top of page

Sejarah Indonesia

Kudeta Diam Diam Sutan

Kudeta Diam-diam Sutan Sjahrir

Sutan Sjahrir gencar mengkritik kabinet presidensial yang dibentuk Presiden Sukarno. Sempat menolak tawaran Sukarno, Sjahrir kemudian terpilih menjadi ketua KNIP sekaligus Badan Pekerja KNIP yang membawanya menjadi perdana menteri pertama. Langkah Sjahrir disebut kudeta diam-diam.

23 Juni 2025
bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Suasana pembentukan kabinet perdana menteri di bawah pimpinan Sutan Sjahrir yang dipimpin oleh Presiden Sukarno pada 14 November 1945. (Indonesian Press Photo Service via Wikimedia Commons).

DI awal kemerdekaan Indonesia, Sutan Sjahrir menjadi tokoh utama yang menyuarakan ketidakpuasan terhadap kabinet presidensial yang dibentuk Presiden Sukarno. Kritik diarahkan pada usia dan pengalaman para tokoh nasionalis yang menjabat menteri di kabinet tersebut. Pengalaman yang dimaksud Sjahrir adalah peran tokoh-tokoh itu di masa pendudukan Jepang, yang sebagian besar bekerja di lembaga-lembaga bentukan Jepang.


Melalui pamflet politik, Perjuangan Kita, Sjahrir menyerang mereka yang bekerjasama dengan Jepang. Kritik tajamnya tidak diarahkan kepada “orang biasa yang bekerja untuk Jepang hanya untuk mencari nafkah sehari-hari”, tetapi kepada mereka yang bekerja di organisasi propaganda Jepang, polisi rahasia, dan kolom kelima Jepang secara umum. Orang-orang ini, menurut Sjahrir, telah bersalah karena mengkhianati perjuangan dan revolusi rakyat.


Sjahrir juga mengkritik sikap tidak terarah dan berpotensi fasis dari kelompok-kelompok pemuda yang tidak memiliki ideologi yang terinformasi. Menurutnya, dampak proklamasi sangat besar bagi masyarakat. Kemerdekaan sebagai wujud kebebasan dari belenggu penjajahan membakar semangat rakyat Indonesia. Akan tetapi, pada saat yang sama, semangat yang membara dari rakyat juga dapat menjadi sumber kekhawatiran. Oleh karena itu, mereka harus diberi pemahaman agar tidak merendahkan diri mereka sendiri.


Menurut Benedict R.O’G. Anderson dalam Java in a Time of Revolution: Occupation and Resistance, 1944-1946, inti dari pamflet Sjahrir adalah daftar kelam dari pendudukan Jepang: kerja paksa, kewajiban menyerahkan beras, ketidakberaturan hukum, dekadensi, dan kekerasan. Namun, pamflet tersebut berfokus pada dua konsekuensi paling berbahaya dari tahun-tahun perang yang menurut Sjahrir paling permanen: pertama, munculnya kelompok nasionalis yang cukup besar yang dianggapnya telah menjual diri kepada Jepang; dan kedua, degradasi jiwa pemuda Indonesia akibat sikap militeris dan fasis yang ditanamkan melalui berbagai organisasi yang didukung Jepang.


“Kemunduran ini telah menyebabkan kejahatan dan terorisme terhadap orang Belanda, Eurasia, dan minoritas Indonesia yang dianggap pro-Belanda, seperti Ambon dan Manado yang beragam Kristen, setelah penyerahan diri Jepang,” tulis Anderson.


Dengan demikian, Sjahrir menyerukan pembersihan total terhadap “elemen kolaborator” dan upaya besar-besaran untuk menanamkan prinsip-prinsip sosialisme humanis dalam pikiran pemuda Indonesia.


