- Martin Sitompul

- 18 Agu
- 3 menit membaca
DALAM kehidupan modern seperti sekarang, jajajan telah melekat dalam tradisi kuliner maupun kebutuhan pangan masyarakat. Di Indonesia, jajanan atau makanan ringan punya beberapa padanan kata: camilan, kudapan, atau disebut juga penganan. Variannya macam-macam, ada jajanan tradisional, ada pula jajanan modern. Cara memperoleh jajanan pun kian mudah seiring kemajuan zaman. Mulai dari membeli langsung di gerai penjual makanan atau pesan-antar dari lokapasar yang tersedia di aplikasi telepon selular..
Namun, jajanan zaman sekarang dengan zaman dulu tentu saja berbeda. Mulai dari varian rasa, bahan pembuatan, hingga cara memperolehnya. Pada masa-masa menjelang kemerdekaan Indonesia, masyarakat kesulitan untuk memenuhi kebutuhan pokok, apalagi untuk jajan.
Sejarawan Universitas Indonesia Bondan Kanumoyoso menyatakan, jajanan masyarakat Indonesia masa itu amat dipengaruhi situasi pendudukan Jepang. Untuk memenuhi kebutuhan serdadunya dalam Perang Asia Timur Raya, pemerintah militer Jepang memonopoli sirkulasi beras. Walhasil, bahan makanan yang tersedia bagi masyarakat bumiputra sangat langka.
“Beras itu diambil dari masyarakat, kemudian dikirim untuk kepentingan perang. Bahan makanan lain yang bagus-bagus juga dikuasai oleh Jepang,” jelas Bondan dalam bincang publik Yayasan Lembaga Kajian Heritage Indonesia bertajuk “Cerita Makanan Jajanan Rakyat Awal Kemerdekaan” di Jakarta (15/8).

Pendapat Bondan selaras dengan Fadly Rahman, sejarawan Universitas Padjajaran yang menekuni sejarah kuliner Indonesia. Dalam bukunya Jejak Rasa Nusantara: Sejarah Makanan Indonesia, Fadly menyebut produksi beras tahun 1943 mulai mengalami penurunan karena petani dipaksa menyerahkan sebagian hasil panennya kepada Jepang. Akibatnya, hanya sedikit beras tersisa untuk dikonsumsi petani. Bahan-bahan lain sebagian besar juga mengalami penurunan signifikan kecuali ubi. Selain kebijakan mendahulukan pangan untuk kebutuhan militer Jepang, faktor kekeringan akibat kemarau, menurunnya kapasitas penggilingan, dan tidak memadainya fasilitas transportasi karena kelangkaan bahan bakar dan suku cadang kendaraan memengaruhi sulitnya pasokan beras dari daerah-daerah surplus ke daerah-daerah defisit.
“Tak heran jika semua itu berpengaruh terhadap turunnya asupan kalori, kekurangan makanan, dan kelaparan,” catat Fadly.
Begitu pula dengan kesaksian Haji Bustamam, pendiri rumahmakan Padang Restoran Sederhana. Dalam otobiografinya, Bustamam yang kemudian berjuluk “Raja Masakan Padang” ini bertepatan lahir di awal masa pendudukan Jepang. Dari penuturan orang tua, Bustamam mendapat cerita tentang kehidupan rakyat yang begitu sulit di zaman Jepang. Hasil pertanian penduduk, terutama padi, sering diambil paksa oleh tentara Jepang untuk keperluan makan mereka.
“Akibatnya, rakyat kekurangan bahan makanan, sehingga terpaksa makan jagung, ubi kayu bahkan umbi-umbi talas,” tutur Bustamam dalam otobiografinya Kisah Hidup Haji Bustamam Pendiri Restoran Sederhana yang disunting Hasril Chaniago.
Untuk menyiasati langkanya bahan makanan, menurut Bondan, masyarakat mengoptimalkan bahan-bahan makanan yang sifatnya berada di sekitar mereka. Hampir semua bahan makanan yang tumbuh di kebun atau di halaman rumah. Itulah sebabnya jajanan yang popular pada masa itu terbuat dari bahan-bahan makanan berbahan singkong atau umbi-umbian. Dari bahan itu kemudian diolah menjadi kue-kue jajanan pasar.
“Kalau makanan itu biasanya pecel. Kalaupun ada makanan yang agak mewah yang sering disebut dalam literatur itu mungkin sate ya, karena membuatnya sederhana dibakar saja,” terang Bondan.
Cara menjual jajanan tempo dulu itu pun belum secanggih sekarang. Waktu itu penjaja makanan masih banyak berdagang keliling atau dijual di pasar-pasar tradisional. Orang pembeli jajanan juga masih dengan kemampuan terbatas sehingga susah beli makanan dengan harga mahal.
“Jajanan semacam itulah yang tumbuh bersama kita, mungkin sampai generasi 1990-an. Kalau dulu kita jajan cakue, kue pancong, kue rangi, itulah yang dapat menjadi jajanan pasar,” kata Bondan.
Meski sederhana, kudapan semacam itulah yang menurut Bondan, memperkuat silaturahmi dan persaudaraan. Ia menjadi warisan budaya dan turut membentuk karakter orang Indonesia.
“Kalau kita keluar negeri, kita selalu cari makanan Indonesia. Kekuatan dari makanan Indonesia itu memang membentuk budaya dan karakter kita sehingga kita itu mencintai Indonesia tanpa sadar. Jajanan yang sehari-hari kita makan biasa-biasa itu ternyata memang memiliki semacam cerita dan sejarahnya” tutup Bondan.













Komentar