top of page

Sejarah Indonesia

Katakan Cinta Dengan Sirih

Katakan Cinta dengan Sirih

Sirih bukan sekadar memerahkan gigi tapi juga menjadi tanda pertemuan dan perpisahan.

Oleh :
17 Januari 2012

Dengarkan artikel

bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Ilustrasi: Ganda Permana.


SEBELUM akad nikah Edhie Baskoro Yudhoyono dengan Siti Rubi Aliya Rajasa dimulai, dilakukanlah prosesi Buka Kandang Adat. Setelah berbalas pantun, masing-masing utusan mempelai saling bertukar dan mencicipi sirih, tanda saling menerima. Prosesi ini disebut Cicip Sirih dan Tukar Tepak Sirih. Bagaimana sirih bisa menjadi tanda cinta dan mempersatuan dua insan manusia?


Tanaman sirih asli Indonesia. Orang Portugis menyebutnya betel. Orang Melayu ada yang menyebutnya sirih atau sireh. Ia bisa hidup dan tumbuh menjalar di tiap wilayah Indonesia. Bahkan melingkupi hingga wilayah Asia Tenggara. Meski penelitian kesehatan belakangan ini menyatakan ada bahaya setelah mengunyahnya, sirih telah lama dikonsumsi masyarakat Nusantara. Tidak hanya untuk dikunyah, tapi juga jadi pelengkap ritual dan mahar pernikahan.


Pertengahan abad ke-15, ketika jung-jung besar dari “negeri atas angin” (India, Persia, China, dan Eropa) hilir-mudik di lautan Nusantara, kota-kota pelabuhan dagang di Sumatra, Jawa, Sulawesi, dan Maluku segera menjadi kosmopolit. Orang-orang dari belahan dunia yang berbeda bertemu di pesisir. Mereka berinteraksi setelah rempah-rempah Maluku dan Banda menjadi komoditas utama. Dari interaksi tersebut, perbedaan budaya menampak. Kemudian sebagian dari mereka yang datang ke Nusantara, wilayah yang disebut sejarawan Anthony Reid sebagai “tanah di bawah angin”, mencatat keadaan itu dalam risalah perjalanannya.



Orang-orang Peringgi (Eropa) meninggalkan catatan yang berharga mengenai gambaran kebiasaan masyarakat Nusantara pada masa itu. Sebut saja karya Tome Pires, Antonio Pigafetta, dan Antonio Galvao yang ditulis dalam abad ke-16. Sementara itu, catatan lain berasal dari China. Pelaut China bernama Ma Huan menuangkan pengalamannya singgah ke negeri yang dia sebut “Nan-Yang” (Laut Selatan) itu dalam karyanya, Ying-yai Sheng-lan. Karyanya ditulis satu abad lebih awal daripada karya orang Peringgi.


Dalam karya-karya tersebut, kebiasaan mengunyah sirih (bisa juga disebut menginang atau menyirih) masyarakat Nusantara terekam. Pigafetta, misalnya, mengetahui kebiasaan menyirih merupakan aktivitas penyejuk hati bagi masyarakat Nusantara. Orang-orang berkulit coklat itu bertutur kepada Pigafetta bahwa tanpa mengunyah sirih, mereka seolah-olah akan mati. Catatan Ma Huan memberikan gambaran yang lebih detail. Tulisan Ma Huan dikutip Anthony Reid dalam Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga 1450-1680: Tanah di Bawah Angin.



Ma Huan menuliskannya dengan deskripsi yang jelas. “Lelaki dan perempuan mengambil buah pinang serta daun sirih, dan mencampurnya dengan kapur, yang diperoleh dari kulit kerang; mulut mereka tak pernah lepas dari kunyahan ini,” tulis Ma Huan. Gambaran itu dia dapatkan setelah melihat orang-orang Jawa tak berhenti mengunyah sirih, baik saat bekerja, santai, maupun berbicara. Mereka meracik sirih dengan mencampurkan bahan-bahan lain seperti kapur, buah pinang, dan gambir. Racikan itu menghasilkan rasa yang berbeda. Itu artinya, masyarakat Nusantara memiliki cara sendiri dalam mengolah sirih sejak abad ke-15.


Pada abad yang sama, kebiasaan menyirih juga ditemukan di India Selatan dan China Selatan. Temuan itu sempat melayangkan dugaan bahwa menyirih berasal dari India. Menyirih dianggap telah berusia 2000 tahun. Tapi, dalam Betel-Chewing in South East Asia, Dawn F. Rooney membantahnya, “Hanya bukti tertulis yang dapat mendukung pendapat tersebut.” Dia juga menambahkan temuan arkeologis dan linguistik terakhir telah meragukan teori India tersebut.


