas ekonomi untuk menggalang dana dan mencari senjata. Kelompok yang lain (kontra) dipimpin Tamimi Usman yang didukung Sutan Sjahrir yang memilih gerakan bawah tanah,” ungkap Fikrul Hanif Sufyan dkk., dalam artikel “Dai Nippon Forced Labor Politics, 1943-1945: Romusha Rendezvous at Muaro Sijunjung Lane, Sijunjung Regency” di Jurnal Paramita, Volume 35, No. 1 Tahun 2025.
Oleh karenanya, aktivitas Anwar pun dicurigai Jepang. Dia kemudian diciduk Kempeitai. Bung Karno mesti turun tangan untuk membebaskannya. Menurut A.A. Navis dalam Pasang Surut Pengusaha Pejuang, Bung Karno membebaskan Anwar dengan mendatangi petinggi militer Jepang di Bukittinggi, Kolonel Fujiyama.
Baca juga: Ketika Tas Sukarno Digondol Maling
Alih-alih kapok, Anwar justru memanfaatkan jaringan-jaringan bisnis dan politiknya di Singapura dan Malaya untuk membeli senjata dari 1944 hingga 1945. Untuk sementara, bedil-bedil yang ia beli disembunyikan di gudang-gudang rumahnya dan rumah kawan-kawannya di Bukittinggi dan Sungai Puar. Senjata-senjata itu sangat bermanfaat ketika para kombatan di Sumatra membutuhkannya untuk meladeni kedatangan Sekutu dan Belanda pasca-Perang Dunia II.
“Selama pendudukan Jepang, Anwar pelaku utama perdagangan (senjata) ini. Dia telah dapat mengatur pemasukan tiga kapal senjata ke Sumatra Barat selama 1944/1945, lalu menyerahkannya ke Ismael Lengah dan opsir-opsir Divisi Banteng beberapa minggu sesudah proklamasi kemerdekaan. Perdagangan senjata ini berlanjut pada awal-awal revolusi. Di Singapura, agen-agen Republik menjual hasil ekspor Sumatra dengan dolar Singapura, untuk membeli senjata dari Inggris dan untuk kepelruan lainnya. Inggris tidak sadar bahwa senjata dari Singapura diserahkan ke pasukan Republik,” urai Kahin.
Pasca-revolusi, beberapa usaha Anwar mulai dibantu putranya, Roestam Anwar. Salah satunya di PT Nusantara yang menerbitkan buku-buku sejarah dan sastra yang menjadi bahan bacaan wajib anak-anak sekolah. Tak hanya memperbesar usaha di bidang perdagangan, Roestam melebarkan sayap usaha ke sektor jasa dengan membuka hotel di Bukittinggi dan Danau Singkarak. Anwar sendiri wafat di usia 66 tahun pada 1 Juni 1976.
Kini, usaha Anwar nyaris tiada bekasnya. Utamanya Bank Nasional, yang saat krisis 1997 asetnya dijual Hasan Basri Durin ke Bakrie Group dan berubah nama menjadi Bank Nusa Nasional. Pada 2000, Bank Nusa Nasional jadi salah satu bank yang di-merger lantas menjadi Bank Danamon.













Komentar