top of page

Sejarah Indonesia

Advertisement

Jaringan Kosmopolitan Islam dan Komunis dalam Arus Revolusi

Selain elite nasionalis dan kelompok revolusioner, jaringan kosmopolitan global turut memainkan peran penting dalam revolusi Indonesia. Jaringan kosompolitan itu meliputi gerakan ideologi transnasional Islam dan Komunis sebagai motor penggerak revolusi.

16 Jul 2024

Dengarkan artikel

bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Pemimpin Sarekat Islam HOS Tjokroaminoto (duduk paling kanan) dalam pertemuan Sarekat Islam di Blitar, Jawa Timur, 1914. Sumber: KITLV.

STUDI tentang revolusi Indonesia acapkali merujuk pada karya sepasang Indonesianis terkemuka: George Mcturnan Kahin dan Bennedict Anderson. Keduanya adalah guru dan murid yang sama-sama berkhidmat di Cornel University. Karya mereka disebut-sebut sebagai kitab babon dalam kajian sejarah Indonesia periode 1945-1949 maupun nasionalisme di Asia Tenggara.


Kahin dalam disertasinya, Nationalism and Revolution in Indonesia (alih bahasa: Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia), menekankan peran elite nasional seperti Sukarno, Hatta, dan Sjahrir dalam menentukan arah perjuangan revolusi Indonesia. Sementara itu, Ben Anderson dalam Java in a Time of Revolution: Occupation and Resistance, 1944-1946 (alih bahasa: Revolusi Pemuda: Pendudukan Jepang dan Perlawanan di Jawa 1944—1946) lebih menonjolkan lakon kelompok-kelompok revolusioner pemuda, militer, dan partai politik di panggung revolusi. Berbeda dari dua pendahulunya, John Sidel, yang masih muridnya Ben Anderson, dalam karya terbarunya Republicanism, Communism, Islam: Cosmopolitan Origins of Revolution in Southeast Asia (alih bahasa: Republikanisme, Komunisme, Islam: Asal-usul Kosmopolitan Revolusioner di Asia Tenggara), menawarkan perspektif yang baru.


“Bukan pembentukan negara modern dan kebangkitan nasionalisme, tapi perdagangan internasional lintas samudra, perkembangan kapitalisme, dan koneksi atau keterhubungan kosmopolitan yang berperan sebagai motor pendorong sejarah, pendorong perubahan, dan asal mula revolusi,” terang Sidel dalam diskusi dan peluncuran bukunya yang diselenggarakan Islami.co di Outliar Cafe, Tangerang Selatan (9/7). 



Dalam analisisnya menyoal revolusi di Indonesia, Sidel berangkat dari perspektif global dan komparatif. Dia menekankan kemelekatan Nusantara dalam sirkuit ekonomi dunia serta bentuk-bentuk keterhubungan yang menalikannya secara kultural, intelektual, dan politik dengan negeri-negeri lain di seluruh Asia Tenggara, Samudra Hindia, dst. Keterhubungan kosmopolitan itu bermula dari transformasi infrastruktur yang mempermudah mobilisasi hingga mendatangkan diaspora India, Cina, dan Arab dari Hadramaut pada pertengahan abad ke-19. Dari integrasi tersebut kemudian lahir jaringan kosmopolitan Islamisme dan Komunisme yang menjadi pendorong revolusi pasca-kolonial di Indonesia.


John Thayel Sidel, profesor dari Sir Patrick Giliam bidang Politik Internasional dan Perbandingan di London School of Economics (LSE), hadir secara virtual dalam peluncuran bukunya bertajuk "Republikanisme, Komunisme, Islam: Asal-usul Kosmopolitan Revolusioner di Asia Tenggara" di Outliar Cafe, Tangerang Selatan, 9 Juli 2024. Foto: Rusli/Historia.id. 
John Thayel Sidel, profesor dari Sir Patrick Giliam bidang Politik Internasional dan Perbandingan di London School of Economics (LSE), hadir secara virtual dalam peluncuran bukunya bertajuk "Republikanisme, Komunisme, Islam: Asal-usul Kosmopolitan Revolusioner di Asia Tenggara" di Outliar Cafe, Tangerang Selatan, 9 Juli 2024. Foto: Rusli/Historia.id. 

Memasuki dekade kedua abad ke-20, jaringan kosmopolitan Islam sudah sedemikian mapan. Ia ditandai dengan berdirinya lembaga pendidikan pesantren maupun organisasi politik seperti Sarekat Islam (SI). Dalam konteks sosial dan politik, kosmopolitan lama itu menyediakan akses untuk menghubungkan desa dengan kota, kota dengan kota, termasuk Indonesia dengan negeri lain. Sementara itu, pada saat bersamaan, muncul pula pembentukan kelas sosial di tengah masyarakat Hindia Belanda antara kelas kapiltalis lokal yang berasal dari peranakan Cina dan kelas pekerja. Petani kecil, kuli perkebunan, buruh keretaapi yang didominasi rakyat pribumimemperlihatkan gejala proletariat klasik dalam pola pikir Marxis.


