top of page

Sejarah Indonesia

Imajinasi Wajah Pahlawan Nasional

Imajinasi Wajah Pahlawan Nasional

Pemerintah Orde Baru meminta pelukis Basoeki Abdoellah melukis wajah Pahlawan Nasional. Dia berimajinasi karena tak tahu semua wajah sebenarnya para pahlawan itu.

Oleh :
10 November 2017

Dengarkan artikel

bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Lukisan wajah Pahlawan Nasional karya Basoeki Abdullah yang dipamerkan dalam eksebisi dokumentasi bertajuk "Lacak" di Museum Basoeki Abdullah, Cilandak, Jakarta Selatan, 7-22 November 2017. (Aryono/Historia.ID).

  • Aryono
  • 11 Nov 2017
  • 3 menit membaca

SEPULUH lukisan wajah Pahlawan Nasional karya pelukis Basoeki Abdoellah menjadi salah satu koleksi yang dipamerkan dalam eksebisi dokumentasi bertajuk "Lacak" di Museum Basoeki Abdullah, Cilandak, Jakarta Selatan, 7-22 November 2017.


Pada sisi dinding pertama, lima lukisan dipajang sejajar, mulai dari Teuku Umar hingga Tuanku Imam Bonjol. Lima lukisan lainnya, mulai I Gusti Ngurah Rai hingga Robert Wolter Monginsidi, di dinding sebaliknya yang juga dipasang berjajar.


“Jika lukisan-lukisan tersebut dijajar, saya merasakan kita tengah menyaksikan para ‘avengers Indonesia’ ada di depan, tengah beraksi. Itulah nilai estetika lukisan-lukisan pahlawan yang dikreasi oleh Basoeki Abdullah,” ujar Mikke Susanto, kurator pameran, kepada Historia.


Pada 1975, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Syarif Thayeb mengadakan Proyek Biografi Pahlawan Indonesia. Tujuannya mengumpulkan dan menerbitkan materi-materi biografi Pahlawan Nasional. Sasaran dari publikasi ini adalah anak-anak sekolah dasar hingga menengah, mahasiswa, dan masyarakat umum.


Menurut Klause H. Schreiner, “Penciptaan Pahlawan-Pahlawan Nasional” termuat dalam Outward Appearancess, proyek itu sebetulnya berasal dari Lembaga Sejarah dan Antropologi pada masa Sukarno (1959) guna mengkoordinasikan semua sumber publikasi dan tulisan historis untuk mendapatkan historiografi nasional yang bertalian. Biografi tersebut berupa buklet bersampul gambar pahlawan dan tebal isinya mulai dari 50 hingga 200 lembar. Tidak ada yang tahu seperti apa wajah sebenarnya dari para pahlawan ini. Potret yang diwujudkan ini hanya menampilkan wajah yang kokoh. Pemerintah pun menunjuk pelukis Basoeki Abdullah untuk menjadi pelukis wajah pahlawan-pahlawan nasional itu.


“Wajah-wajah pahlawan itu dilukis tahun 1976, dan tidak semua Pak Bas (panggilan Basoeki Abdullah, red) tahu wajahnya. Imajinasi. Salah satu kasus adalah lukisan wajah Cut Nyak Dhien, itu jilbaban atau enggak. Nah, foto yang didapat Pak Bas bukan berjilbab. Mengenai lukisan Sisingamangraja diinspirasi dari pelukis sezaman. Dia karikaturis yang kemudian melukis dengan meriset di keluarga-keluarga Sisingamangaraja. Lukisan itu lalu diterima Sukarno. Nah, Pak Bas melihat itu lalu melukisnya,” terang Mikke. Karikaturis yang dimaksud adalah Agustin Sibarani.


Menurut Mikke, Basoeki mampu menerjemahkan pesanan pemerintah Orde Baru yaitu mengedepankan nasionalisme. “Imajinasi Basoeki yang amat kuat dicampur dengan realisasi teknik yang mumpuni, membuat pemerintah nyaris tak punya pilihan yang lebih baik daripada Basoeki. Lukisan-lukisan Pahlawan Nasional karya Basoeki Abdullah yang dikerjakan kisaran 1976 ini telah menjadi representasi kepahlawanan di mata para siswa dan rakyat kebanyakan di Indonesia. Lukisan dari Pak Bas lalu menghiasi buku-buku mengenai sejarah Indonesia, dan untuk digunakan pula dalam buku-buku PSPB (Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa),” ujar Mikke.


