- Amanda Rachmadita
- 25 Jul
- 5 menit membaca
PADA masa VOC, ada istilah zielverkoopers atau penjual jiwa, yaitu orang-orang yang menipu para pemuda dengan iming-iming kekayaan agar tertarik bekerja untuk Kompeni di Hindia Timur. Istilah ini juga digunakan sebagai sebutan bagi gajah jinak yang diberikan tugas khusus demi kepentingan VOC.
Arsiparis Belanda, Frederik De Haan, mencatat dalam Oud Batavia Volume 1, sebutan zielverkoopers atau penjual jiwa diberikan kepada gajah-gajah jinak milik VOC di wilayah Ceylon (kini Sri Lanka) karena mereka ditugaskan untuk membantu menangkap kawananannya sendiri yang masih hidup di alam liar.
Seperti halnya rempah-rempah, gajah termasuk komoditas yang diangkut kapal-kapal VOC. Orang Belanda menangkap hewan eksotis ini untuk perdagangan dan hadiah kepada para penguasa dalam rangka memuluskan proses diplomasi.
Gajah dikenal sebagai hewan yang memiliki kecerdasan alami. Hewan ini juga penurut sehingga digunakan oleh penguasa dan bangsawan di Hindia Timur untuk upacara, pertunjukan, dan perang.
Sebagai simbol status sosial, gajah dipelihara dan digunakan di istana untuk menunjukkan kekuasaan dan kebesaran seorang bangsawan kepada orang asing dan rakyatnya. Hewan ini biasanya dikeluarkan dari kandang untuk menyambut kedatangan atau mengiringi kepergian duta besar.
Gajah-gajah yang telah dijinakkan dilatih untuk pertunjukan: mengangkat belalai, berlutut dengan kaki depan, menangkis pukulan dengan belalai dan kaki, serta berbagai trik hiburan lainnya. Hewan ini juga digunakan sebagai algojo untuk menghukum mati para penjahat.
Menurut F.H. de Vos dalam The Journal of the Ceylon Branch of the Royal Asiatic Society of Great Britain & Ireland Volume 15, No. 49 (1898), mereka yang bersalah atas pengkhianatan atau pelanggaran serius, bahkan kasus sepele, dilemparkan ke hadapan kawanan gajah yang dalam sekejap merobek dan menghancurkan para pesakitan itu dengan gading dan kaki mereka. Pemandangan yang mengerikan itu cukup untuk menakuti penonton dari segala niat jahat.
Gajah tak hanya diberikan sebagai hadiah kepada para penguasa di Asia. Hewan ini juga kerap diberikan VOC kepada para penguasa Belanda sebagai hadiah. Salah satu gajah hadiah bernama Hansken menjadi terkenal di seluruh Eropa.
“VOC memeroleh gajah melalui perburuan gajah di Ceylon. [...] Setelah berada di tangan VOC, gajah-gajah tersebut digunakan oleh Belanda untuk perdagangan gajah intra-Asia dan sebagai hadiah diplomatik kepada penguasa di seluruh Eurasia. Seperti halnya manusia yang tidak secara alami menjadi budak bagi manusia lain, gajah pun tidak secara alami menjadi milik VOC. Perbudakan gajah oleh VOC memerlukan proses perburuan dan penaklukan,” tulis Pichayapat Naisupap dalam “The Elephant and Slavery: Thinking about Slavery through the Animal in the Early Modern Dutch Empire,” termuat di Slavery in the Cultural Imagination.
Perburuan Gajah
Ada beberapa cara menangkap gajah liar di Ceylon. Pertama, menggunakan tali jerat. Pemburu gajah masuk ke hutan dan bersembunyi di balik pohon besar. Ketika gajah liar muncul, pemburu melilitkan tali jerat di salah satu kaki belakang gajah. Setelahnya, gajah diikat ke pohon hingga kelelahan. Saat itulah gajah dibawa ke kandang oleh dua gajah yang telah dijinakkan, dan proses penjinakan pun dimulai.
Kedua, menggali lubang yang ditutupi dahan tipis, daun, dan tanah untuk kamuflase. Gajah liar yang melintas dan tidak menyadari jebakan akan terjatuh ke dalam perangkap. Gajah itu dibiarkan di dalam lubang selama beberapa hari hingga menunjukkan tanda-tanda “jinak” akibat kelaparan dan kehausan. Dalam kondisi seperti ini gajah ditarik keluar dari lubang dan dibawa ke kandang. Metode ini dilarang VOC pada awal abad ke-18 karena seringkali berakibat fatal.
Namun, VOC tidak menggunakan kedua metode tersebut karena hanya menghasilkan sedikit gajah, sehingga tidak memenuhi tingginya permintaan. VOC menggunakan cara lebih sistematis, meskipun memakan banyak tenaga, untuk menangkap gajah liar dalam jumlah besar dengan metode kraal. Naisupap mencatat, VOC mulai menggunakan kraal untuk menangkap gajah liar di selatan Ceylon pada 1640-an, dan di barat setelah penaklukkan Colombo pada 1656.
