- Randy Wirayudha

- 8 Jul
- 5 menit membaca
MOHAMMAD Hatta alias Bung Hatta dikenal sebagai dwitunggal proklamator bersama Ir. Sukarno. Ia seorang pemikir bidang ekonomi yang turut membangkitkan ekonomi rakyat lewat koperasi. Di balik itu, ada sosok pengusaha bumiputera yang berjasa pada studinya, yakni Ayub Rais.
Ayub Rais yang lahir di Bukittinggi pada 1895 termasuk salah satu kerabat Bung Hatta. Sosok yang dipanggil Mak Etek Rais oleh Bung Hatta itu dianggap paman dekat karena Rais atau Mak Gaek Rais, ayah Ayub Rais, bersahabat dekat dengan kakek Bung Hatta dari garis ibu, Haji Ilyas Bagindo Marah.
Menurut Yulian Harsono dalam Mohammad Hatta: Peran dan Sumbangsihnya bagi Indonesia, Ayub Rais terpaksa mengadu nasib dan merantau ke Batavia di usia muda untuk membantu kehidupan keluarganya. Pasalnya ayahnya, Rais, ditangkap gegara dianggap terlibat Peristiwa Kapang atau Perang Kamang (15-16 Juni 1908) di Agam akibat penerapan pajak yang tidak adil oleh pemerintah kolonial.
“Alasan sebenarnya adalah Rais telah mengirimkan surat kritik ke surat kabar Oetoesan Malajoe. Dalam suratnya, Rais menuliskan kelakuan bejat Tuan (Asisten Residen Agam, Louis Constant) Westenenk. Hatta muda yakin bahwa sahabat kakeknya itu tidak bersalah. Itulah untuk pertama kalinya, dalam usia yang masih sangat belia, Hatta menyaksikan sendiri kesewenang-wenangan Belanda,” tulis Yulian.
Kegigihan dan kecemerlangan Ayub Rais saat bekerja sebagai klerk (juru tulis) di sebuah perusahaan milik pengusaha Jerman membuatnya jadi “anak angkat”. Dengan modal 10 ribu gulden dari tabungannya, Ayub Rais mulai merintis jalan sebagai pebisnis dengan menjadi spekulan hasil-hasil bumi, terutama lada, dari Sawah Besar hingga merambah ke Pasar Senen.
“Praktik dagang spekulasi Ayub Rais menjual-beli barang hutan, lada, dengan berjangka penyerahan 3 bulan. Tetapi barangnya tak pernah diserahkan pada waktunya, hanya selisih harga yang diperhitungkan. Dengan cara begitu orang yang tidak banyak mempunyai kapital, dapat menjual dan membeli barang sampai harga beratus ribu gulden tiap hari. Hari ini bisa beruntung 20 ribu gulden dengan begitu saja dan besok bisa rugi kira-kira sebanyak itu pula,” kenang Bung Hatta dalam Memoir edisi terbitan khusus seabad Bung Hatta.
Di kemudian hari, Bung Hatta baru mengerti bahwa cara berdagang Mak Etek Rais itu termasuk praktik yang tidak sehat. Cara itu terbawa arus kapitalisme Barat.
Ayub Rais pun kemudian jadi saudagar besar yang mendirikan firma ekspor-impor NV Malaya Import Maatschappij dan berkongsi dengan saudagar Minang bersaudara yang mendirikan NV Djohan Djohor, yakni Djohan Soetan Soelaiman dan Djohor Soetan Perpatih. Ayub Rais dan Djohan serta Djohor kemudian dianggap tiga pengusaha yang sukses menaklukkan Pasar Senen hingga mematahkan dominasi pedagang Tionghoa.
“Semenjak itu keadaan di Pasar Senen jadi berubah benar. Dahulu yang ada hanya toko orang Tionghoa semata, tetapi semenjak toko Djohan-Djohor berdiri, toko-toko orang Bumiputera yang lain didirikan pula. Dan sekarang toko-toko orang Bumiputera sudah sebanding banyaknya dengan toko-toko orang Tionghoa,” ungkap Pandji Poestaka edisi 12 November 1937.
Baca juga: Duet Pengusaha Indonesia Selundupkan Senjata
Ditangkap Belanda, Wafat di Bogor
Apa yang diungkapkan Bung Hatta soal praktik dagang Ayub Rais berangkat dari penglihatannya sehari-hari sejak merantau ke Batavia untuk melanjutkan sekolah di Prins Hendrik School medio 1919. Tidak hanya menampung Bung Hatta selama studi di Batavia, Ayub pula yang membelikan Bung Hatta buku-buku “babon” tentang ekonomi, mulai dari Grondbeginselen Der Staathuishoudkunde (Nikolaas Gerard Pierson), De socialisten: Personen en stelsels (Hendrick Peter Godfried Quack), hingga In het jaar 2000 (Edward Bellamy).