Kritik Sjahrir, terutama serangan kepada mereka yang berkolaborasi dengan Jepang, mendapat reaksi keras dari sejumlah pihak. Banyak kaum nasionalis tua tidak dapat memaafkan Sjahrir. Analisis Sjahrir yang tajam dan seringkali kasar terhadap para pemuda, serta kritiknya yang keras terhadap militer melukai banyak pihak pada saat pertempuran di Surabaya tengah memuncak. Akan tetapi, pamflet politik tersebut mendapat dukungan dari pemuda pengkritik pemerintah yang anti-kolaborasi Jepang dan bukan pada kritik pedas Sjahrir terhadap pemudaisme.


Anderson mencatat, bagi Sjahrir, titik awal terjadinya perubahan dalam pemerintahan Indonesia yang baru merdeka berada di tangan Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Sebab, dengan runtuhnya PNI, KNIP adalah satu-satunya lembaga pemerintahan yang berfungsi di mana pemuda dan kelompok bawah tanah memiliki perwakilan yang signifikan, dan melalui KNIP dapat memberikan pengaruh signifikan terhadap kabinet dan presiden.


Selain itu, statusnya cukup ambigu sehingga perubahan dapat dilakukan dalam kekuasaannya yang sebenarnya tanpa melanggar atau membatalkan Konstitusi. Satu-satunya penyebutan KNIP dalam UUD adalah dalam Pasal Empat Peraturan Sementara, yang menyatakan: “Sebelum Majelis Permusyawaratan Rakyat [MPR], Dewan Perwakilan Rakyat [DPR], dan Dewan Pertimbangan Agung [DPA] dibentuk, maka menurut ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang Dasar ini, kekuasaan-kekuasaannya dijalankan oleh presiden dengan bantuan sebuah Komite Nasional.”


Komposisi Komite Nasional ini maupun kewenangannya tidak dijelaskan. Frasa “dengan bantuan” cukup samar untuk menunjukkan hampir semua peran, mulai dari peran dewan penasihat hingga peran majelis yang memiliki kekuasaan legislatif, seperti bagian utama dari UUD yang dibayangkan untuk MPR dan DPR.


“Alasan dari bahasa yang ambigu ini sebagian karena tergesa-gesa, tetapi juga keengganan pada saat itu untuk mengembangkan dan memformalkan badan-badan pemerintahan baru yang jelas-jelas berada di luar struktur negara yang sudah ada sebelum Jepang menyerah,” tulis Anderson.


Berangkat dari hal ini, pada 7 Oktober 1945, Sjahrir melakukan gerakan terbuka yang pertama. Sejumlah anggota KNIP menandatangani petisi yang ditujukan kepada Sukarno dan Hatta yang mendesak agar kata-kata kunci “dengan bantuan” ditafsirkan secara eksplisit untuk memberikan status kepada KNIP sebagai MPR, lembaga konstitusional tertinggi yang bersifat permanen. Sulit untuk menolak usulan ini, khususnya bagi Sukarno, sebab ketika itu banyak yang merasa bahwa tidak adanya lembaga legislatif jenis parlementer membuka peluang bagi republik ini difitnah oleh Belanda. Kendati Konstitusi tidak meniru Jepang, kekuasaan yang sangat luas yang diberikan kepada presiden membuatnya rentan terhadap tuduhan “buatan Jepang”.


Rudolf Mrazek mencatat dalam Sjahrir: Politics and Exile in Indonesia, sebanyak 40 anggota KNIP menandatangani petisi yang dikirimkan kepada Presiden Sukarno pada 7 Oktober 1945. Mereka menuntut perubahan status dewan, di mana, alih-alih hanya menjadi “pembantu” presiden, yang merupakan status yang ada, dewan seharusnya menjadi legislatif dari negara baru; menteri kabinetnya seharusnya bertanggungjawab kepada dewan, bukan kepada presiden.


“Di balik petisi 7 Oktober dilaporkan ada para pemimpin kelompok pemuda seperti Chaerul Saleh, Soekarni, Adam Malik; beberapa politisi senior yang semakin tidak puas dengan kepemimpinan Sukarno juga ikut bergabung. Lulusan Sekolah Hukum Batavia praperang dilaporkan memberikan keahlian hukum untuk mendukung argumen perubahan.... Pada 16 Oktober, sementara Sukarno tidak ada, Hatta, sebagai wakil presiden, menandatangani dokumen Maklumat X,” tulis Mrazek.


