top of page

Sejarah Indonesia

Ketika Pejabat Jadi Bulan Bulanan Massa

Ketika Pejabat jadi Bulan-bulanan Massa Rakyat

“Dombreng” bermunculan di tiga daerah Karesidenan Pekalongan sebagai puncak kemarahan rakyat pada elite. Para pejabat jadi sasaran untuk dipermalukan.

5 September 2025

Dengarkan artikel

bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Tokoh-tokoh revolusi sosial di Tiga Daerah di Penjara Wirogunan, Yogyakarta, Desember 1946. (Dok. Anton Lucas).

Diperbarui: 6 Sep

SEJUMLAH anggota DPR RI jadi bulan-bulanan masyarakat akibat pernyataan dan tindakan kontroversial mereka melukai hati yang berujung pada gejolak pada akhir Agustus 2025 lalu. Tak hanya kediaman mereka disatroni dan dijarah massa, mereka juga dipermalukan para warganet di aneka media sosial. 

 

Setidaknya ada lima anggota DPR yang lantas dinonaktifkan partai masing-masing usia gelombang demonstrasi yang berakhir ricuh dengan bentrokan massa demonstran dengan aparat keamanan. Selain Ahmad Sahroni dari Fraksi Partai Nasional Demokrat (NasDem), lainnya adalah Eko Hendro Purnomo alias Eko Patrio, Nafa Urbach, dan Surya Utama (Uya Kuya) dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN), serta Adies Kadir dari Fraksi Partai Golongan Karya (Golkar). 

 

Namun, status itu tidaklah sama dengan pemberhentian karena penonaktifan tak serta-merta menggugurkan secara hukum status mereka sebagai anggota DPR. Ketua Badan Anggaran DPR RI Said Abdullah menyatakan di kompleks DPR/MPR Senin (1/9/2025) kemarin, para anggota DPR nonaktif itu secara teknis masih mendapatkan gaji. 

 

Kendati sudah meminta maaf, mereka tetap tak luput jadi bulan-bulanan warganet. Di media sosial muncul tren warga negara Indonesia (WNI) di luar negeri mencari-cari para anggota DPR yang diduga kabur atau memilih melancong ke Singapura, Australia, China, ataupun Eropa. 

 

Sejumlah video yang viral memperlihatkan massa menggeruduk dan menjarah beberapa kediaman anggota DPR, muncul ledekan-ledekan akan temuan benda-benda yang dianggap konyol. Salah satunya adalah ijazah SMP Ahmad Sahroni dengan deretan nilai di baliknya yang mayoritas mendapat nilai 6 dengan rata-rata nilai 6,8. 

 

Gejolak massa rakyat akibat himpitan ekonomi memang bukan barang baru di negeri yang belum lama merayakan 80 tahun kemerdekaannya ini. Bahkan, beberapa bulan pasca-republik berdiri, revolusi sosial pecah di berbagai daerah. Salah satunya di tiga daerah di Pantura –yakni Brebes, Tegal, Pemalang– yang kondang disebut Peristiwa Tiga Daerah dengan aksi “dombreng”-nya. 

 

Dombreng yang Diprovokasi Para Lenggaong

“Dombreng” berasal dari dua kata bahasa Jawa: Tong dan Breng. Dua kata yang menggambarkan bunyi benda-benda berbahan besi yang dipukul-pukul. Begitu Indonesianis Anton E. Lucas menerangkannya dalam “The Tiga Daerah Affair: Social Revolution or Rebellion?”, salah satu paper penelitian yang termaktub dalam buku Regional Dynamics of the Indonesian Revolution: Unity from Diversity yang disusun Audrey R. Kahin. 

 

“Kena dombreng selama revolusi sosial artinya diarak berkeliling dengan diiringi suara gaduh kaleng-kaleng dan kentongan kayu. Tindakan di wilayah-wilayah pedesaan yang dilakukan terhadap para pejabat yang dibenci, korup, dan penindas, di mana mereka diekspos dan dibuka kedoknya di muka publik dan diarak untuk dipermalukan,” tulis Lucas. 


“Pengertian dombreng lebih merupakan tindakan membuat malu para pejabat yang korup di depan umum daripada suatu tindakan kekerasan. Dalam pengertian lain dombreng diartikan sebagai ritual tentang majikan yang diusir (disepak keluar) oleh abdinya,” kata Lucas dalam buku monumentalnya, One Soul One Struggle: Peristiwa Tiga Daerah.


