top of page

Sejarah Indonesia

Advertisement

Ketika Pangdam Siliwangi Gusar

Bagaimana kisah-kisah lucu berjalan di tengah penumpasan gerakan Darul Islam di Jawa Barat.

Oleh :
9 Okt 2019

Dengarkan artikel

bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Mayjen Ibrahim Adjies dan S.M. Kartosoewirjo. (Koleksi Keluarga Ibrahim Adjie)

TAHUN 1957 adalah masa-masa tersulit bagi militer Indonesia dalam menghadapi gerakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII). Menurut Cornelis van Dijk dalam Darul Islam: Sebuah Pemberontakan, sejak akhir 1956 DI/TII nyaris menguasai wilayah-wilayah di Priangan Timur terutama Tasikmalaya.


“Darul Islam menguasai seperlima wilayah Tasikmalaya: 75 desa dari 201 desa,” ungkap pengamat gerakan DI/TII asal Belanda itu.


Pihak TNI sendiri mengakui dominasi gorombolan (sebutan masyarakat Jawa Barat untuk gerilyawan DI/TII) atas wilayah-wilayah tersebut. Kendati pos-pos prajurit Kodam VI Siliwangi banyak didirikan di seluruh zona merah, namun pada kenyataannya mereka hanya berkuasa di siang hari.


“Tahun 1957 merupakan tahun yang paling sulit bagi anak-anak Siliwangi…” demikian analisa pihak Sedjarah Militer Daerah Militer VI Siliwangi dalam Siliwangi dari Masa ke Masa.


Menurut budayawan Sunda H. Usep Romli H.M., situasi tersebut sempat direkam oleh Kantor Berita Antara dalam buletinnya berjudul “Gerombolan Makin Ganas, Tentara Makin Lalai”. Seorang wartawan dari Sipatahoenan (koran legendaris urang Sunda) kemudian mengalihbahasakan tulisan Antara tersebut secara harfiah ke dalam bahasa Sunda dengan judul ”Gorombolan Beuki Ganas, Tentara Beuki Lalay”.


“Artinya kanjadi lain, kalau dibahasaindonesiakan kurang lebih begini: “Gerombolan Suka Makan Nanas, Tentara Suka Makan Kelelawar,” ujar Usep kepada Historia.


Tentu saja begitu tulisan itu turun, khalayak menjadi kaget sekaligus geli. Namun tidak demikian dengan Panglima Kodam VI Siliwangi Kolonel R.A. Kosasih. Alih-alih ikut merasa lucu dengan tulisan tersebut, dia malah menyatakan kegusarannya atas kecerobohan wartawan Sipatahoenan itu.


“Piraku anak buah aing ngahakan lalay, hah?! Rangsum kejo ge rea keneh, deuleu!” ujar Kosasih. Arti ungkapannya itu kurang lebih begini: Masa iya anak buah saya memakan kelelawar? Ransum nasi saja masih berlimpah kok!


Seiring perkembangan, kemajuan militer Indonesia mulai terlihat sejak 1960, ketika Kodam VI Siliwangi mulai dipegang Mayor Jenderal Ibrahim Adjie. Di bawah jenderal berparas ganteng itu, operasi penumpasan DI/TII berjalan lebih terkonsep dan sistematis. Akibat taktik pagar betis-nya, posisi gerilyawan DI/TII lambat laun terdesak dan akhirnya menyerah kepada pihak militer Indonesia.


Pada 1961, Adjie mengundang semua atase militer asing di Jakarta untuk berkeliling melihat Jawa Barat. Menurut Kikie Adjie, (salah satu putra Ibrahim Adjie), kegiatan itu dilakukan sebagai upaya pembuktian kepada perwakilan negara-negara di dunia bahwa wilayah Jawa Barat sudah aman dari gangguan DI/TII.


Rute perjalanan rombongan panglima dan para atase militer asing itu dimulai dari Bandung lalu ke Pangandaran. Karena jalan yang masih jelek berbatu, hampir sebagian besar anggota rombongan menjadi kelelahan. Karena itu begitu sampai di Kalipucang, Ibrahim memerintahkan rombongan untuk beristirahat sejenak. Nasi rames berbungkus daun pisang lantas dibagikan kepada pengawal dan anggota rombongan termasuk Panglima Kodam VI Siliwangi yang juga mendapat jatah sebungkus.


Acara makan dilakukan secara berjamaah. Tak ada batas antara perwira, bintara, dan tamtama; semuanya menyatu. Saat acara makan baru saja dimulai, Ibrahim iseng menengok bungkus nasi salah seorang prajurit pengawal yang sedang asyik menyantap jatah nasi bungkusnya.


Geuningan sangu maneh mah euweuh dagingan? (Kok nasi bungkus milik kamu tidak ada dagingnya?)," kata panglima.


Menyaksikan hal tersebut, Adjie kemudian menyodorkan jatah nasi bungkusnya kepada prajurit itu: “Ini saja makan sama kamu,” katanya.


Ditawari secara tiba-tiba oleh panglimanya, prajurit itu sigap berdiri menerima nasi bungkus sambil berseru: “Siappp!” lalu ia terbatuk-batuk sambil mulutnya menghamburkan nasi yang sedang dikunyah.


Euh, maneh mah (Halah, kamu ini),” gumam Adjie sambil menyodorkan air minum.


Ajudan panglima yang bernama Kapten Ramdhani setengah memaki berkata kepada prajurit itu: “Maneh mah, ari samutut tong ngajawab! (Kamu ini, kalau mulut lagi penuh makanan ya jangan jawab!). Semua anggota rombongan pun tertawa menyaksikan kejadian itu.


Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian

Advertisement

Tedy Jusuf Jenderal Tionghoa

Tedy Jusuf Jenderal Tionghoa

Tedy masuk militer karena pamannya yang mantan militer Belanda. Karier Tedy di TNI terus menanjak.
Alex Kawilarang Menolak Disebut Pahlawan

Alex Kawilarang Menolak Disebut Pahlawan

Alex Kawilarang turut berjuang dalam Perang Kemerdekaan dan mendirikan pasukan khusus TNI AD. Mantan atasan Soeharto ini menolak disebut pahlawan karena gelar pahlawan disalahgunakan untuk kepentingan dan pencitraan.
Mengakui Tan Malaka Sebagai Bapak Republik Indonesia

Mengakui Tan Malaka Sebagai Bapak Republik Indonesia

Tan Malaka pertama kali menggagas konsep negara Indonesia dalam risalah Naar de Republik Indonesia. Sejarawan mengusulkan agar negara memformalkan gelar Bapak Republik Indonesia kepada Tan Malaka.
Perang Jawa Memicu Kemerdekaan Belgia dari Belanda

Perang Jawa Memicu Kemerdekaan Belgia dari Belanda

Hubungan diplomatik Indonesia dan Belgia secara resmi sudah terjalin sejak 75 tahun silam. Namun, siapa nyana, kemerdekaan Belgia dari Belanda dipicu oleh Perang Jawa.
Prajurit Keraton Ikut PKI

Prajurit Keraton Ikut PKI

Dua anggota legiun Mangkunegaran ikut serta gerakan anti-Belanda. Berujung pembuangan.
bottom of page