top of page

Sejarah Indonesia

Kematian 5 Mahasiswa Indonesia Di Belanda

Kematian 5 Mahasiswa Indonesia di Belanda

Karena tak mampu menyesuaikan diri dengan iklim di Belanda, mereka tak mampu lagi menghindari maut. Sebagian besar karena penyakit paru-paru.

18 Februari 2020

Dengarkan artikel

bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Potret kehidupan mahasiswa Indonesia di Belanda permulaan abad ke-20 (indonesia.leidenscience.com)

Permulaan abad ke-20, banyak bangsawan di Hindia Belanda yang mulai berminat belajar ke Belanda. Sejak Raden Mas Panji Sosrokartono, kakak Kartini, menjadi generasi pertama orang Indonesia yang bersekolah di Belanda, para bangsawan berlomba menyekolahkan anaknya di sana. Mereka berharap memperoleh pengetahuan untuk membangun dan menjaga kekuasaannya. Di samping urusan gengsi antar bangsawan.


Namun persoalan hidup di Belanda bukanlah perkara mudah bagi orang Indonesia. Keadaan iklim dan kebiasaan makan (termasuk jenis makanan) yang berbeda menjadi sebab banyak dari mereka yang kemudian jatuh sakit. Bahkan hingga menelan korban jiwa dalam kasus tertentu. Dalam Di Negeri Penjajah: Orang Indonesia di Negeri Belanda 1600-1950, sejarawan Harry A. Poeze mencatat jika antara 1913-1920 terdapat 5 orang Indonesia yang meninggal.



Mengingat kecilnya jumlah keseluruhan mahasiswa Indonesia yang menempuh studi di sana, dan dalam umur muda pula, angka kematian itu memang cukup menjadi sorotan. Karena itu beberapa kali para pejabat Belanda dan para ahli mengemukakan kalau menempuh pendidikan di Eropa bukan pilihan yang bagus bagi orang Indonesia, utamanya jika ditinjau dari segi kesehatan. Perlu adanya penyaringan yang ketat untuk hal tersebut.


“Meninggalnya orang-orang muda di tempat yang jauh dari tanah-airnya itu merupakan tragedi yang luar biasa,” ungkap Poeze.


Berikut 5 mahasiswa Hindia Belanda (Indonesia) yang meninggal dunia saat proses studi di Belanda.


Raden Mas Ario Notowirojo

Raden Mas Ario Notowirojo tercatat sebagai mahasiswa Indonesia pertama yang wafat ketika sedang menempuh studi di Belanda. Ario Notowirojo meninggal pada April 1913, dalam usia 22 tahun. Ia meninggal akibat penyakit TBC (tuberculosis) yang dideritanya ketika sudah tinggal di Belanda. Ario Notowirojo tiba di Amsterdam pada 1910 untuk mengikuti pendidikan di sekolah dagang.


Sebelum meninggal ia sempat mendapat perawatan di Swiss. Namun usaha medis itu tidak dapat menyelamatkan nyawanya. Kematian Ario Notowirojo itu menjadi pukulan berat bagi Praja Pakualaman. Karena Ario Notowirojo adalah putra Paku Alam VII, dengan gelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Ario Prabu Suryodilogo (1882-1937).


Praja Pakualaman berdiri pada 17 Maret 1813 di bawah pimpinan Bendara Pengeran Harya Natakusuma, dengan gelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Ario Paku Alam I. Pemerintahan Pakualaman berada di wilayah Yogyakarta. Namun status kekuasaannya tidak lebih besar dari Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat.



Kematian Ario Notowirojo begitu membekas di kalangan orang-orang Belanda, utamanya yang mengenal sosok almarhum. Pejabat Hindia Belanda Jacques Henrij Abendanon bahkan sampai menulis artikel peringatan kematian Notowirojo di Voordracten en Mededeelingen van de Indische Vereeniging.


