- Hendi Jo
- 5 Okt 2019
- 2 menit membaca
SUATU hari di tahun 1993 , Jenderal Edi Sudradjat (Panglima ABRI sekaligus Menteri Pertahanan RI) meminta Sersan Mayor Nius Maapanawang, sopir pribadi merangkap pengawal, mengantarkannya ke rumah mertuanya di Kuningan, Jawa Barat.
“Saya ingat saat itu saya masih terbilang baru sebagai sopir beliau,” kenang eks prajurit Kopassus AD itu.
Begitu sampai di Kuningan malam hari, Edi tidak langsung tidur. Dia malah memanggil Nius dan memerintahkannya untuk mengeluarkan “gambar kelelawar” dari mobilnya. Nius yang kebingungan dengan perintah itu, lantas bertanya: “Mohon izin, Jenderal! Maksudnya apa? Obat nyamuk?”
“Ah kau ini…Biasa, itu kartu gaple,” ujar Edi sambil tersenyum. Nius pun diam-diam merasa geli dalam hatinya.
Selain jago telik sandi dan menembak, Edi pun dikenal piawai bermain gaple. Hobi itu ditekuninya sejak menjadi taruna AKABRI dan kerap dimainkannya ketika dia terlibat dalam berbagai operasi militer seperti di Timor-Timur. Di luar tugas, Edi pun sering bermain gaple ketika waktu senggang, terutama saat menunggu waktu berburu rusa dan babi hutan, salah satu hobinya yang lain.
“Dia itu jago kalau main gaple. Dia bisa “tahu” siapa yang lagi memegang kartu balak enam di antara kami, kawan-kawannya main gaple,” kenang Letnan Jenderal (Purn) F.X. Sudjasmin, koleganya di ketentaraan.
Jarang sekali Edi kalah dalam setiap permainan. Karena itulah, kata Sudjasmin, Edi nyaris tak pernah mendapatkan “sanksi” khusus untuk pecundang, seperti memakai helm baja berlapis-lapis atau kuping dipasangi karet.
Namun sepandai-pandainya tupai melompat, akhirnya dia terjatuh jua. Dalam suatu pertandingan seru, dia pernah harus mengakui keunggulan dua lawan tanding-nya, yang tak lain adalah para juniornya: Kolonel Sutiyoso dan Kolonel Agum Gumelar.
Syahdan, pada suatu siang di tahun 1988, Kolonel Sutiyoso (Asisten Operasi Komandan Jenderal Kopassus) dan Kolonel Agum (Asisten Intel Kopassus) diperintahkan untuk datang ke rumah Kepala Staf Angkatan Darat (KASAD) Jenderal Edi Sudradjat. Saat menuju rumah KASAD, mereka berdua sempat bertanya-tanya, ada apa gerangan?
Setiba di sana, ternyata sudah ada komandan mereka, Brigjen Kuntara. Rupanya Edi mengundang mereka bertiga hanya untuk mengajak bermain gaple. Singkat cerita, mulailah mereka masuk dalam permainan. Edi berpasangan dengan Kuntara, sedangkan Sutiyoso bermitra dengan Agum.
Meskipun menghadapi senior-seniornya, Agum dan Sutiyoso tetap melakukan perlawanan secara serius. Pada suatu kesempatan, Agum bisa menggaple kartu sehingga skor langsung berubah menjadi 2-0 untuk kemenangan pasangan Agum-Sutiyoso. Saking gembiranya atas kemenangan itu, Agum berteriak senang sambil menari-nari jejingkrakan.
Melihat ulah rekannya itu, Sutiyoso sempat was-was. Dia khawatir kedua perwira tinggi yang ada di hadapannya itu tersinggung. Namun hatinya mulai lega saat melihat sikap Edi dan Kuntara. Alih-alih tersinggung, mereka berdua malah tertawa-tawa melihat ulah Agum.
“Di situlah saya melihat sosok Pak Edi yang sangat fair dan gentlemen. Kalau main kalah, ya kalah,” ujar Sutiyoso dalam biografi Edi Sudradjat, Back to Basic: Dari Operasi ke Operasi karya Yudhistira ANM Massardi, Iwan Santosa dan Hendi Jo.
Namun tak urung, sepulang dari rumah Edi, Agum sempat ditegur juga oleh Sutiyoso.
“Gum, enggak nyadar apa kamu tadi, nari-nari depan KASAD?” ujar Sutiyoso.
“Waduh! Iya ya Yos, aku lupa,” kata Agum seraya mesam-mesem.










Komentar