Sehari setelah penandatanganan Maklumat X, sebuah Badan Pekerja dibentuk di dalam KNIP yang bertujuan menangani urusan sehari-hari dewan. Sebelum Badan Pekerja dibentuk, Sjahrir sempat menolak tawaran untuk menduduki posisi penting di kabinet Sukarno. Akan tetapi, ketika Badan Pekerja dibentuk pada 17 Oktober 1945, Sjahrir terpilih sebagai ketua badan baru itu bersama Amir Sjarifoeddin sebagai wakil ketua.


“Sisanya adalah rangkaian peristiwa yang hampir dapat diprediksi. Pada 11 November, sebagai ketua Badan Kerja, Sutan Sjahrir ditunjuk sebagai pembentuk kabinet Republik baru. Kabinet itu, sesuai dengan semangat petisi 7 Oktober, akan bertanggungjawab kepada Komite Nasional Indonesia Pusat, dan bukan pada Sukarno, sang presiden. Pada 14 November 1945, Sjahrir, di usia 36 tahun, menjadi perdana menteri,” tulis Mrazek.


Dalam konteks ini, seperti disampaikan Anderson, apa yang disebut oleh lawan-lawan Sjahrir sebagai “kudeta diam-diam” pada November 1945, dalam banyak hal merupakan bagian dari proses umum yang terjadi di seluruh Jawa, di mana struktur kepemimpinan dan otoritas peninggalan zaman Belanda dan Jepang disingkirkan. Proses ini sering disebut demokratisasi, tetapi tidak terlalu berkaitan dengan demokrasi dibandingkan dengan revolusi pemuda.*

1 Comment

Rated 0 out of 5 stars.
No ratings yet

Add a rating
Rated 5 out of 5 stars.

oh gitu ya, baru tau saya

Like
Melawan Lupa Peristiwa Kekerasan Seksual dalam Kerusuhan Mei 1998

Melawan Lupa Peristiwa Kekerasan Seksual dalam Kerusuhan Mei 1998

Selain melakukan upaya melawan lupa terhadap kekerasan seksual dalam kerusuhan Mei 1998, masyarakat juga perlu memastikan bahwa narasi sejarah tidak dijadikan alat untuk melegitimasi kekuasaan.
Senjata Rahasia yang Dikembangkan Amerika Serikat dalam Perang Dunia II

Senjata Rahasia yang Dikembangkan Amerika Serikat dalam Perang Dunia II

Seorang dokter gigi dan ahli bedah memiliki gagasan tidak biasa untuk membalas serangan Jepang atas Pearl Harbor. Menggunakan kelelawar yang membawa bom untuk membakar Jepang.
Ted Lurie, Jurnalis Israel yang Masuk ke Istana Merdeka

Ted Lurie, Jurnalis Israel yang Masuk ke Istana Merdeka

Ted Lurie disebut sebagai orang Israel pertama yang terang-terangan masuk ke Indonesia, bahkan istana kepresidenan. Hampir mengancam hubungan diplomatik Indonesia dengan negara-negara sahabat Timur Tengah.
Ketika Jenderal Purnawirawan Bersuara

Ketika Jenderal Purnawirawan Bersuara

Di masa Orde Baru para jenderal purnawirawan mengajukan pandangan untuk mengoreksi Dwifungsi ABRI. Kini para jenderal purnawirawan bersuara untuk memakzulkan wakil presiden.
Haji Hilal dan Para Pejuang Sulawesi Selatan

Haji Hilal dan Para Pejuang Sulawesi Selatan

Dari menjadikan rumahnya sebagaik pondokan, di masa revolusi Haji Hilal dekat dengan pemuda-pemuda Sulawesi di Yogyakarta. Beberapa di antara mereka kelak jadi orang top.
bottom of page