top of page

Sejarah Indonesia

Ketika Hatta Merayakan Natal Di Jerman

Ketika Hatta Merayakan Natal di Jerman

Bersama sebuah keluarga, Mohammad Hatta ikut menyemarakkan Natal di Jerman. Masa-masa penuh kecerian
mahasiswa asal Hindia Belanda itu.

25 Desember 2020

Dengarkan artikel

bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Bung Hatta bersama seorang gadis kecil di Belanda. (Nationaal Archief).

JERMAN, Pekan Natal 1921. Seluruh daratan telah memutih. Jalanan dan atap-atap bangunan tampak ditutupi oleh lapisan salju. Asap pun mulai membumbung dari rumah-rumah. Di tengah udara menggigit itu Mohammad Hatta dan Dahlan Abdullah berjalan. Menyusuri jalan utama dengan pakaian musim dinginnya. Meski telah tiga bulan di Eropa, keduanya tetap belum terbiasa dengan udara di sana. Terlebih Natal tahun itu menjadi perayaan musim dingin pertama mereka di Benua Biru.


Kedatangannya ke Jerman bukan sebagai warga koloni Hindia Belanda. Melainkan pelajar dari Belanda. Kala itu Hatta sedang menempuh pendidikan Ekonomi di Handels Hogeschool, Belanda. Pada Desember 1921, ia mendapat jatah libur tahunan, menyambut Natal dan Tahun Baru, selama lebih dari tiga minggu. Kesempatan tersebut ia manfaatkan untuk mengenal negeri-negeri di Eropa. Lalu atas usulan Dahlan, keduanya sepakat berkeliling Jerman dan Eropa Tengah. Mereka berencana menghabiskan waktu seminggu di sana.


Hatta memulai perjalannya pada 20 Desember, dengan perkiraan kembali ke Belanda tanggal 27 Desember. Ia berangkat dengan kereta api dari Den Haag menuju Hamburg. Turun di stasiun, Hatta lalu berkeliling ke Berlin, Praha, Wina, dan Munchen. Di masing-masing tempat ditentukan bahwa keduanya akan menetap selama satu atau dua hari.


“Di masa itu aku melihat perbedaan nilai uang yang hebat. Uang Gulden Belanda berbanding dengan Mark Jerman seperti 1 dan 100. Sebelum Perang Dunia I perbandingannya 10 dan 6. Satu Mark nilainya 60 sen Belanda. Jerman mulai dipukul inflasi. Uang Austria inflasinya lebih hebat lagi,” ujar Hatta. Pengalaman itu ia bagikan dalam otobiografinya, Memoir.


Di Jerman, Hatta menemui kenalannya, Tuan Le Febvre, bekas residen di Sumatra Barat yang tinggal di Hamburg setelah pensiun. Sedangkan Dahlan juga mempunyai kenalan di sana, namanya Usman Idris. Kawannya itu berasal dari Bukittinggi. Ia datang ke Nederland setelah PD I, sekira tahun 1919, dan memilih menetap di Jerman setelah kesulitan bertahan hidup di Belanda. Berkat itu, Usman Idris menjadi teman berkeliling Hatta di Jerman.


Selama pergi melancong itu, Hatta menyewa kamar pada Frau Jachnik di Papendamm. Di rumah tersebut terdapat empat kamar dan ditinggali oleh empat orang anggota keluarga. Dua di antaranya disewakan kepada Hatta. Setiap pagi, mereka mendapat sarapan gratis. Menurutnya, biaya hidup di Jerman murah sekali jika dibandingkan dengan Belanda.


“Keluarga itu mempunyai seorang anak laki-laki kecil, berumur kira-kira 4 tahun,” ujar Hatta. “Mereka gembira sekali dan sangat berterima kasih, waktu malam sebelum Natal kami bawakan bagi mereka kue Natal dan untuk anaknya sebuah mainan, pasangan kereta api yang dapat berjalan sendiri atas lingkaran relnya. Supaya dapat berjalan berkeliling pernya diputar dulu.”


Pada perayaan Natal, 25-26 Desember, Hatta banyak menghabiskan waktu di kediaman Le Febvre. Dan berkat keramahan si tuan rumah yang menahan mereka untuk kembali terlalu cepat ke Belanda, rencana berlibur seminggu di Eropa Tengah terpaksa diubah. Hatta dan Dahlan memutuskan menetap lebih lama di Jerman. Setidaknya sampai pergantian tahun. Le Febvre meminta Hatta melihat suasana Natal di Jerman, yang mungkin tidak akan ditemukan di Nederland.


“Lihatlah cara rakyat Jerman merayakan hari-hari Natal dan Tahun Baru. Lucu sekali, sekalipun mereka dalam kesusahan dan kesukaran hidup,” kata Le Febvre.


Dalam kunjungannya ke Jerman itu Hatta tidak lupa mengunjungi sebuah toko buku bernama Otto Meissner. Kecintaannya terhadap buku membuatnya memborong banyak sekali judul dari berbagai penulis terkenal. Ditambah lagi harganya yang amat murah. Bagi orang Jerman mungkin akan terasa mahal, namun berhubung Hatta memakai gulden, harga sudah bukan jadi persoalannya. Sebanyak lebih dari 10 buku ia beli dari sana dan dengan bantuan Universitas Hamburg, buku-buku itu dikirim ke alamat tempat tinggalnya di Rotterdam.


“Selama di Hamburg masih sempat kami pada suatu malam bersama-sama dengan Dr. Eichele dan Usman Idris melihat opera. Sebelum menonton kami makam malam dahulu pada sebuah restoran. Dahlan Abdullah, Dr. Eichele, dan Usman Idris memesan bir untuk minum, aku pesan air es. Setelah selesai makan dan membayar harganya, aku ditertawakan oleh Dahlan Abdullah, bahwa minumanku air es lebih mahal harganya dari bir. Teman yang dua lainnya ikut tertawa,” kata Hatta.*

Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian
Hind Rajab dan Keheningan yang Memekakkan Telinga

Hind Rajab dan Keheningan yang Memekakkan Telinga

Film “The Voice of Hind Rajab” jadi antidot amnesia kisah bocah Gaza yang dibantai Israel dengan 335 peluru. PBB menyertakan tragedinya sebagai bagian dari genosida.
Orde Baru “Memfitnah” Orang Dayak

Orde Baru “Memfitnah” Orang Dayak

Dulu, orang Dayak dituduh pembakar hutan yang lebih berbahaya dari industri. Padahal, tidak banyak lahan hutan alam Kalimantan yang mereka gunduli.
Foto "Gadis Napalm" yang Kontroversial

Foto "Gadis Napalm" yang Kontroversial

Cerita di balik potret bocah-bocah yang menangis histeris saat terjadi serangan napalm di Perang Vietnam. Kini atribusi fotonya jadi polemik.
Anak Tawanan Itu Bernyanyi “Nina Bobo”

Anak Tawanan Itu Bernyanyi “Nina Bobo”

Sukses sebagai penyanyi di Belanda, Anneke Gronloh tak melupakan Indonesia sebagai tempatnya dilahirkan.
Pangku yang Memotret Kehidupan Kaum Pinggiran

Pangku yang Memotret Kehidupan Kaum Pinggiran

Film perdana Reza Rahadian, “Pangku”, tak sekadar merekam kehidupan remang-remang lewat fenomena kopi pangku. Sarat pesan humanis di dalamnya.
bottom of page