- Randy Wirayudha

- 26 Agu
- 5 menit membaca
PEMBUBARAN DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) pernah dilakukan Presiden Sukarno pada 65 tahun lampau. Presiden Sukarno membubarkan DPR hasil Pemilu 1955 bukan karena para anggota dewan hobi joget di ruang sidang atau karena menikmati gaji dan aneka tunjangan bernilai fantastis dari pajak negara yang mencekik rakyat. Bung Karno membubarkan DPR karena alasan politik.
Pasca-Dekrit Demokrasi Terpimpin, Bung Karno lebih dulu membubarkan Dewan Konstituante dan MPR (Majelis Permusyarawatan Rakyat). Konstituante dianggap gagal melaksanakan tugasnya.
“Pengumuman Dekrit pada 5 Juli 1959 merupakan titik yang penting berkaitan dengan gaya kepemimpinan Sukarno sebagai penguasa tunggal. Dengan dekrit itu ia membubarkan Konstituante, serta memberlakukan kembali UUD’45 (Undang-Undang Dasar 1945, red.). Ia pun membubarkan MPR dan menggantinya dengan MPRS (Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara, red),” tulis F.X. Baskara Tulus Wardaya dalam Bung Karno Menggugat! Dari Marhaen, CIA, Pembantaian Massal ‘65 hingga G 30S.
Bung Karno, lanjut sejarawan yang akrab disapa Romo Baskara itu, turut menambahkan 94 anggota untuk mewakili daerah dan 200 orang lain untuk mewakili Golongan Karya. Dengan begitu –ditambah dengan 281 anggota MPR yang sebelumnya, anggota MPRS pun mencapai 575 orang.
Tak lama berselang, giliran DPR yang dibubarkan. Bedanya jika anggota-anggota MPR sebelumnya tetap jadi anggota MPRS, tidak begitu dengan para anggota DPR ketika dibubarkan dan digantikan dengan Dewan Perwakilan Rakyat-Gotong Royong (DPR-GR). Sejumlah anggota DPR sebelumnya dari sejumlah partai tak serta-merta diikutsertakan di DPR-GR. Di antaranya wakil-wakil Masyumi, IPKI (Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia), PSI (Partai Sosialis Indonesia), dan PRI pimpinan Bung Tomo.
Gugatan Bung Tomo
PRI (Partai Rakjat Indonesia) pimpinan Soetomo alias Bung Tomo turut terkena imbas pembubaran DPR. Tokoh-pejuang BPRI (Barisan Pemberontak Rakjat Indonesia) yang mengobarkan semangat “arek-arek Suroboyo:” via radio ketika Pertempuran Surabaya (10 November-2 Desember 1945) itu pun vokal memprotes dan menentang pembubaran DPR di muka pengadilan.
Sebagaimana banyak tokoh pejuang lain, Bung Tomo terjun ke politik dengan mendirikan PRI pada 20 Mei 1950 yang bermarkas di Gondangdia, Jakarta. Seiring kampanye Pemilu 1955, pada Agustus 1955 Bung Tomo lebih dulu mendapat jabatan Menteri Negara Urusan Bekas Pejuang di Kabinet Burhanuddin Harahap (1955-1956).
Namun, jabatan itu justru merugikan suara partainya menjelang Pemilu 1955. Dalam bukunya, Menembus Kabut Gelap: Bung Tomo Menggugat, Bung Tomo menyebut acap mendapat serangan-serangan politis dari Partai Nasional Indonesia (PNI) dan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang menjadi oposisi kabinet.
“Dalam waktu singkat kita berkembang di seluruh Indonesia. (Tetapi) Rakyat yang semula berketetapan untuk memilih ‘pohon kelapa’ (lambang PRI) ternyata lalu meninggalkannya,” sesal Bung Tomo.
Salah satu wilayah yang paling terasa dampak negatifnya adalah Pulau Bali. Raka Saliraning Gati dalam Bung Tomo: Peran dan Sumbangsihnya bagi Indonesia mencatat, salah satu serangan politis dari PNI dan PKI adalah menyebarkan isu bahwa PRI akan mengislamkan rakyat Bali, sebab Kabinet Burhanuddin Harahap dianggap kabinet yang dominan Masyumi.
“Akibat kampanye negatif ini, prediksi PRI mampu meraih tiga kursi dari Bali tidak dapat terwujud. Saat pemilu parlemen (29 September 1955), suara PRI bahkan tidak mencapai 1 persen. Hanya 0,55 persen atau 206.161 suara. Dengan suara tersebut, PRI hanya mendapat dua kursi di parlemen, salah satu kursi diisi oleh Bung Tomo sendiri selaku pendiri partai,” ungkap Raka.
Maka Bung Tomo pun melepas jabatan sebagai menteri dan duduk di kursi DPR mewakili daerah pemilihan (dapil) Jawa Timur. Seorang koleganya dari PRI yang juga menjabat anggota DPR adalah Dr. R. Roestamadji dengan dapil Jawa Tengah.