Itulah yang terjadi di tiga daerah di Karesidenan Pekalongan: Brebes, Tegal, dan Pemalang pada Oktober-Desember 1945. Gejolak itu, lanjut Lucas, berakar dari era kolonial. Tepatnya di masa penerapan Tanam Paksa (cultuurselsel) oleh pemerintah Hindia Belanda pada 1830-1870. 

 

Kala itu, Brebes, Tegal, dan Pemalang dikenal sebagai daerah penghasil gula. Banyak lahan persawahan diubah jadi perkebunan-perkebunan tebu dan pabrik-pabrik gula. Di tiga daerah itu tersebar 17 pabrik gula sebelum Depresi Ekonomi era 1930-an menciutkannya jadi tiga pabrik saja. 

 

“Bagian krusial dari industri gula di Tiga Daerah adalah bantuan para elit pejabat lokal dalam mendapatkan lahan-lahan untuk pabrik gula dan memastikan distribusi irigasi air sebagai prioritas untuk perkebunan-perkebunan tebu,” lanjutnya.


Penduduk amat terdampak oleh industri gula. Banyak dari mereka hidup susah. Kondisi tersebut tetap berlanjut ketika Jepang berkuasa.


“Di masa pendudukan Jepang, tiga wilayah itu juga terdampak kebijakan militernya. Para kepala desa dipaksa Jepang berkolaborasi sebagai tuan tanah, mengambil beras dari para petani untuk memenuhi kuota pengiriman yang ditentukan di tingkat kabupaten sehingga banyak yang kelaparan dan hanya bisa makan bekicot, akar pohon pisang, dan bahkan tak sedikit yang mati tergeletak di jalan-jalan,” tulis Lucas.

 

Para pejabat lokal itu sempat kebingungan ketika proklamasi 17 Agustus 1945 dikumandangkan di Jakarta lantaran pihak Jepang masih bertahan di tiga daerah itu. Baru pada akhir September bendera merah-putih mulai bertebaran di mana-mana seiring pembentukan pemerintahan-pemerintahan daerah baru dan Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) mewakili penyerahan otoritas dari pihak Jepang. 

 

Namun meski Karesidenan Pekalongan jadi karesidenan pertama yang resmi terbebas dari kekuasaan Jepang pada 7 Oktober 1945, esoknya revolusi sosial meletup. Kelompok-kelompok lenggaong (para jago dan bandit) yang mengklaim sebagai republiken menyulut gerakannya dengan mengarahkan massa menyasar sejumlah pejabat lokal. Para jago itu ditakuti rakyat karena dianggap punya kelebihan, entah kharisma atau kekebalan. 

 

“Para lenggaong Tiga Daerah sudah menjadi motif utama pada revolusi di pedesaan pada Oktober 1945, setidaknya dua bulan sebelum kalangan tua digulingkan dan para Pangreh Praja disingkirkan di Priangan. Salah satu pemimpin kelompok (jago) di Desa Cibuyur di Pemalang Selatan adalah Samsuri, anak seorang kiai nujum yang pernah ‘nyantri’ dekat Cirebon. Di masa pendudukan Jepang, ia dipenjara di Nusakambangan tapi kebal terhadap penyiksaan kenpeitai (polisi khusus) Jepang karena punya jimat,” terang Lucas dalam disertasi yang dibukukannya, The Bamboo Spear Pierces the Payung: The Revolution Against the Bureaucratic Elite in the North Central Java in 1945.

 

Nama paling beken kemungkinan dimiliki Syachyani alias “Kutil”. Jagoan di daerah Talang, Tegal ini merupakan tukang pangkas rambut yang menyambi guru agama lalu mendirikan Angkatan Muda Republik Indonesia (AMRI). Menurut Conie Wishnu dan Hari Bagor dalam Jejak-Jejak di Tlatah Teteguall, Kutil muncul sebagai jago yang memimpin sekelompok lenggaong bermodal jimat untuk menakuti masyarakat dan memprovokasi pengepungan para pejabat lokal. 

 

Bara revolusi pun menyebarkan amuk massa di tiga daerah Pantura itu. Banyak kepala desa atau lurah hingga para pegawai mereka disingkirkan lalu di-dombreng. Mereka diarak beserta keluarganya oleh massa. Beberapa bahkan sampai meregang nyawa. 