“Ketika studi di Batavia, Hatta mendapat dukungan penuh baik finansial maupun fasilitas lainnya dari Ayub Rais. Untuk hidupnya satu bulan di Batavia, Hatta membutuhkan biaya sebesar 50 gulden tapi Ayub Rais setiap bulannya memberikan biaya kepada Hatta sebesar 75 gulden. Uang itu tidak dibuat foya-foya oleh Hatta. Sebaliknya, sisanya ia tabung dan gunakan untuk membeli buku. Bahkan saat Hatta berangkat studi ke Belanda, dari tabungannya itu, dia masih mempunyai saldo simpanan dalam jumlah yang cukup untuk hidup satu tahun,” tulis Muhammad Muhibbuddin dalam Bung Hatta: Kisah Hidup dan Pemikiran Sang Arsitek Kemerdekaan.
Ketika Bung Hatta hendak berangkat ke Rotterdam untuk melanjutkan studi ke Handels Hogeschool (kini Erasmus Universiteit Rotterdam), Ayub Rais berniat akan kembali membiayai Bung Hatta. Namun kemudian Ayub Rais terjerat masalah utang sehingga niatnya gagal diwujudkan.
Kendati demikian, Bung Hatta tetap bisa berangkat, medio 1921. Ongkosnya berasal dari tabungan yang dari pemberian Ayub Rais sebelumnya. Ketika sudah di Belanda, Bung Hatta mendapat beasiswa Van Deventer-Stichting.
Baca juga: Bung Hatta Membayar Beasiswa di Belanda
Setahun setelah Bung Hatta kembali pada 1932, usaha Ayub Rais bangkit. Ia mengajak Hatta melawat ke Jepang untuk menengok pesatnya perindustrian Jepang.
“Pada akhir Februari 1933 Mak Etek Ayub Rais akan pergi ke Jepang bersangkut paut dengan hubungan dagang Firma Djohan Djohor dengan saudagar-saudagar negeri itu. Aku diajaknya ikut sebagai penasihat. Aku berpikir apa yang akan kuperbuat. Apabila aku pergi aku akan meninggalkan Indonesia barang dua bulan,” sambung Hatta dalam memoarnya.
Bung Hatta gamang, sebab ia juga sudah mulai aktif dalam perpolitikan bersama Sutan Sjahrir di Gerakan Merdeka yang menjadi PNI Baru. PNI Baru jadi pesaing kuat Partai Indonesia (Partindo) untuk merebut hati rakyat pasca-Sukarno dipenjara di Sukamiskin dan PNI Lama dibubarkan. PNI Hatta-Sjahrir seringkali meladeni “serangan-serangan” politis Partindo terhadap mereka hingga menimbulkan ketegangan-ketegangan di antara sesama aktivis pergerakan.
“Aku mempersoalkan masalah ini dengan kawan-kawan P.N.I. Mereka tidak berkeberatan aku ikut pergi ke Jepang. Malahan menurut pendapat mereka, ada baiknya aku pergi dan memperhatikan gerakan baru di Jepang dari dekat. Di masa itu di Jepang fasisme baru muncul dan memperkuat kedudukan militerisme yang sudah berkuasa di sana. Maka berangkatlah kami dengan kapal Jepang Djohor Maru. Rombongan kami hanya tiga orang. Selain Rais dan aku ikut serta tuan Ando, orang Jepang kenalan dagangnya, yang empunya kantor di Jakarta,” lanjut Hatta.
Baca juga: Bung Hatta di Jepang
Bung Hatta mesti berhati-hati, utamanya ketika ia berhadapan dengan banyak wartawan selama di Jepang. Sebagai aktivis pergerakan, langkah-langkah dan perbuatannya tentu jadi perhatian pemerintah kolonial Hindia Belanda.
Hal pahit ternyata tak terhindarkan. Bukan Bung Hatta, tapi Ayub Rais yang ditangkap pemerintah kolonial pada Mei 1933 tak lama setelah kembali dari Jepang. Bung Hatta tak kuasa membantunya, sebab ia dan Sjahrir pada medio 1934 ditangkap dan diasingkan ke Boven Digul.
Ayub Rais baru bebas dari Penjara Cilacap pasca-Jepang menduduki Indonesia pada 1942. Namun kondisi penahanannya yang memprihatinkan membuat kesehatannya, utamanya livernya, terus memburuk. Pada 13 April 1948 malam, Ayub Rais pun menghembuskan nafas terakhirnya di kediamannya di Bogor. Bung Hatta baru mendapat kabar duka itu lama setelahnya, saat ia berada di pengasingan di Bangka pasca-Agresi Militer Belanda 19 Desember 1948.
“Setelah penderitaan yang berkepanjangan, Tuan Muhammad Ayub Rais, komisaris perusahaan-perusahaan kami, meninggal dunia pada Selasa, 13 April pukul 7 malam di kediamannya, Jalan Tjiwaringin 33 di Bogor. Kami kehilangan seorang teman dan kolega yang tak ternilai harganya. (Tertanda) N.V. Dasaad Musin Concern, N.V. Textielfabriek ‘Kantjil Mas’, N.V. Malaya Import Maatschappij,” demkian bunyi kolom berita duka di suratkabar Het dagblad, 15 April 1948.*










Komentar