top of page

Sejarah Indonesia

Kadjo Belajar Membuat Arloji Ke

Kadjo Belajar Membuat Arloji ke Belgia

Seorang abdi dalem Kasunanan Surakarta belajar membuat arloji ke Belgia. Mempersembahkan arloji khusus untuk Sunan.

Oleh :
19 Februari 2017

Dengarkan artikel

bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

...

Suatu kali seorang penyewa tanah partikelir di Surakarta berkebangsaan Belgia, C. Coenaes, mengeluh kepada Susuhunan Paku Buwono VIII. Pangkal soalnya adalah keahlian tukang-tukang Kasunanan Surakarata yang kurang terampil. Coenaes mengeluh karena tidak memadainya perbaikan lonceng dan arlojinya yang dikerjakan oleh tukang dari keraton.


“Dan penanganan atas barang-barang emasnya pun buruk sekali,” kata Coenaes sebagaimana dicatat Harry A. Poeze dalam Di Negeri Penjajah: Orang Indonesia di Negeri Belanda 1600-1950. Coenaes pun mengusulkan kepada Sunan agar salah satu tukangnya dikirim ke Eropa untuk dididik sebagai ahli arloji.


Sunan mengiyakan usulan Coenaes itu. Sunan lalu memilih seorang abdi dalem muda bernama Kadjo untuk belajar menjadi pembuat arloji ke Belgia, negeri asal Coenaes. Kadjo sendiri adalah anak seorang perwira rendah pasukan kavaleri Kasunanan Surakarta. “Begitulah, pada Juni 1856 Kadjo yang berusia 21 tahun berangkat ke Brussel bersama keluarga Coenaes,” tulis Poeze.


Pilihan Sunan ternyata tidak meleset. Dalam perjalan menuju Eropa bersama Coenaes, Kadjo sudah menampakkan keuletan dan loyalitasnya. Dia juga tidak canggung dengan keluarga Coenaes. Dalam perjalanan selama 23 hari yang penuh badai, Kadjo dengan setia menemani Nyonya Coenaes dan anak-anaknya. Sesampai di Brussel, Kadjo belajar bahasa Prancis sebelum belajar membuat arloji. Berkat kerajinannya, Kadjo menjadi murid yang menonjol karena cepat menyerap pelajaran membuat arloji.


“Baru satu tahun dia sudah amat maju, sehingga dapat mengikuti pelajaran pembuat arloji Heckmann dan mengikuti pelajaran di Akademi Seni Menggambar untuk memahirkan diri dalam seni menggambar ornamen,” tulis Poeze. Kemampuan Kadjo bahkan lebih baik daripada murid-murid Heckmann yang lebih senior.


Pada Oktober 1859, Kadjo memenangi penghargaan pertama dalam seni gambar ornamen kelas dua di Akademi Seni Menggambar. Coenaes merasa sangat puas dengan anak asuhnya itu: “Saya bisa katakan bahwa saya telah berhasil menjadikan orang Jawa ini seorang seniman sejati.”


Ketika telah mahir, Kadjo memulai merancang dan membuat sebuah arloji khusus. Rencananya arloji khusus itu akan menjadi hadiah bagi Susuhunan Surakarta. Karya itu lalu diberi nama “duplex a balancier compensateur dengan sepuluh batu”.


Kadjo merancang arloji itu dengan memakai aksara Jawa pada angka-angka penunjuk waktunya. Dia memberikan sentuhan eksklusif di lempeng arloji itu. Di situ dia menerakan prasasti yang bunyinya “Kadjo, habdi dalem ponokawan djam hing Soerokarto moeridipoen toewan Higman Brussel” atau “Kadjo, abdi dalem pelayan jam di Surakarta, murid Tuan Heckmann di Brussel”.


“Sebelum dikirim ke Surakarta, jam itu dipamerkan kepada Van Wielik, pembuat arloji Baginda Ratu Belanda, dan orang-orang lain lagi, antara lain Menteri Daerah Jajahan, Rochussen. Semuanya sangat terkesan dengan hasil kerajinan Kadjo,” pungkas Poeze.

Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian
Dari Gas hingga Listrik

Dari Gas hingga Listrik

NIGM adalah perusahaan besar Belanda yang melahirkan PLN dan PGN. Bersatunya perusahaan gas dan listrik tak lepas dari kerja keras Knottnerus di era Hindia Belanda.
Pangku yang Memotret Kehidupan Kaum Pinggiran

Pangku yang Memotret Kehidupan Kaum Pinggiran

Film perdana Reza Rahadian, “Pangku”, tak sekadar merekam kehidupan remang-remang lewat fenomena kopi pangku. Sarat pesan humanis di dalamnya.
Soebandrio Tidak Menyesal Masuk Penjara Orde Baru

Soebandrio Tidak Menyesal Masuk Penjara Orde Baru

Soebandrio dikenal memiliki selera humor yang tinggi. Selama menjadi tahanan politik Orde Baru, dia mendalami agama Islam, sehingga merasa tidak rugi masuk penjara.
Khotbah dari Menteng Raya

Khotbah dari Menteng Raya

Tak hanya mendatangkan suara, Duta Masjarakat juga menjadi jembatan Islam dan nasionalis sekuler. Harian Nahdlatul Ulama ini tertatih-tatih karena minim penulis dan dana.
Lagi, Seruan Menolak Gelar Pahlawan Nasional Bagi Soeharto

Lagi, Seruan Menolak Gelar Pahlawan Nasional Bagi Soeharto

Wacana penganugerahan gelar pahlawan nasional bagi Soeharto kian santer. Dinilai sebagai upaya pengaburan sejarah dan pemutihan jejak kelam sang diktator.
bottom of page