top of page

Sejarah Indonesia

Kompak Unjuk Aksi Solidaritas Ham Di Podium Olimpiade

Kompak Unjuk Aksi Solidaritas HAM di Podium Olimpiade

Tidak hanya dalam menyuarakan HAM, ketiga pelari peraih medali Olimpiade 1968 juga “kompak” menerima konsekuensi pahitnya.

16 Oktober 2024

Dengarkan artikel

bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Ki-ka: Peter George Norman, Tommie C. Smith, John Wesley Carlos (worldathletics.org/roots-101.org)

PEMANDANGAN berbeda terjadi di Olympic Stadium, Mexico City, 16 Oktober 1968 malam, pasca-pengalungan medali cabang lari 200 meter putra. Bukannya ikut menyanyikan lagu kebangsaan dengan khidmat, atlet atletik Amerika Serikat Tommie Smith dan John Carlos justru menunduk sembari mengangkat tangan terkepal ke atas sebagai simbol salam “Black Power”.


Di pagi 16 Oktober 1968, Smith memenangi medali emas Olimpiade Meksiko 1968 dengan catatan waktu tercepat yang saat itu juga jadi rekor dunia, 19,83 detik. Menyusul di belakangnya Peter Norman asal Australia yang meraih perak (20,06 detik). Melengkapi raihan medali nomor 200 meter putra, John Carlos memetik perak (20,10 detik).


“Kebetulan tahun 1968 juga terjadi gejolak global: Eropa diguncang aksi protes pelajar, Perang Vietnam sedang memanas, (aktivis) Martin Luther King dan (politisi) Robert Kennedy dibunuh dan Uni Soviet menginvasi Cekoslovakia. Tommie Smith dan John Carlos yang finis pertama dan ketiga memamerkan salam Black Power saat lagu kebangaan Amerika didengungkan sebagai protes terhadap rasisme tapi bab momen ini sempat terhapus dalam sejarah,” tulis John Horner dan Garry Whannel dalam Understanding the Olympics.



Rupanya itu bukan aksi spontan semata. Sedari awal, Smith dan Carlos sudah berniat ingin menyuarakan derita kaum kulit hitam Amerika sebagai dampak diskriminasi rasial dengan slogan-slogan khas Black Power atau gerakan politis menentukan nasib sendiri bagi komunitas kulit hitam dan kalangan kelas pekerja.


“Gestur itu sebenarnya bukan sekadar salut Black Power tapi juga salut untuk hak asasi manusia,” terang Smith dalam otobiografinya yang dituliskan bersama Delois Smith dan David Steele, Silent Gesture.


Pun juga Norman. Ia sengaja mengenakan jaket dengan badge organisasi HAM, Olympic Project for Human Rights (OPHR), untuk mengadvokasi aksi protesnya terhadap “White Australian Policy”, kebijakan anti-imigrasi non-kulit putih pemerintah federal Australia.


Momen Tommie Smith (kanan) memenangi race 200 meter putra di Meksiko 1968 (Sports Illustrated)
Momen Tommie Smith (kanan) memenangi race 200 meter putra di Meksiko 1968 (Sports Illustrated)

Kompak dalam Aksi, Kompak Terdampak Konsekuensi

Selain sempat direcoki aksi protes mahasiswa dan pelajar Meksiko, Olimpiade 1968 juga ramai dengan seruan boikot dari OPHR. Organisasi HAM yang diprakarsai aktivis dan sosiolog Harry Edwards itu menyuarakan para atlet kulit hitam memboikot olimpiade musim panas ke-19 itu sebagai protesnya terhadap Presiden IOC  Avery Brundage yang dianggap rasis dan antisemit.


Kendati seruan OPHR itu gagal, aksi trio peraih podium cabang atletik nomor 200 meter putra di atas terinspirasi gerakan OPHR. Tak ayal ketika dipastikan memenangkan medali menjelang upacara di podium, baik Smith, Carlos, maupun Norman kompak untuk mengenakan jaket dengan badge OPHR.


Mengutip laporan BBC, 17 Oktober 1968, Smith dan Carlos pada dua jam sebelum upacara pengalungan medali meniatkan untuk sama-sama naik ke podium dengan mengenakan syal hitam, sarung tangan hitam, dan tampil tanpa sepatu untuk menunjukkan kaus kaki hitam. Syal hitam menjadi simbol “Black Pride”, sarung tangan hitam sebagai simbol slogan gerakan “Black Power”, dan kaus kaki hitam sebagai simbol kemiskinan kaum kulit hitam.



Carlos sendiri membiarkan jaketnya tak diritsleting untuk menunjukkan solidaritasnya terhadap para buruh dan kalangan kelas pekerja. Ia juga memakai kalung mirip tasbih sebagai simbol para korban penyiksaan dan pembunuhan para budak kulit hitam di masa lalu.


“Kalung ini untuk mereka yang disiksa dan dibunuh, untuk mereka yang dihukum gantung, untuk mereka yang dilempar ke lautan dari kapal-kapal (budak),” kata Carlos, dikutip Lukas Dean dalam kolom di majalah Famous Pictures edisi 11 Februari 2007, “Black Power”.


Namun ketika hendak naik ke podium, Carlos lupa membawa sepasang sarung tangan hitamnya. Maka ketika sudah di podium, Norman mengimbau Smith untuk meminjamkan sebelah sarung tangannya kepada Carlos. Oleh karenanya ketika sudah dikalungkan medali oleh Presiden International Association of Athletics Federation (kini World Athletics) David Cecil dan disusul pengumandangan lagu kebangsaan Amerika “Star Spangled Banner”, Carlos mengangkat kepalan tangan kiri, sementara Smith mengangkat kepalan tangan kanan.


