- Petrik Matanasi
- 27 Mei
- 3 menit membaca
ASISTEN Wedana Gadingrejo, Lampung Raden Pirngadi membuat gempar. Bukan karena dia seorang pejabat lumayan tinggi untuk ukuran orang bumiputra, tapi karena ulahnya menggelapkan uang. Tak hanya mencoreng nama baik dia dan keluarganya, ulahnya tentu mencoreng program Kolonisati (transmigrasi kolonial) yang dilancarkan pemerintah Hindia Belanda.
Kolonisatie yang dirintis pemerintah kolonial sejak 1905 terbilang sukses kendati ada masalah di sana-sini. Munculnya desa-desa baru yang menghasilkan aneka bahan pangan dan perputaran ekonomi menjadi indikatornya. Bahkan, perkebunan-perkebunan yang tergolong modern pun muncul di Gisting.
Munculnya desa-desa baru, apalagi yang tidak berada di bawah pengaruh kepala marga (semacam pasirah), tentu mempengaruhi sistem pemerintahan di Lampung. Hal itu menguntungkan aparat pemerintahan kolonial. Sebab, menurut Kian Amboro dkk dalam Metro Tempo Dulu Sejarah Metro era Kolonisasi 1935-1942, sejak lama para pejabat Belanda seperti Residen Pruys van der Hoeven (berkuasa 1870-1873) sangat ingin menghilangkan pengaruh para keluarga marga di Lampung.
Desa-desa transmigrasi itu lalu dimasukkan dalam wilayah kerja seorang asisten wedana. Seorang asisten wedana di Lampung umumnya bukanlah orang Lampung asli, melainkan seorang priyayi Jawa yang telah bertahun-tahun bekerja di Binnenland Bestuur (BB/Departemen Dalam Negeri). Biasanya mereka lulusan sekolah pamongpraja Opleiding School Voor Inlandsche Ambtenaren (OSVIA) dan setelah 1927 lulusan sekolah menengah pamongpraja Middlebare Opleiding School voor Inlandsche Ambtenaren (MOSVIA) yang banyak berdiri di Jawa.
Para pegawai negeri kolonial yang menjadi pamongpraja di daerah transmigrasi seperti Gedong Tataan dengan demikian adalah kelas menengah di tanah daerah yang baru dibuka itu. Mereka secara ekonomi satu strata dengan para pedagang dan lintah darat, yang banyak orang Tionghoa atau Jawa). Het Nieuws van den dag tanggal 26 September 1933 menyebut para pejabat lokal di sana seperti lintah darat yang meminjamkan uang kepada para petani, akan mengambil padi-padi petani jika si petani peminjam tak bisa membayar pinjaman sehingga para petani tak lagi punya padi untuk bertahan hidup. Padahal, di antara pejabat lokal itu juga orang Jawa. Jadi, orang Jawa dimakan orang Jawa pula.
Setelah Haji Soedjak yang dituduh menggelapkan 800 gulden dana kas masjid ditangkap, ada seorang Jawa lain yang ditangkap. De Sumatra Post tanggal 15 Desember 1933 memberitakan bahwa orang itu adalah Asisten Wedana Gadingrejo Raden Pirngadi, yang ditangkap karena penggelapan sekitar 5.000 gulden. Mereka ditahan di sebuah penjara di Tanjungkarang (kini Bandar Lampung).
Atas apa yang dilakukan Raden Pirngadie itu, beberapa kepala desa atau lurah pun dipanggil ke Tanjungkarang untuk penyelidikan masalah korupsi itu. Tak hanya itu, beberapa pekerja jalan dan kuli pemeliharaan jalan pun turut diperiksa terkait kasus besar tersebut –sebagai pembanding, mencatat Wiwi Kuswiyah dalam Alexius Impurung Mendur, harga mobil kala itu sekitar 300 gulden.
Berdasarkan pemeriksaan terhadap pekerja-pekerja tadi, diketahui bahwa mereka tidak menerima upah atas kerja mereka selama beberapa minggu. Lantaran tak dibayar upahnya itu, para pekerja tersebut mengadu kepada pejabat BB berkebangsaan Eropa. Menurut De Sumatra Post, kasus korupsi asisten-wedana ini juga menunjukkan adanya kekurangan kontrol (pengawasan) di sana.
Raden Pirngadi, sebagaimana diberitakan Soerabaijasch Handelsblad edisi 2 Mei 1934, akhirnya diadili pada Sabtu, 28 April 1934. Dia terbukti menggelapkan uang pajak sebesar 226 gulden dan memalsukan kuitansi sebesar 1.700 gulden yang hendak dipakai untuk pembangunan gedung transit untuk para transmigran. Raden Pirngadi, yang telah mengabdi selama 34 tahun di pemerintahan dan pernah menerima bintang penghargaan jasa dari pemerintah kolonial, terbukti membuat kontraktor fiktif untuk proyek itu.
Atas kejahatannya, Raden Pirngadi yang semula tak mau mengaku itu akhirnya diberhentikan sehingga kehilangan gaji besarnya sebagai pejabat BB. Selain itu, Raden Pirngadi dikurung satu tahun empat bulan dan tak menerima uang pensiunnya sebagai pegawai negeri kolonial.
Selain Pirngadi, kasus dari orang pemerintahan terjadi pula di Gedong Tataan, kawasan transmigrasi tertua. Koran Algemeen Handelsblad tanggal 5 Agustus 1938 menyebut wedana Gedong Tataan membongkar kasus penggelapan uang pajak yang dikumpulkan melalui surat perintah eksekusi berjumlah 400 gulden yang melibatkan juru tulisnya, Moh. Sanin. Moh. Sanin akhirnya mengaku salah. Selain itu, diberitakan Het Nieuws van den dag tanggal 8 Agustus 1938, wedana Gedong Tataan juga menemukan lurah Desa Purworejo mempunyai kekurangan uang tebusan kerja paksa sebesar kurang lebih 1.000 gulden. Pelakunya segera mengaku dan ditangkap.*











Komentar