Ario Notowirojo, kata Abendanon, datang ke Belanda dengan semangat yang tinggi untuk memperdalam ilmu pengetahuan agar dapat memimpin pemerintahan di negerinya. Ia disebut berkeinginan kuat membawa kemajuan di bidang ekonomi, terutama dalam kaitannya dengan perdagangan dan industri. Mempelajari perekonomian dunia diyakini Ario Notowirojo sebagai jalan tercepat mewujudkan mimpinya itu.


“Ada hal-hal lain yang menyebabkan semua orang yang mengenal Notowirojo akan selalu mengenangnya dan menyesalkan kepergiannya yang terlalu dini itu, yaitu kelembutannya, budi pekertinya yang menyenangkan, kemauannya yang keras, dan semangat yang memancar di matanya. Semangat ini, hasrat jiwanya untuk hidup dan bekerja demi bangsa ini, tidak akan hilang. Ia akan hidup terus di hati ribuan orang,” tulis Abendanon.


Raden Basoeki

Raden Basoeki (Repro Di Negeri Penjajah: Orang Indonesia di Negeri Belanda 1600-1950)
Raden Basoeki (Repro Di Negeri Penjajah: Orang Indonesia di Negeri Belanda 1600-1950)

Mahasiswa Indonesia selanjutnya yang juga meninggal dunia akibat penyakit TBC adalah Raden Basoeki. Ia tutup usia pada September 1915, dalam usia 21 tahun. Raden Basoeki tercatat sebagai mahasiswa Sekolah Pertanian Tinggi di Wageningen, Belanda. Ia juga merupakan putra Atmodirono, arsitek pertama di pemerintahan Hindia Belanda yang berasal dari golongan pribumi.


Dalam majalah mahasiswa Wageningen ditulis sebuah kenangan tentang detik-detik terakhir hidup Raden Basoeki yang cukup menyayat hati. Seperti dikutip Poeze: “Di dalam matanya saya baca keinginan yang sangat untuk melihat tanah kelahirannya di selatan yang kaya sinar matahari. Ia hanya bisa menyembuhkan diri di bawah naungan pohon palem dan beringin di tanah airnya yang menyenangkan dan selalu hijau. Terasa oleh saya, untuk dia meninggal begitu jauh dari tanah air, dari orangtua, dari handai taulan itu sungguh mengerikan. Basoeki menderita dengan diam dan tabah, seperti biasa pada orang-orang sebangsanya.”



Penghormatan terhadap sosok Raden Basoeki juga datang dari Abendanon. Dalam majalah Koloniaal Weekblad, sang pejabat Hindia Belanda ini memberi laporan perihal pemakaman almarhum. Ahli hukum Belanda Conrad Theodore van Deventer mendapat kesempatan berbicara saat upacara pemakaman. Ia hadir sebagai ketua Tjandistichting (Perhimpunan Yayasan Tjandi) yang melakukan pengawasan terhadap sejumlah mahasiswa Indonesia, termasuk Raden Basoeki. Van Deventer menyebut kematian Raden Basoeki cukup mendadak karena sembilan hari sebelum kematiannya mereka sempat bertemu dan si mahasiswa terlihat baik.


Raden Mas Ario Soerjo Soebandrio

Raden Mas Ario Soerjo Soebandrio (Repro Di Negeri Penjajah: Orang Indonesia di Negeri Belanda 1600-1950)
Raden Mas Ario Soerjo Soebandrio (Repro Di Negeri Penjajah: Orang Indonesia di Negeri Belanda 1600-1950)

Kematian Raden Mas Ario Soerjo Soebandrio menjadi yang paling mengejutkan. Musibah yang menimpa keluarga Praja Mangkunegaran itu diratapi oleh kaum elit Jawa. Peran Raden Soebandrio begitu diharapkan keluarga Mangkunegaran dalam proses pembangunan Praja Mangkunegaran di wilayah kekuasaannya, Surakarta.