Gaji Bung Tomo ketika itu sekira Rp3.000 yang menurutnya kurang mencukupi untuk bisa hidup di ibukota. Sebagai perbandingan, gaji Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta tak jauh dari angka anggota DPR. Deliar Noer dalam Mohammad Hatta: Biografi Politik mencatat, pada 1956 gaji presiden dan wakil presiden sama-sama Rp3.600 per bulan plus biaya-biaya hidup lain yang ditanggung negara meski tak disebutkan besarannya.
Selain gemar blusukan, Bung Tomo dan rekan-rekannya di DPR dianggap produktif soal merancang undang-undang. Menurut Abdul Wahid dalam Bung Tomo: Hidup dan Mati Pengobar Semangat Tempur 10 November, Bung Tomo bersama 271 anggota DPR lain di 18 fraksi selama 1956-1960 berhasil menyetujui 113 undang-undang (UU) dari 145 pengajuan rancangan undang-undang (RUU), lalu menyetujui dua dari delapan pengajuan mosi, dan menyetujui tiga kali interpelasi dari delapan pengajuan.
Pertentangan presiden dengan parlemen mulai terasa setelah keluarnya Dekrit Persiden 5 Juli 1959 yang di antaranya membubarkan Dewan Konstituante karena dianggap gagal merumuskan Undang-Undang Dasar (UUD) baru untuk menggantikan UUDS 1950. DPR pun ikut dibubarkan pada 5 Maret 1960 setelah menolak RAPBN (Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) sebesar Rp44 miliar dan hanya menyetujui APBN sebesar Rp36 miliar.
“Sebagai balasan, pada bulan Maret ia (Bung Karno) membubarkan DPR dan menggantinya dengan DPR-GR. Banyak anggota DPR-GR ini ditunjuk oleh Presiden, termasuk personel militer. Dan inilah mulainya perwira militer menjadi anggota DPR,” sambung Romo Baskara.
Bung Karno membubarkan DPR dan memberhentikan semua tugas anggota DPR melalui Penetapan Presiden No. 3 Tahun 1960. Lantas dengan Penetapan Presiden No. 4 Tahun 1960, Bung Karno menggantinya dengan DPR-GR berisi 283 anggota yang terdiri dari 130 wakil partai, 152 Golongan Karya dan satu wakil Irian Barat.
Banyak partai, utamanya Masyumi dan PSI, lalu menggugat. Bung Tomo juga menggugat haknya sebagai anggota DPR terpilih hasil Pemilu 1955, di mana ia dan R. Roestamadji sebagai anggota DPR wakil dari PRI juga tak diikutsertakan dalam DPR-GR. Bung Tomo menggugatnya ke Pengadilan Negeri Istimewa Jakarta pada 24 Agustus 1960.
Mengutip pidato pembelaannya yang diabadikannya dalam Dari 10 Nopember 1945 ke Orde Baru: Kumpulan Karangan, Bung Tomo juga berusaha membela kolega-koleganya dari Masyumi, PSI, dan IPKI. Ia mempertanyakan apakah para konstituen yang memilih para wakil dari PSI, IPKI dan PRI dianggap rakyat “kelas dua” sehingga hak para wakil rakyatnya tersingkir di DPR-GR.
“Puluhan, mungkin ratusan ribu rakyat jelata Indonesia memilih mereka yang diisolir itu. Dan mengenai partai yang saya ketuai, ada 206.263 warga negara RI yang telah memberikan kepercayaannya kepada saya untuk mewakili mereka di dalam hendak berusaha memperbaiki nasib rakyat di dalam Gedung DPR,” ujar Bung Tomo.
Dalam gugatannya, Bung Tomo menegaskan bahwa ia dan rekan-rekannya yang tersingkir hanya ingin memperjuangkan nasib rakyat, terutama rakyat yang telah memilih mereka. Mereka masih ingin mengabdi, utamanya bukan karena uang gaji sebagai anggota DPR yang menurut Bung Tomo masih tak seberapa.
“Jelaslah kiranya, saudara Ketua Pengadilan yang saya hormati, bahwa bagi saya pribadi tidak penting kedudukan anggota DPR itu. Gaji yang saya terima sebagai anggota DPR setiap bulan kurang lebih tiga ribu rupiah; gaji yang demikian itu dengan tanggungan yang banyak dalam lingkungan keluarga, seringkali tidak mencukupi untuk hidup di Jakarta yang serba mahal. Jadi, sekali lagi jelas, bukan kepentingan perseorangan yang menyebabkan saya menggugat. Tetapi saya menggugat untuk 206.263 orang rakyat yang telah mengantarkan saya ke dalam gedung Parlemen yang lalu. Mengapa Presiden Sukarno hanya menghargai rakyat yang memilih partai-partai tertentu dan mengapa terbukti Presiden Sukarno menanggap sepi rakyat yang memilih ‘Pohon Kelapa’,” ujarnya.
Namun, gugatan Bung Tomo untuk membatalkan keputusan Presiden Sukarno soal pembubaran DPR ditolak. Menurut hakim Rochjani Soe’oed yang memimpin pengadilan, pembubaran DPR itu adalah soal politik, bukan soal hukum.













Komentar