“Kondisi ini memungkinkan bentuk dan pola kegiatan serta mobilisasi atas nama Islam di satu sisi, dan Sosialisme dan Komunisme di sisi lain yang jauh lebih mengesankan daripada yang ada di negeri lain di Asia Tenggara,” kata Sidel.



Sidel berpendapat bahwa Islam dan Komunisme menjadi penyangga krusial jalannya revolusi Indonesia. Siginifikansi itu terbukti dari komposisi dan kepemimpinan pemerintahan Republik selama periode 1945-1949. Kabinet pemerintahan begitu kentara isinya dengan orang-orang dari Masyumi --yang waktu itu merepresentasikan Muhammadiyah juga Nahdlatul Ulama– dan sayap kiri besutan Amir Sjarifuddin, yang mengklaim keanggotaan dalam PKI.


uku  "Republikanisme, Komunisme, Islam: Asal-usul Kosmopolitan Revolusioner di Asia Tenggara" karya John Sidel (terbit Juli 2024). Foto: Rusli/Historia.id
uku  "Republikanisme, Komunisme, Islam: Asal-usul Kosmopolitan Revolusioner di Asia Tenggara" karya John Sidel (terbit Juli 2024). Foto: Rusli/Historia.id

Di lapangan aksi, terbentuk pula barisan kelaskaran yang berafiliasi dengan kekuatan partai Islam maupun gerakan sayap kiri. Di beberapa daerah di Jawa dan Sumatra, mereka bahkan memimpin revolusi sosial yang jadi tonggak keruntuhan kuasa aristokrasi lokal. Di luar Indonesia, Islam dan Komunisme menjadi dasar untuk simpati, solidaritas, dan dukungan bagi revolusi Indonesia. Seperti misalnya di Australia, Singapura, dan Mesir yang menyatakan pengakuan atas kedaulatan Indonesia maupun reaksi penolakan terhadap agresi Belanda.  


“Bahwa Komunisme dan Islam, serta organisasi turunannya bukanlah pengkhianat revolusi seperti digambarkan dalam sejarah resmi Indonesia, tapi justru unsuran kunci yang sangat penting,” ungkap Sidel. ”Tanpa Islam dan tanpa Komunisme, perjuangan Republik untuk kemerdekaan itu jauh lebih lemah.”



Namun, paduan kekuatan kosmopolitan itu terputus setelah melewati babakan revolusi. Kontestasi politik antara keduanya turut mewarnai riak dan gejolak di dalam negeri. Kekuatan Islam yang semula menjadi ikon kosmopolitan lama beralih jadi medioker karena terasosiasi dengan radikalisme pemberontakan di sejumlah daerah. Sementara itu, Komunisme melalui Partai Komunis Indonesia (PKI) sempat melesat sebentar hingga akhirnya hancur sebagai ideologi dan pengikutnya habis ditumpas oleh negara lewat alatnya yang bernama militer.  

Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian

Advertisement

Tedy Jusuf Jenderal Tionghoa

Tedy Jusuf Jenderal Tionghoa

Tedy masuk militer karena pamannya yang mantan militer Belanda. Karier Tedy di TNI terus menanjak.
Alex Kawilarang Menolak Disebut Pahlawan

Alex Kawilarang Menolak Disebut Pahlawan

Alex Kawilarang turut berjuang dalam Perang Kemerdekaan dan mendirikan pasukan khusus TNI AD. Mantan atasan Soeharto ini menolak disebut pahlawan karena gelar pahlawan disalahgunakan untuk kepentingan dan pencitraan.
Mengakui Tan Malaka Sebagai Bapak Republik Indonesia

Mengakui Tan Malaka Sebagai Bapak Republik Indonesia

Tan Malaka pertama kali menggagas konsep negara Indonesia dalam risalah Naar de Republik Indonesia. Sejarawan mengusulkan agar negara memformalkan gelar Bapak Republik Indonesia kepada Tan Malaka.
Prajurit Keraton Ikut PKI

Prajurit Keraton Ikut PKI

Dua anggota legiun Mangkunegaran ikut serta gerakan anti-Belanda. Berujung pembuangan.
Perang Jawa Memicu Kemerdekaan Belgia dari Belanda

Perang Jawa Memicu Kemerdekaan Belgia dari Belanda

Hubungan diplomatik Indonesia dan Belgia secara resmi sudah terjalin sejak 75 tahun silam. Namun, siapa nyana, kemerdekaan Belgia dari Belanda dipicu oleh Perang Jawa.
bottom of page