Anthony Reid sepakat dengan Rooney. Reid yakin menyirih merupakan tradisi asli masyarakat Asia Tenggara. Di kepulauan ini, menyirih telah mengakar sehingga mempunyai makna dalam pelbagai ritus sosial. Di Sikka, Flores, menyirih dapat menjadi sasmita diterimanya lamaran seorang lelaki terhadap gadis pujaannya.


Dalam Hikayat Kerajaan Sikka yang ditulis Kondi, seorang laki-laki yang dianggap pendiri kerajaan, Moang Rae Raja, harus mencari sirih hingga ke tengah hutan. Setelah mendapatkannya, dia mesti menaruh sirih di dalam rumah. Lalu menunggu mimpi baik datang. Jika bermimpi baik, dia harus bercerita kepada keluarga gadis pujaannya, Dewi Sikh. Sirih yang ditaruh itu lalu diberikan ke keluarga si gadis. Jika dikunyah keluarga si gadis, itulah sasmita lamarannya diterima. Cerita ini diuraikan G. Forth dalam “Ritual implications of settlement change: An Eastern Indonesian example,” jurnal KITLV, Vol. 154 tahun 1998.   



Di wilayah barat Nusantara, Melaka, sirih merupakan tanda cinta. Kisah Hang Jebat yang tersohor jago berhikayat dalam masa kurun niaga itu menjadi buktinya. Suatu malam, Hang Jebat diundang berhikayat di istana oleh Sultan Melaka. Istana telah dipenuhi gadis-gadis cantik jelita yang menunggu suara indah Hang Jebat. Ketika Hang Jebat mulai berhikayat, gadis-gadis itu terpukau. Dan selesai pembacaan hikayat, mereka mendatangi Hang Jebat dengan membawa sekotak sirih, lalu menawarkannya. Mereka menyatakan cinta dengan sirih. Menyirih bersama-sama atau sekapur sesirih menjadi ritual selanjutnya.


Selain sebagai simbol yang mempersatukan, sirih juga digunakan dalam upacara kematian. Menurut Kari G. Telle dalam “Feeding the Dead : Reformulating Sasak Mortuary Practices” jurnal KITLV, Vol. 156 tahun 2000, masyarakat di timur Indonesia hingga kini masih mempertahankan tradisi menyirih dalam upacara kematian. Mereka memberikan sirih kepada orang mati sebagai penghormatan terakhir sekaligus wujud rasa sayang. Mereka meyakini arwah akan merasa senang jika diberi sirih.


Menyirih pernah menjadi tradisi masyarakat Indonesia. Sirih juga pernah menempati posisi sakral dalam ritus kehidupan masyarakat. Namun, penelitian terkini dr. Simandjuntak SpB, ONK dari Rumah Sakit PGI Cikini menyatakan sirih menjadi salah satu penyebab kanker mulut. Ini tentu bukan satu-satunya alasan mengapa tradisi menyirih masyarakat Indonesia perlahan hilang.


Merokok, mengeteh, mengopi, dan mengunyah permen karet tampaknya lebih disukai ketimbang menyirih. Menyatakan cinta dengan bunga tentu jauh lebih populer ketimbang dengan sirih. Masyarakat mulai berjarak dengan sirih.

Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian
Hind Rajab dan Keheningan yang Memekakkan Telinga

Hind Rajab dan Keheningan yang Memekakkan Telinga

Film “The Voice of Hind Rajab” jadi antidot amnesia kisah bocah Gaza yang dibantai Israel dengan 335 peluru. PBB menyertakan tragedinya sebagai bagian dari genosida.
S.K. Trimurti Murid Politik Bung Karno

S.K. Trimurti Murid Politik Bung Karno

Sebagai murid, S.K. Trimurti tak selalu sejalan dengan guru politiknya. Dia menentang Sukarno kawin lagi dan menolak tawaran menteri. Namun, Sukarno tetap memujinya dan memberinya penghargaan.
Orde Baru “Memfitnah” Orang Dayak

Orde Baru “Memfitnah” Orang Dayak

Dulu, orang Dayak dituduh pembakar hutan yang lebih berbahaya dari industri. Padahal, tidak banyak lahan hutan alam Kalimantan yang mereka gunduli.
Arsip Korupsi Sejak Zaman Kompeni

Arsip Korupsi Sejak Zaman Kompeni

Korupsi sejak masa VOC hingga kolonial Belanda terekam dalam arsip. Korupsi akan terus ada karena berkaitan dengan kekuasaan, kewenangan, dan keserakahan manusia.
Ziarah Sejarah ke Petamburan (1)

Ziarah Sejarah ke Petamburan (1)

Dari pelatih sepakbola Timnas Indonesia Toni Pogacnik hingga pembalap Hengky Iriawan. Sejumlah pahlawan olahraga yang mewarnai sejarah Indonesia dimakamkan di TPU Petamburan.
bottom of page