Selama bertahun-tahun Mikke mengamati dengan cermat karya-karya Basoeki Abdullah, termasuk karya wajah pahlawan. Menurutnya, pemerintah Orde Baru berusaha menampilkan jiwa nasionalis dan patriotik melalui wajah-wajah Pahlawan Nasional.


“Secara teknis, belasan lukisan tema pahlawan karya Basoeki Abdullah, sangat kuat, bahkan terdapat kesan yang melampaui citra aslinya. Jiwa maskulinitas sang figur tajam. Hal ini bisa dirasakan dari warna yang dipakainya. Warna coklat tua, biru dan hijau gelap, dengan kuning oker yang mencitrakan tanah dan air yang membentuk ras Melayu amat kental. Wajah mereka rata-rata keras dan raut muka serius dengan ciri khas masing-masing makin menguatkan kesan maskulin, meskipun di antaranya adalah tokoh perempuan. Goresan kasar yang dipakai dicampur dengan sedikit arsiran halus membuat lukisan mengesankan kelembutan dan kekerasan terpadu,” ujar pengajar di Institut Seni Indonesia Yogyakarta ini.


Saat disinggung mengenai berapa besar proyek lukisan wajah pahlawan yang diterima Basokei Abdullah dari pemerintah, Mikke mengaku belum mendapat angka pasti.


“Belum kutemukan informasinya. Rasionalnya begini, setiap pesanan lukisan sepanjang sejarah seni, biasanya pelukis mendapat sejumlah dana. Hal ini sudah dibuktikan pada masa revolusi ketika Sukarno memesan belasan lukisan potret pahlawan pada Sudjojono, Dullah, Harijadi, dll. Apalagi Basoeki Abdullah mengerjakan lebih dari 10 lukisan, pasti dapat ongkos kerja. Info mengenai jumlah dana belum diketahui. Hanya efeknya yang cukup menarik, setelah lukisan tersebut dikerjakan oleh Basoeki, nama dan eksistensinya makin kuat. Kedua, pekerjaan ini tentu memerlukan riset ala seniman, yaitu mencari data visual yang terdekat dengan wajah sang pahlawan,” ujar Mikke.


Jika lukisan wajah pahlawan itu hasil imajinasi, tentu timbul pertanyaan, seperti apa wajah asli pahlawan tersebut. “Ini kan perlu mendekonstruksi lagi lukisan pahlawan itu. Misalnya, seperti Pattimura, apakah betul wajahnya seperti itu,” ujar Restu Gunawan, direktur kesenian Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.


Selain kesepuluh lukisan wajah Pahlawan Nasional itu, lukisan wajah Pattimura karya Basoeki Abdullah juga dipamerkan namun sebagai sampul majalah Pembinaan Pendidikan edisi November 1977.*

Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian
Hind Rajab dan Keheningan yang Memekakkan Telinga

Hind Rajab dan Keheningan yang Memekakkan Telinga

Film “The Voice of Hind Rajab” jadi antidot amnesia kisah bocah Gaza yang dibantai Israel dengan 335 peluru. PBB menyertakan tragedinya sebagai bagian dari genosida.
Orde Baru “Memfitnah” Orang Dayak

Orde Baru “Memfitnah” Orang Dayak

Dulu, orang Dayak dituduh pembakar hutan yang lebih berbahaya dari industri. Padahal, tidak banyak lahan hutan alam Kalimantan yang mereka gunduli.
Foto "Gadis Napalm" yang Kontroversial

Foto "Gadis Napalm" yang Kontroversial

Cerita di balik potret bocah-bocah yang menangis histeris saat terjadi serangan napalm di Perang Vietnam. Kini atribusi fotonya jadi polemik.
Anak Tawanan Itu Bernyanyi “Nina Bobo”

Anak Tawanan Itu Bernyanyi “Nina Bobo”

Sukses sebagai penyanyi di Belanda, Anneke Gronloh tak melupakan Indonesia sebagai tempatnya dilahirkan.
Pangku yang Memotret Kehidupan Kaum Pinggiran

Pangku yang Memotret Kehidupan Kaum Pinggiran

Film perdana Reza Rahadian, “Pangku”, tak sekadar merekam kehidupan remang-remang lewat fenomena kopi pangku. Sarat pesan humanis di dalamnya.
bottom of page