François Valentijn, yang tinggal di Asia selama lebih dari satu dekade dan berada di bawah VOC, menggambarkan proses perburuan gajah liar dalam Beschrijving van Oost-Indiën Volume 5. Selain membawa benda yang menghasilkan aroma yang menarik perhatian gajah liar, para pemburu juga membangun kraal dengan tiang-tiang yang diatur sedemikian rupa. Tiang-tiang itu disusun agak renggang, yang dapat dilalui oleh manusia, tetapi gajah tidak akan bisa melarikan diri. Tiang-tiang tersebut dibuat tebal dan tinggi, sehingga gajah yang terperangkap tidak bisa membebaskan diri.
“Kandang ini hanya cukup besar untuk menampung seekor gajah. Namun, di dalamnya terdapat beberapa ekor gajah yang diikat dan dibiarkan berdiri selama 4 hingga 5 hari tanpa makan atau minum, sehingga dalam waktu delapan atau tiga belas hari, mereka menjadi jinak. Beberapa orang dibiarkan berinteraksi dengan gajah itu setiap hari, dan hewan-hewan itu menjadi sangat terbiasa dengan apa yang dikemukakan oleh lawan bicaranya, sehingga mereka melakukan semua yang diperintahkan kepada mereka. Pada akhirnya, setelah beberapa waktu berlalu, hewan-hewan liar itu menjadi jinak,” tulis Valentijn.
Perbudakan Gajah
Naisupap menjelaskan, proses penaklukan gajah liar dimulai ketika hewan tersebut dikeluarkan dari kandang setelah ditangkap. Gajah diikat dengan tali pengikat di kaki dan leher. Tali-tali itu dihubungkan ke tali pengikat dua gajah jinak yang berdiri menunggu di gerbang kandang. Begitu gajah ke luar kandang, ia akan diukur, “dibaptis” dengan air, dan diberi nama pribadi sambil diapit di kedua sisi oleh dua gajah jinak. Gajah jinak yang dikenal sebagai zielverkoopers itu mendisiplinkan gajah liar dengan memukulnya menggunakan belalai atau memberikan makanan.
Mengapa sebutan zielverkoopers disematkan kepada gajah jinak di Ceylon? Menurut Naisupap, bagi gajah liar, proses penaklukkan awal mereka dapat diartikan sebagai jiwanya yang “dijual” ke dalam keadaan kepatuhan baru. Gajah jinak yang mengapit mereka setelah keluar dari kandang disebut zielverkoopers karena mereka menyerahkan dan menjual sesama mereka ke dalam perbudakan.
Proses penaklukkan gajah liar dilakukan secara sistematis. Gajah jinak akan membawa gajah liar ke kandangnya selama beberapa minggu. Gajah liar tersebut diikat di antara dua pohon, kali ini ke sebuah rangkaian empat balok vertikal dan beberapa balok horizontal. Satu balok horizontal ditempatkan di bawah dagu untuk mendisiplinkan gajah agar menjaga kepalanya tetap tegak. Gajah liar diberi makan di kandang dan dibawa oleh zielverkoopers ke tempat minum untuk meredakan dahaga dan panasnya, serta untuk mandi. Setelah menjadi patuh, gajah menjadi komoditas budak sepenuhnya di bawah wewenang VOC.
Perbudakan gajah menimbulkan kontroversi. Kritik yang muncul berkaitan dengan akibat dari penjinakkan gajah. Domestikasi gajah mengurangi ukuran hewan tersebut. Gajah yang ditaklukkan saat masih muda tidak akan pernah tumbuh hingga ukuran penuh. Perbudakan tidak hanya mengurangi tinggi badan gajah, tetapi juga proporsi tubuh lainnya. Perbudakan juga memengaruhi kemampuan gajah dalam bertahan hidup. Gajah yang dijinakkan memiliki usia lebih pendek jika dibandingkan dengan gajah liar.
Kritik terhadap perbudakan gajah juga memunculkan simpati dan empati. Misalnya, Pieter Nuyts menulis Lof des Elephants (1670) yang membahas tentang gajah dan makna simbolis yang terkait dengannya. Dalam salah satu bab, pembesar VOC di Pulau Formosa (kini Taiwan) itu menulis tentang ingatan gajah yang baik. Ketika gajah liar ditangkap dan dibawa jauh dari rumahnya, hewan itu masih “memiliki ingatan yang terus-menerus tentang tempat kelahirannya”, di mana “penderitaan yang sering dan dalam waktu lama tidak hanya ditunjukkan dengan kesedihan tetapi juga dengan air mata yang berlebihan”.
“Nuyts empati dengan gajah yang ditangkap berdasarkan pengalamannya di Asia. Ia menulis Lof des Elephants ketika dirinya telah jauh dari negara asalnya di Eropa selama enam tahun, berada di bawah tahanan rumah Jepang usai berselisih dengan otoritas Jepang yang mengklaim kekuasaan atas Pulau Formosa, dan mendapat informasi tentang kematian salah satu putranya di Batavia. Meskipun pengalaman-pengalaman ini sangat mengganggu bagi Nuyts, ia berhasil kembali ke rumahnya pada akhirnya, sedangkan gajah-gajah yang diperbudak VOC dan diasingkan tidak pernah memiliki kesempatan untuk melakukannya,” tulis Naisupap.*










😀👍