Praja Mangkunegaran sendiri berkuasa di Surakarta sejak 1757 sampai 1946. Kerajaan otonom ini merupakan pecahan dari Dinasti Mataram, yang dikenal sebagai Wangsa Mangkunegaran. Namun praja ini tidak memiliki otoritas sebesar Kesultanan Yogyakarta dan Kesultanan Surakarta. Para penguasa Mangkunegaran bergelar “Pangeran Adipati Arya” karena mereka tidak berhak menyandang gelar “Sunan” atau “Sultan”. Penguasa pertama praja ini adalah Raden Mas Said, dengan gelar Mangkunegara I.


Raden Mas Soebandrio merupakan adik dari Mangkunegara VII, Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Aria. Bastomi S dalam Karya Budaya Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Aryo Mangkunegara I-VIII, menyebut jika putra-putri Mangkunegara V (ayah Raden Mas Soebandrio) berjumlah 28 orang. Mangkunegara VII adalah anak ketujuh, sementara keterangan mengenai urutan ke berapa Raden Mas Soebandrio di dalam persaudaraan yang besar itu tidak dijelaskan.



Kegiatan studi Raden Mas Soebandrio di Belanda tersebut sebenarnya mengikuti jejak kakaknya. Diketahui Mangkunegara VII pernah mengenyam pendidikan di Universitas Leiden, Belanda, selama 3 tahun, sebelum akhirnya kembali ke Mangunegaran untuk menggangikan pamannya, Mangkunegara VI yang mengundurkan diri pada 1916.


Selama berada di Negeri Belanda, Raden Mas Soebandrio tinggal bersama Noto Soeroto, yang kemudian hari dikenal sebagai penyair Jawa pertama yang karya-karyanya dikenal dalam ranah kesusastraan Belanda. Si Penyair mengajarkan banyak hal kepada Raden Mas Soebandrio, utamanya pendalaman bahasa-bahasa Barat yang dikuasainya.


Athanasius Djajeng-Oetama

Nisan Athanasius dan Linus (Repro Di Negeri Penjajah: Orang Indonesia di Negeri Belanda 1600-1950)
Nisan Athanasius dan Linus (Repro Di Negeri Penjajah: Orang Indonesia di Negeri Belanda 1600-1950)

Athanasius Djajeng-Oetama adalah salah satu mahasiswa Indonesia yang menempuh pendidikan keagamaan di Belanda. Ia datang bersama 4 mahasiswa lainnya antara tahun 1916-1920. Mereka dikirim oleh kelompok pater Jesuit yang mendirikan beberapa sekolah di Muntilan, Jawa Tengah. Melalui sekolah-sekolah inilah, agama Katholik tersebar. Banyak murid yang diarahkan untuk menjadi pendeta. Sehingga pendidikan Katolik-Roma di Belanda penting untuk diikuti.


Athanasius merupakan orang beruntung yang berkesempatan menimba ilmu keagamaan di Belanda. Namun takdir memaksa Athanasius melupakan cita-citanya menjadi pendeta. Ia wafat sebelum dapat menyelesaikan pendidikannya. Mahasiswa ini meninggal dunia pada Maret 1918 setelah berjuang melawan suatu penyakit ganas selama beberapa minggu. Tidak ada informasi tentang jenis penyakit apa yang diderita Athanasius. Meski begitu perjuangannya tergambar jelas di dalam Majalah St. Claverbond tahun 1918.


Hari-hari terakhir Athanasius dihabiskan dengan berdoa bersama para pendeta dan suster yang merawatnya di gereja. Ia telah berjuang melawan penyakitnya. Namun kondisinya terus menurun dan tidak ada dokter yang mampu menyembuhkannya. Para pendeta pun sudah melakukan kebaktian terakhir baginya.



“Sama sekali tidak dibesar-besarkan, bahwa meninggalnya Athanasius dirasakan sekali oleh semua orang di sekitarnya. Mereka merasakan betapa indah dapat dimakamkan bersama dia,” ditulis majalah St. Claverbond.


