top of page

Sejarah Indonesia

Jebolan Boedoet Tempo Dulu

Jebolan Boedoet Tempo Dulu

Meski banyak ahli yang dilahirkan Sekolah Teknik KWS, sekolah yang belakangan dikenal sebagai Boedoet ini lebih diingat karena tawurannya.

6 Mei 2025

Dengarkan artikel

bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Lulusan sekolah teknik Koningin Wilhelmina School (kini SMAN 1 Jakarta) banyak jadi orang sukses. (Tropenmuseum).

SEKOLAH ini pernah menolak seorang Nyong Ambon untuk menjadi siswanya. Pasalnya, nilai pelajaran menggambar Johannes Leimena si calon siswa amat rendah. Menurut Frans Hitipeuw dalam Dr. Johannes Leimena, Karya dan Pengabdiannya, nilai pelajaran menggambar Leimena hanya 4. Padahal, menggambar adalah perkara penting dalam kerja-kerja teknik. Leimena akhirnya malah diterima di sekolah kedokteran dan menjadi dokter hingga belakangan dipercaya menjadi menteri kesehatan --berjuluk Bapak Kesehatan Indonesia-- dan wakil perdana menteri RI.


Begitulah ketatnya seleksi masuk ke Koningen Wilhelmina School (KWS), sebuah sekolah teknik semasa Hindia Belanda. KWS yang berdiri pada 1901 itu terletak di Vrijmetselaarsweg atau bisa diterjemahkan sebagai Jalan Freemason atau Jalan Mason Bebas. Kini nama jalan itu telah berganti jadi Jalan Budi Utomo, yang sering disingkat dengan ejaan van Ophuijsen sebagai Boedoet.


Bertahun-tahun setelah Leimena gagal masuk KWS, seorang pendeta dari Tapanuli, Friedrich Silaban, pun mendaftar ke KWS. Anak pedeta kelahiran Bonandolok, Tapanuli pada 16 Desember 1912 ini adalah lulusan Holland Inlandsche School (HIS) Norumonda. HIS merupakan sekolah dasar tujuh tahun berbahasa Belanda dan ijazah HIS minimal harus dimiliki mereka yang ingin masuk KWS. Namun bukan itu saja syarat agar Silaban bisa diterima di KWS. Berkat kemampuan menggambarnya yang jauh melebihi Leimena, maka Silaban pun diterima.


Silaban menikmati betul masa sekolahnya di Jalan Budi Utomo itu. Sebab, KWS tak mencetak kuli atau sekadar juru gambar saja tapi juga pengawas teknik yang disebut opziener. Itulah yang dicita-citakan para pelajar KWS.


Silaban, sebut buku Rumah Silaban, tertarik pada rancangan JH Antonisse yang dilihatnya di acara tahunan Pasar Gambir. Pasar itu tidaklah jauh jaraknya dari KWS. Meski sekolahnya itu hanya sebuah SMK, Silaban sudah diajarkan merancang sebuah rumah layaknya seorang arsitek yang kuliah jurusan teknik arsitektur.


“Silaban adalah lulusan Koningen Wilhelmina School (KWS), suatu sekolah menengah teknik yang terkenal di Jakarta. Selama bertahun-tahun, dia bekerja di bagian arsitektur dalam Zeni Militer Belanda. Karena saya mantan calon perwira Zeni maka terdapat ikatan batin di antara kami,” kata TB Simatupang, salah seorang bapak TNI, dalam Membuktikan Ketidakbenaran Suatu Mitos


Silaban lulus dari KWS pada 1931. Selanjutnya dia bekerja untuk pemerintah kolonial. Ketika bekerja itu, dia telah membuat rancangan beberapa gedung.


KWS tentu punya bermacam-macam siswa. Ada pula yang suka bermain bola. Sepakbola biasa dimainkan para siswa di luar jam pelajaran penting. Tanding antar-sekolah juga sudah ada di zaman Hindia Belanda. Itulah yang kerap dilakukan Amin Saelan, salah seorang siswa KWS asal Sulawesi Selatan.


“Saya menekuni sepakbola karena kebetulan ayah saya ketika belajar di Koningin Wilhelmina School di Batavia, olahraga sepakbolalah yang ditekuninya. Lulus dari KWS ia ditempatkan di Makassar dan sekaligus menjadi pemain dan pelatih sepakbola,” kata mantan kapten dan kiper timnas Indonesia Maulwi Saelan dalam Dari Revolusi 45 sampai Kudeta 66. tentang ayahnya, Amin Saelan.


Semasa di Makassar, Amin Saelan mendirikan sekolah Taman Siswa. Anak-anaknya, bahkan yang perempuan, adalah pendukung dan pejuang Republik Indonesia yang gigih.


Tak hanya anak-anak Belanda, Indo, atau pribumi saja yang bisa diterima di KWS. Anak-anak dari kalangan Timur Jauh (Vreemde Ossterlingen) juga bisa bersekolah di KWS. Laurent Rahadi contohnya. Pria keturunan Tionghoa-Betawi itu langsung bekerja ketika berumur 19 tahun dengan modal ijazah KWS.


“Ia tak berpikir lama-lama untuk segera bekerja. Papi, yang punya banyak kenalan orang-orang yang bekerja di proyek-proyek pembangunan langsung mendapat tawaran kerja. Tak main-main, pekerjaan yang ditawarkan Papi adalah menggarap pembangunan jalan dan jembatan di Sumatra,” terang anak Laurent Rahadi dalam memoarnya yang disusun Albertine Endah, Chrisye: Sebuah Memoar Musikal.


Anak Laurent Rahadi yang dimaksud adalah Christian Rahadi. Belakangan, Christian dikenal sebagai bintang-penyanyi Indonesia dengan nama Chrisye.*

Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian
Hind Rajab dan Keheningan yang Memekakkan Telinga

Hind Rajab dan Keheningan yang Memekakkan Telinga

Film “The Voice of Hind Rajab” jadi antidot amnesia kisah bocah Gaza yang dibantai Israel dengan 335 peluru. PBB menyertakan tragedinya sebagai bagian dari genosida.
Orde Baru “Memfitnah” Orang Dayak

Orde Baru “Memfitnah” Orang Dayak

Dulu, orang Dayak dituduh pembakar hutan yang lebih berbahaya dari industri. Padahal, tidak banyak lahan hutan alam Kalimantan yang mereka gunduli.
Arsip Korupsi Sejak Zaman Kompeni

Arsip Korupsi Sejak Zaman Kompeni

Korupsi sejak masa VOC hingga kolonial Belanda terekam dalam arsip. Korupsi akan terus ada karena berkaitan dengan kekuasaan, kewenangan, dan keserakahan manusia.
Ziarah Sejarah ke Petamburan (1)

Ziarah Sejarah ke Petamburan (1)

Dari pelatih sepakbola Timnas Indonesia Toni Pogacnik hingga pembalap Hengky Iriawan. Sejumlah pahlawan olahraga yang mewarnai sejarah Indonesia dimakamkan di TPU Petamburan.
Foto "Gadis Napalm" yang Kontroversial

Foto "Gadis Napalm" yang Kontroversial

Cerita di balik potret bocah-bocah yang menangis histeris saat terjadi serangan napalm di Perang Vietnam. Kini atribusi fotonya jadi polemik.
bottom of page