 

“(Pada) 8 Oktober 1945, lurah desa Cerih didombreng sejauh 15 kilometer. Rabu 10 Oktober camat Adiwerna dibunuh usai berpidato di rapat desa Lemah Duwur, hal ini membuat wedana setempat kabur. Jumat 12 Oktober camat Moga dikepung warga yang hendak mendombreng tetapi berhasil kabur dengan kondisi luka-luka,” urai Conie dan Hari. 

 

Pejabat setingkat bupati pun tak dikecualikan. Pada 19 Oktober 1945, Bupati Pemalang Raden Tumenggung Aryo Rahardjo Soero Adi Koesoemo menjadi korbannya. Namun, kata Lucas, dia berhasil kabur dan disembunyikan.

 

Tak hanya para pejabat lokal, kalangan Tionghoa dan Indo-Eropa juga jadi sasaran penyerangan di Brebes. Bahkan, Bupati Brebes Sarimin Reksodihardjo beserta jajarannya juga diculik massa, didombreng, lalu ditahan selama dua bulan. 

 

“Bupati Brebes, Sarimin, diculik tetapi tidak dibunuh. Ia dihina dengan mengaraknya telanjang keliling kota dan kemudian diberi karung sebagai pakaian,” tulis Aboe Bakar Lubis dalam Kilas Balik Revolusi: Kenangan, Pelaku, dan Saksi.

 

Di Tegal, Raden Ayu (RA) Kardinah, yang merupakan adik tokoh perempuan Raden Ajeng Kartini dan mertua Bupati Tegal R. Slamet Soenarjo, turut jadi korban meski dia sudah bersumbangsih dengan mendirikan sekolah keputrian, rumah yatim piatu putri, hingga Balai Pengobatan (kini RSUD Kardinah Tegal). Rumah Kardinah digeruduk lalu diobrak-abrik massa. Karena sang bupati tak ada di kediamannya, Kardinah dan putrinya (istri bupati) dijadikan sasaran didombreng. Mereka dipaksa berganti pakaian karung goni sebelum diarak keliling kota. Keduanya lantas diangkut dengan truk untuk ditahan selama sepekan di rumah wedana Adiwerna. 

 

“Pada akhirnya, aksi-aksi para lenggaong berhasil ditumpas oleh TKR Resimen XVII dengan Wadyono sebagai komandan, dan anggota lenggaong dikirim ke Penjara Wirogunan, Yogyakarta. Kutil (Syakyani) yang terafiliasi dengan gerakan komunis dijatuhi dengan hukuman mati oleh Pengadilan Pekalongan dan sebagai terpidana mati pertama di era setelah Indonesia merdeka,” tandas Conie dan Hari. 



Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian
Hind Rajab dan Keheningan yang Memekakkan Telinga

Hind Rajab dan Keheningan yang Memekakkan Telinga

Film “The Voice of Hind Rajab” jadi antidot amnesia kisah bocah Gaza yang dibantai Israel dengan 335 peluru. PBB menyertakan tragedinya sebagai bagian dari genosida.
Orde Baru “Memfitnah” Orang Dayak

Orde Baru “Memfitnah” Orang Dayak

Dulu, orang Dayak dituduh pembakar hutan yang lebih berbahaya dari industri. Padahal, tidak banyak lahan hutan alam Kalimantan yang mereka gunduli.
Arsip Korupsi Sejak Zaman Kompeni

Arsip Korupsi Sejak Zaman Kompeni

Korupsi sejak masa VOC hingga kolonial Belanda terekam dalam arsip. Korupsi akan terus ada karena berkaitan dengan kekuasaan, kewenangan, dan keserakahan manusia.
Ziarah Sejarah ke Petamburan (1)

Ziarah Sejarah ke Petamburan (1)

Dari pelatih sepakbola Timnas Indonesia Toni Pogacnik hingga pembalap Hengky Iriawan. Sejumlah pahlawan olahraga yang mewarnai sejarah Indonesia dimakamkan di TPU Petamburan.
Foto "Gadis Napalm" yang Kontroversial

Foto "Gadis Napalm" yang Kontroversial

Cerita di balik potret bocah-bocah yang menangis histeris saat terjadi serangan napalm di Perang Vietnam. Kini atribusi fotonya jadi polemik.
bottom of page