- Amanda Rachmadita
- 16 Mei
- 4 menit membaca
MARTADINATA Haryono yang lebih dikenal dengan nama Ita Martadinata tewas di rumahnya pada 9 Oktober 1998, beberapa hari sebelum terbang ke Amerika Serikat untuk memberikan kesaksian di hadapan kelompok pembela hak asasi manusia internasional. Gadis berusia 18 tahun itu dibunuh karena aktif sebagai relawan yang membantu korban pemerkosaan dan kekerasan seksual dalam kerusuhan Mei 1998.
Tempo, 19 Oktober 1998, melaporkan, siswi sekolah menengah atas itu tewas akibat tebasan senjata tajam. Beberapa tusukan ditemukan di bagian dada, perut, dan ulu hati. Sedangkan tangannya, yang memegang kabel, lecet-lecet. Sementara itu, kamar Ita, tempat korban ditemukan tewas bersimbah darah, tak terlihat berantakan.
Berita kematian Ita tersebar luas. Kepala Direktorat Reserse Polda Metro Jaya, Kolonel Gories Mere, datang ke tempat pengambilan visum korban di bagian forensik Universitas Indonesia. Puluhan polisi termasuk anjing pelacak dikerahkan ke lokasi kejadian untuk menyelidiki pembunuhan tersebut.
Belum reda syok keluarga dan rekan-rekannya dari tragedi memilukan yang merenggut nyawa Ita, hasil otopsi yang diumumkan kepada publik semakin membuat syok. Sebab, Ita dituding sebagai pengguna obat-obatan terlarang. Seorang psikolog juga menuduhnya sebagai pekerja seks mengacu pada bekas luka di bagian vital korban.
“Tuduhan mengejutkan ini ditepis orang-orang terdekat Ita. Menurut teman baiknya, Emi, korban tidak merokok maupun menggunakan narkotik. Ia pun jarang membicarakan masalah cowok. Hal ini dibenarkan oleh wali kelasnya, Yohanes Bandriyaka, dan ibu korban, Wiwin. Gadis berkacamata yang gemar berenang itu disebut lebih senang mengurung diri di kamarnya, membaca komik. Sang ibu menduga aktivitas Ita di Tim Relawan, yang aktif menangani korban pemerkosaan akibat kerusuhan Mei 1998, sebagai penyebab kematian putrinya,” tulis Tempo.
Tak sampai 12 jam setelah korban ditemukan tewas, pihak kepolisian menggelar konferensi pers. Gories Mere menyebut kematian Ita karena unsur kriminal murni. Ia menepis anggapan tewasnya Ita karena teror yang dialami sejumlah aktivis yang mendampingi dan mengadvokasi korban pemerkosaan dan kekerasan seksual akibat kerusuhan Mei 1998. Tak berselang lama, polisi menangkap seorang pria yang disebut sebagai pembunuh Ita. Pria bernama Suryadi alias Bram alias Otong itu merupakan tetangga korban. Dalam pengakuannya kepada wartawan, Suryadi mengaku membunuh Ita karena kepergok saat hendak mencuri.
Dewi Anggraeni menulis dalam Tragedi Mei 1998 dan Lahirnya Komnas Perempuan, Ita adalah korban pemerkosaan yang berhasil merajut kembali sebagian jati dirinya, dan bersama ibunya bergabung dengan Tim Relawan untuk Kemanusiaan (TruK) untuk membantu para korban yang mengalami gangguan mental dan kejiwaan yang lebih parah. Tak hanya itu, Ita bahkan bersedia memberi kesaksiannya di hadapan beberapa kelompok internasional pembela hak asasi manusia di Amerika Serikat, di mana ia akan berangkat bersama rombongan yang dipimpin Karlina Supeli.
Ketika kabar rencana keberangkatan Ita menyebar di masyarakat, ancaman terhadap para aktivis TRuK semakin gencar. Mereka kemudian memutuskan berbicara kepada media tentang berbagai ancaman yang diterima selama ini. “Besar kemungkinan para aktivis itu berpandangan dengan mengungkapkan beragam ancaman tersebut kepada publik, pihak yang melakukan pengancaman itu akan berhenti melakukan aksi teror,” tulis Anggraeni.