Athanasius memang dikenal memiliki kepribadian yang baik. Ia pintar dan mudah untuk bergaul. Karenanya banyak orang yang merasa kehilangan sosok pemuda Jawa yang baik hati ini. Pemakaman Athanasius dilangsungkan di taman pemakaman di Noviciaat di Mariendaal. Upacara pelepasan dilakukan langsung oleh Kepala Biara. Keluarganya dari Jawa turut hadir. Kawan-kawan sesama mahasiswa di Belanda pun banyak yang menghadiri pelepasan Athanasius.


Linus Sardal Pontja-Soevonda

Sama seperti Athanasius, Linus Sardal Pontja-Soevonda juga terdaftar sebagai mahasiswa keagamaan di Belanda. Linus datang bersama rombongan calon pendeta Jawa antara tahun 1916-1920. Nasibnya sama-sama kurang beruntung seperti Athanasius. Ia meninggal dunia pada April 1920 akibat penyakit TBC.


Linus telah berkali-kali terhindar dari kematian. Secara medis hidup Linus seharusnya sudah berakhir sejak 1919. Namun ia mampu bertahan. Diketahui para pendeta telah melakukan tiga kali pembacaan doa terakhir untuknya –berarti tiga kali pula Linus terhindar dari kematiannya. Setiap kali Linus terhindar dari kematian, kondisi fisiknya ikut kembali prima. Ia bahkan tidak terlihat seperti orang yang baru saja sakit.


Namun pada Maret 1920, kondisi Linus benar-benar kritis. Setiap orang yang melihatnya berharap kematian kembali menghindari Linus. Tetapi tubuhnya sudah tidak dapat menahan penderitaannya. 6 April 1920 semua kerabat telah berkumpul. Hari berikutnya Linus pergi untuk selamanya. Ia lalu dimakamkan di pemakaman Noviciaat Sarikat Jesus.


“Kalau Linus sudah di surga, Linus akan mengkristenkan seluruh Jawa,” ucap pendeta yang mempin upacara pemakaman.


Kematian Athanasius dan Linus sempat membuat gempar. Banyak calon pendeta dari Jawa yang akhirnya enggan pergi menuntut ilmu ke Belanda. Mereka takut kejadian kedua pendahulunya itu menimpa mereka. Namun tahun-tahun setelahnya, keadaan kembali normal. Banyak calon pendeta yang kembali pergi ke Belanda.


Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian
Hind Rajab dan Keheningan yang Memekakkan Telinga

Hind Rajab dan Keheningan yang Memekakkan Telinga

Film “The Voice of Hind Rajab” jadi antidot amnesia kisah bocah Gaza yang dibantai Israel dengan 335 peluru. PBB menyertakan tragedinya sebagai bagian dari genosida.
Orde Baru “Memfitnah” Orang Dayak

Orde Baru “Memfitnah” Orang Dayak

Dulu, orang Dayak dituduh pembakar hutan yang lebih berbahaya dari industri. Padahal, tidak banyak lahan hutan alam Kalimantan yang mereka gunduli.
Arsip Korupsi Sejak Zaman Kompeni

Arsip Korupsi Sejak Zaman Kompeni

Korupsi sejak masa VOC hingga kolonial Belanda terekam dalam arsip. Korupsi akan terus ada karena berkaitan dengan kekuasaan, kewenangan, dan keserakahan manusia.
Ziarah Sejarah ke Petamburan (1)

Ziarah Sejarah ke Petamburan (1)

Dari pelatih sepakbola Timnas Indonesia Toni Pogacnik hingga pembalap Hengky Iriawan. Sejumlah pahlawan olahraga yang mewarnai sejarah Indonesia dimakamkan di TPU Petamburan.
Foto "Gadis Napalm" yang Kontroversial

Foto "Gadis Napalm" yang Kontroversial

Cerita di balik potret bocah-bocah yang menangis histeris saat terjadi serangan napalm di Perang Vietnam. Kini atribusi fotonya jadi polemik.
bottom of page