- Martin Sitompul
- 24 Apr
- 3 menit membaca
JENDERAL TNI (Purn.) Surono Reksodimedjo merupakan perwira yang solider dengan bawahan. Sifat ini diketahui betul oleh kolega dekatnya, Letjen TNI (Purn.) Sayidiman Suryohadiprodjo. Sewaktu Surono menjabat Kepala Staf Angkatan Darat (KASAD) pada 1974, Sayidiman menjadi deputinya (kini Wakasad). Namun, pertautan Surono dan Sayidiman telah terjalin lebih lama sejak mereka masih perwira menengah pada dekade 1950-an. Ketika itu, Surono menjabat gubernur Akademi Militer Nasional (AMN) Magelang dan menugaskan Sayidiman sebagai komandan Resimen Taruna Akademi Teknik AD (Atekad) di Bandung.
“Pak Surono mengatakan bahwa di Atekad belum ada Dan Mentar-nya, padahal jumlah tarunanya waktu itu sama atau lebih banyak dari AMN Magelang. Beliau mengatakan bahwa beliau menghendaki para Taruna Atekad, sekalipun sudah diarahkan untuk masuk Korps Zeni, Peralatan dan Perhubungan, menjadi perwira TNI dengan sikap yang tak beda dari Perwira TNI yang dibentuk di AMN Magelang. Sebab itu saya sebagai perwira infanteri dan cukup berpengalaman sebagai komandan pasukan infanteri, harus mendidik dan melatih mereka seperti taruna yang dididik di Magelang,” kenang Sayidiman.
Meski dekat dengan anak buah, Surono yang kelahiran Banyumas, 6 September 1923, dikenal suka bicara blak-blakan. Seperti dicolek Berita Yudha, 19 Maret 1994, Surono kalau sudah marah cukup seram, tetapi itu hanya sesaat saja. Lebih dari itu, Surono selalu perhatian sama anak buahnya.
Suatu hari, ketika sedang baca koran, Surono menemukan sederetan nama yang ikut dalam perlombaan reli mobil. Salah satu nama cukup familiar bagi Surono: Leo Lopulisa. Nama terakhir pernah menjadi pembantu Surono semasa menjabat KASAD, ialah Mayor Jenderal Leo Lopulisa sebagai Asisten II/Operasi KASAD. Begitu mengetahui Leo ikutan lomba reli, Surono buru-buru angkat telepon dan menghubungi Leo Lopulisa.
“Leo, kamu ini gila, wong sudah jadi jenderal kok masih ikut-ikutan reli kayak anak kecil saja. Nanti kalau mati bagaimana!” hardik Surono.
“Wah, Pak, itu memang hobi saya, dan InsyaAllah saya selamat,” kata Leo melobi.
“Ya sudah,” imbuh Surono. "Hati-hati jangan sampai terjadi apa-apa.”
“Sikap Surono yang lurus itu diterapkannya pada semua orang, walaupun pada saudaranya sendiri. Ia selalu menolak dimintai yang aneh-aneh,” terang Berita Yudha.
Kali lain, semasa Surono menjabat panglima Komando Wilayah Pertahanan (Pangkowilhan) II (1969—1973), terjadilah insiden yang melibatkan keluarganya. Sekali waktu, saudara perempuan Surono mendatangi kantor sekretariat Kowilhan untuk suatu keperluan bantuan. Surono rupanya sudah mengetahui maksud kedatangan tersebut ke kantor. Untuk itu, Mayor Ramelan selaku ajudan Surono diperintahkan memberitahu bahwa panglima sedang memimpin rapat.
Ketika yang bersangkutan tiba, Mayor Ramelan awalnya menyapa ramah sembari menjelaskan bahwa panglima sedang rapat dan tidak dapat diganggu. Namun, perempuan itu bersikukuh untuk ketemu Surono. Setelah tiga jam dibiarkan menunggu, kesabarannya pun habis.
“Pak, saya masuk saja sendiri, wong hanya sebentar,” katanya kepada Ramelan.
Mayor Ramelan langsung tergopoh-gopoh dan mencegahnya untuk masuk ke dalam ruang kerja panglima. Aksi dorong-dorong pun terjadi. Keduanya saling mendorong seperti anak kecil yang sedang bertengkar. Sementara Mayor Ramelan menahan keluarga atasannya itu, dalam hatinya memendam kekhawatiran jangan sampai kena semprot gara-gara tidak mampu menjalankan tugas. Akhirnya, dorong-dorongan itu sampai juga ke depan pintu masuk ruang panglima. Saat itulah, ibu itu menggedor-gedor pintu seraya memanggil-manggil Surono.
“Mas Rono, Mas Rono, saya mau masuk sebentar saja,” teriaknya.
Karena terdengar kegaduhan, Surono keluar. Setelah pintu dibuka, dia menyambut keluarga yang dari tadi hendak menjumpainya.
“Oh, mbakyu to, wah apa kabar ini, kapan datang ke Jogja?” sapa Surono yang kemudian mempersilakan masuk ke ruang kerjanya.
Setelah sekira 15 menit di dalam, Surono keluar mengantarkan saudarinya beserta seluruh staf, termasuk Mayor Ramelan. Surono juga sudah mendengar laporan Mayor Ramelan atas insiden dorong-dorongan yang baru saja terjadi. Mendengar uraian ajudannya itu, Surono tertawa terbahak-bahak dengan penuh pengertian bahwa sang ajudan tidak mampu berbuat lebih. Sang ajudan pun tidak tidak diapa-apakan.
Setelah menyelesaikan tugas sebagai Pangkowilhan II itulah Surono kemudian diangkat menjadi KASAD. Surono dibantu oleh seorang deputi dan lima asisten, yakni: Letjen Sayidiman Suryohadiprodjo (Deputi KASAD), Mayjen Widya Latief (Asisten I), Mayjen Leo Lopulisa (Asisten II), Mayjen Satibi Darwis (Asisten III), Mayjen Iksan Sugiarto (Asisten IV), dan Mayjen Suprapto (Asisten V). Dalam periode kepemimpinan Surono, untuk pertama kalinya dalam TNI-AD, KASAD dalam mengemban tugasnya didampingi oleh deputi, seorang perwira dari generasi penerus TNI Angkatan 45. Tapi, Surono sebentar menjadi orang nomor satu di Angkatan Darat, hanya setahun (1973—1974).
“Hal ini bukanlah berarti bahwa ia tidak berhasil dalam memimpin dan membina TNI-AD, tetapi justru sebaliknya, yaitu karena ia sangat dibutuhkan oleh pemerintah untuk diberi tugas yang lebih berat dan lebih luar lagi. Ia ditugaskan selaku Wakil Pangab, menggenatikan Jenderal TNI Soemitro,” demikian diulas Dinas Sejarah Angkatan Darat dalam Sejarah TNI-AD 1945--1973 Jilid XIII: Riwayat Hidup Singkat Pimpinan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat.
Setelah menjadi wakil panglima ABRI, Surono kemudian beberapa kali dipercaya Presiden Soeharto menjadi menteri. Mulai dari Menko Kesejahteraan Rakyat (1978—1983) hingga Menko Politik, Hukum, dan Keamanan (1983—1988). Terakhir, dia menjabat sebagai Ketua Komite Olahraga Nasional (1986—1994). Surono wafat pada 3 Agustus 2010.*
Comentários