- Petrik Matanasi
- 2 Jun
- 3 menit membaca
SETELAH lebih dari 30 tahun Lampung dijadikan tempat tujuan kolonisatie (transmigrasi kolonial) oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda, permasalahan agama di daerah itu muncul di Volksraad (Dewan Rakyat). Lampung kala itu dikenal sebagai daerah yang penduduk aslinya penganut Islam.
“Dikatakan bahwa pekerjaan misionaris di daerah kolonisasi di Lampong sekarang sangat intensif dan bahwa kegiatan misi tidak terbatas, atau hanya secara teori, pada perawatan orang sakit. Steller khawatir bahwa kegiatan misi akan mengurangi kecenderungan untuk beremigrasi, terlepas dari propaganda pemerintah,” kata Soeroso dalam sidang Volksraad di Batavia, seperti diberitakan De Post Sumatra tanggal 18 Januari 1938.
Kala itu, sebuah gereja telah berdiri di Pringsewu. Gereja itu sebagai akomodir atas kebutuhan umat Kristiani yang terus berkembang di daerah koloni. Antara 1905 (ketika program transmigrasi dimulai) hingga 1938, agama Kristen sudah dianut di daerah transmigrasi. Yang membawanya para misionaris.
Pada 1938, disebut-sebut misionaris Kristen itu dihitung baru bekerja lima tahun di daerah transmigrasi itu. Setahun berselang, setidaknya ada tiga pos penting kegiatan misi Katolik di daerah transmigrasi di Lampung. De Indisch Courant tanggal 2 Mei 1939 menyebut pos misi pertama adalah Pringsewu, yang didirikan tahun 1932 –daerah transmigrasi Gedong Tataan menginduk ke pos ini; pos kedua adalah Metro, yang dibuka pada 1937 dan yang ketiga, pos yang dibuka Desa Pasuruan di Kalianda.
Misionaris Katolik Roma di Pringsewu memiliki tiga pastur dan sembilan suster. Namun kesibukan mereka tak semata menyebarkan agama saja. Sebab, Misi Katolik di sana berjalan beriringan dengan kegiatan sosial yang diterapkan Misi.
“Terdapat dua cara misi Katolik dilakukan sebagai pelayanan terhadap kolonis yakni melalui program kesehatan dan pendidikan,” tulis Kuswono K dkk. dalam Metro Tempo Dulu: Sejarah Metro era Kolonisasi 1935-1942.
Jadi, para misionaris itu juga mengajar anak-anak dan merawat orang-orang sakit. Setidaknya ada empat suster yang mengajar dan lima suster lainnya serta pastur lain melakukan perawatan kesehatan. Mereka bahkan membuka sebuah klinik yang memberi pelayanan bukan ke orang Katolik semata.
Apa yang mereka lakukan, jelas memberi manfaat penduduk. Terlebih, kala itu malaria sebagai penyakit yang diwaspadai oleh orang-orang di Sumatra masih belum tuntas tertangani.
“Musuh besar pemukim baru, dan terutama anak-anak adalah malaria. Sebagai bagian dari pelayanan Misi Katolik menawarkan bantuan dengan mendatangkan dokter dan perawat pemerintah. Awalnya, misi memberikan Kina dan obat-obatan, tertapi obat-obatan itu terbatas sehingga Departemen Kesehatan Masyarakat milik pemerintah membantu dengan 80.000 tablet Kina setahun dan memberikan petunjuk perawatan pada orang yang terkena malaria. Para Suster melayani pasien melalui perawatan desa kemudian di rumah sakit, yang dapat menampung 60 pasien,” tulis Kuswono K dkk..
Di bidang pendidikan, misi Katolik di Gedong Tataan jauh lebih maju. Kendati hanya ada sekitar 200 penganut Katolik dari 34.000 jiwa penduduknya, Gedong Tataan telah memiliki 20 Dessa School (Sekolah Desa) yang masa belajarnya pendek, dua Hollandsch Inlandsch School (HIS) yang masa belajarnya tujuh tahun dan mengajarkan bahasa Belanda, serta dua Vervolgschool (sekolah sambungan), dan sebuah lembaga kursus untuk calon guru Sekolah Desa yang dikelola misi.
Sekolah swasta misi di Lampung berdampingan dengan sekolah negeri milik pemerintah kolonial. De Indische Courant tanggal 20 Desember 1937 memberitakan, di Gedong Tataan terdapat sembilan Volksschool (sekolah rakyat, yang merupakam SD 3 tahun) milik pemerintah dengan 1.092 siswa dan sebuah Vervolgschool (sekolah sambungan) milik pemerintah dengan 166 siswa. Jadi dari segi kuantitas, apa yang dilakukan pemerintah kalah dari apa yang dilakukan misi Katolik.
Orang Jawa sebagai penduduk di koloni-koloni (daerah transmigras) dikenal sebagai penganut abangan dan sebagian lainnya tergolong sebagai santri sebagaimana di tempat asal. Yang dari golongan abangan tentu potensial menjadi pengikut Katolik. Sebab, orang Jawa dikenal memiliki kepribadian yang mudah menerima ajaran apa saja dan bisa sangat dekat dengan orang yang menolongnya. Sekolah-sekolah di daerah-daerah transmigrasi yang membuat mereka melek huruf dan memberi peluang hidup mereka lebih baik dari sekadar jadi petani seperti orangtua mereka, tentu mereka anggap sebagai pertolongan amat berharga.
Comments