Alih-alih berhenti, teror kepada para aktivis justru merenggut nyawa Ita. Tiga hari setelah menggelar jumpa media, Ita tewas dibunuh.
Menurut Ariel Heryanto, dalam “Rape, Race, and Reporting”, termuat di Reformasi: Crisis and Change in Indonesia, hal ini membuat banyak aktivis yakin bahwa kematian Ita telah direncanakan dan bermotif politik.
“Pembunuhan ini merupakan pembalasan atas apa yang dilakukan Martadinata dalam kampanye anti-pemerkosaan di masa lalu, untuk mencegahnya memberikan kesaksian di masa mendatang, dan yang lebih penting lagi untuk mengintimidasi para aktivis sukarelawan lainnya... Di lain pihak, kepala kepolisian yang menyatakan pembunuhan Ita murni kriminal menanggapi ketidakpercayaan publik dengan mengumumkan niatnya untuk menuntut siapa pun yang menentangnya dan ‘mempolitisasi’ pembunuhan tersebut,” tulis Heryanto.
Selain Ita, ancaman juga diterima dokter Lie Dharmawan yang memberikan bantuan medis dan merawat korban kerusuhan Mei 1998. Beberapa kali dia menerima panggilan telepon dari orang tak dikenal yang mengancam dirinya dan keluarganya. Hal serupa dialami aktivis Ita Fatia Nadia yang pernah menjabat direktur Yayasan Kalyanamitra. Anaknya pernah didatangi orang asing yang hendak menjemputnya pulang dari sekolah.
“Suatu sore, ada seseorang yang datang menjemput anak Ita di sekolah. Dia mendekati si anak, dan mengatakan bahwa ibunya meminta dia menjemputnya. Anak Ita sendiri biasanya pergi dan pulang sekolah naik bus sekolah khusus. Untung anak ini punya naluri tajam. Dia menolak, karena belum kenal orang tersebut. Ketika orang itu mulai memaksa, si anak berseru memanggil gurunya, yang datang memburu dan meraihnya dari pegangan orang yang tak dikenal itu. Melihat gelagat tidak baik, orang itu pun segera hengkang,” tulis Anggraeni.
Di samping mendapat ancaman dan teror, para relawan juga mendapat tantangan dari sejumlah kalangan yang mengkritisi dan mencurigai laporan mereka mengenai korban, khususnya korban pemerkosaan. Pihak-pihak tersebut meminta para aktivis untuk mengidentifikasi para korban dan meminta mereka memberikan kesaksian secara terbuka.
Kematian Ita memberikan dampak besar terhadap proses advokasi korban pemerkosaan dan kekerasan seksual dalam kerusuhan Mei 1998. Jemma Purdey menulis dalam Anti-Chinese Violence in Indonesia, 1996-1999, pembunuhan gadis muda itu membuat para aktivis lebih berhati-hati dalam memberikan komentar, dan lebih memilih untuk melakukan pendekatan yang tenang dalam membantu para korban dan keluarganya.
Di sisi lain, nasib nahas yang menimpa Ita semakin membuat para korban bungkam dan menutup diri. Rasa sakit, perasaan malu, dan pengabaian laporan relawan terkait jumlah korban maupun kebenaran atas kejadian pemerkosaan perempuan di tengah kerusuhan Mei 1998, berdampak pada tergerusnya kepercayaan korban terhadap sejumlah pihak.
“Tanggapan masyarakat dan pemerintah Indonesia terhadap para korban kekerasan menunjukkan adanya prasangka yang masih tersisa terhadap orang-orang dari kategori sosial lain. Mereka dipinggirkan sejak awal dan kisah-kisah mereka, yang memiliki potensi untuk mengungkapkan secara manusiawi akibat dari kekerasan, tenggelam dalam perdebatan mengenai angka dan semantik... Para korban, terutama mereka yang menjadi sasaran pemerkosaan dan kekerasan seksual, distigmatisasi dan dipinggirkan... Konstruksi sosial yang didasarkan pada maskulinitas, kesucian tubuh perempuan, dan kewarganegaraan Indonesia terus mendominasi pemahaman para korban dan pelaku, bahkan setelah rezim Orde Baru telah runtuh,” tulis Purdey.*
Comments