Norman, Carlos, & Smith jelang menuju podium (isoh.org)
Norman, Carlos, & Smith jelang menuju podium (isoh.org)

Aksi Smith dan Carlos yang menunduk dan mengepalkan tangan ketika dikumandangkannya “Star Spangled Banner” sempat mengundang cemoohan beberapa penonton. Namun mereka peduli setan dan menganggap itu hak mereka mengadvokasi solidaritas HAM.


“Jika saya menang maka saya dianggap orang Amerika, bukan orang Amerika kulit hitam. Tapi jika saya melakukan hal buruk maka mereka akan mengatakan saya seorang ‘Negro’. Kami orang kulit hitam dan kami bangga untuk itu. (Kalangan) kulit hitam Amerika akan mengerti apa yang kami lakukan malam ini,’ jelas Smith pada konferensi pers pasca-pengalungan medali,” dikutip Jerome Teelucksingh dalam Civil Rights in America and the Caribbean, 1950s-2010s.


Baik tim atletik maupun Komite Olimpiade Amerika USOC paham dan bersimpati terhadap aksi ketiganya. Tapi tidak bagi IOC. Maka ketiganya pun menghadapi konsekuensi pahit.



Murry R. Nelson dalam American Sports: A History of Icons, Idols, and Ideas menyebut, Smith dan Carlos menerima sanksi larangan berada di kampung atlet sepanjang penyelenggaraan olimpiade IOC. Alasannya, aksi keduanya merupakan pernyataan politik domestik. USOC sempat memprotes tapi karena diancam sanksi untuk keseluruhan kontingen Amerika, USOC terpaksa membuat pernyataan permintaan maaf. 


Status Smith dan Carlos sebagai peraih medali memang tidak dicabut. Namun mereka terpaksa dipulangkan tanpa pawai medali di Amerika.


Konsekuensi lainnya adalah ketika sudah pulang ke Amerika, Smith dan Carlos tidak hanya “dilabeli” subversif oleh IOC tapi juga jadi bulan-bulanan kritik media massa hingga membuat mereka kesulitan mendapat pekerjaan pasca-olimpiade.


Momen pengalungan medali oleh Presiden IAAF David Cecil (Angelo Cozzi/Wikimedia)
Momen pengalungan medali oleh Presiden IAAF David Cecil (Angelo Cozzi/Wikimedia)

Tetapi beberapa atlet lain tetap menunjukkan empati dan dukungan terhadap Smith dan Carlos. Pelari Lee Evans bersama tim putra Amerika yang menang medali emas nomor 4x400 meter relay mengangkat tangan terkepal sebelum dan sesudah lagu kebangsaan Amerika dimainkan. Tim atletik putri Amerika juga mendedikasikan medali-medali mereka untuk Smith dan Carlos. Sedangkan tim atletik putra dan putri Kuba juga mempersembahkan medali-medali mereka untuk para pemimpin aktivis kulit hitam sebagai bentuk solidaritas kepada Smith dan Carlos.  


Hal berbeda dialami Norman. Jika Smith dan Carlos dibela USOC, Norman kemudian justru dikucilkan Komite Olimpiade Australia (AOC). Hidupnya menjadi pahit karena sejak saat itu Norman “di-persona non grata-kan” AOC. Akibatnya ia tak diikutsertakan kontingen Australia ke Olimpiade Munich 1972, kendati ia meraih perunggu di Kejurnas Atletik Australia 1972

Alhasil ia memilih beralih cabang, sebagaimana kedua sahabatnya dari Amerika di atas. Jika Smith dan Carlos beralih ke NFL (American Football), pada 1972 Norman beralih olahraga ke rugby. Ketiganya tetap bersahabat hingga Norman wafat pada 3 Oktober 2006 di Melbourne, di mana Smith dan Carlos menjadi pengusung jenazahnya.





Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian
Pesta Panen dengan Ulos Sadum dan Tumtuman

Pesta Panen dengan Ulos Sadum dan Tumtuman

Kedua jenis ulos ini biasa digunakan dalam pesta sukacita orang Batak. Sadum untuk perempuan dan Tumtuman bagi laki-laki.
Hind Rajab dan Keheningan yang Memekakkan Telinga

Hind Rajab dan Keheningan yang Memekakkan Telinga

Film “The Voice of Hind Rajab” jadi antidot amnesia kisah bocah Gaza yang dibantai Israel dengan 335 peluru. PBB menyertakan tragedinya sebagai bagian dari genosida.
S.K. Trimurti Murid Politik Bung Karno

S.K. Trimurti Murid Politik Bung Karno

Sebagai murid, S.K. Trimurti tak selalu sejalan dengan guru politiknya. Dia menentang Sukarno kawin lagi dan menolak tawaran menteri. Namun, Sukarno tetap memujinya dan memberinya penghargaan.
Orde Baru “Memfitnah” Orang Dayak

Orde Baru “Memfitnah” Orang Dayak

Dulu, orang Dayak dituduh pembakar hutan yang lebih berbahaya dari industri. Padahal, tidak banyak lahan hutan alam Kalimantan yang mereka gunduli.
Arsip Korupsi Sejak Zaman Kompeni

Arsip Korupsi Sejak Zaman Kompeni

Korupsi sejak masa VOC hingga kolonial Belanda terekam dalam arsip. Korupsi akan terus ada karena berkaitan dengan kekuasaan, kewenangan, dan keserakahan manusia.
bottom of page