- Martin Sitompul

- 3 hari yang lalu
- 3 menit membaca
GELAR pahlawan nasional bagi Presiden RI ke-2 Soeharto kian di ambang mata. Pemerintah melalui Kementerian Sosial telah menyerahkan berkas 40 nama calon penerima gelar pahlawan nasional kepada Ketua Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan (GTK). Salah satu nama yang lolos seleksi adalah Soeharto —penguasa Orde Baru selama 32 tahun yang meninggalkan jejak kelam berupa pelanggaran berat HAM, praktik korupsi, kolusi, nepotisme, serta pembungkaman terhadap kebebasan sipil dan politik rakyat Indonesia.
Namun, tak kurang pula seruan yang menolak gelar pahlawan nasional diberikan kepada mantan presiden Soeharto. Menyikapi rencana penganugerahan yang makin santer itu, aliansi masyarakat dalam Gerakan Masyarakat Sipil Adili Soeharto (GEMAS) —yang terdiri dari keluarga korban, penyintas, dan berbagai organisasi masyarakat sipil— menyatakan aksi penolakan. Aksi ini sebagai bentuk penolakan terhadap upaya pemutihan sejarah dan glorifikasi pelaku pelanggaran HAM. Selain itu, sejumlah tokoh juga menyuarakan hal yang sama.
“Jikalau Presiden Soeharto dianugerahkan pahlawan nasional, maka itu adalah pengabaian dan ketidakpekaan yang monumental dari negara ini terhadap pelanggaran hak asasi,” kata Marzuki Darusman, mantan ketua Komnas HAM (1996—1998) dan Jaksa Agung (1999—2001) dalam konferensi pers “Tolak Gelar Pahlawan Nasional Soeharto” di Gedung YLBHI, Menteng, Jakarta Pusat, pada 4 November 2025.
Semakin masifnya wacana gelar pahlawan nasional bagi Soeharto, menurut Marzuki, tak lepas dari manuver politik Menteri Kebudayaan Fadli Zon yang merangkap sebagai ketua Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan. “Tidak bisa dilepaskan bahwa rencana untuk menganugerahkan gelar pahlawan nasional itu terkait dengan upaya proses untuk menulis ulang sejarah Indonesia dalam pengertian versi pemerintah yang terkait juga dengan peranan dari Presiden Soeharto dan tidak terlepas dari hubungan historis maupun pertalian kekerabatan antara Presiden Prabowo Subianto dengan Presiden Soeharto,” ungkapnya.

Aktivis HAM Usman Hamid yang juga direktur Amnesty International Indonesia mengatakan, berbagai peristiwa pelanggaran HAM berat terjadi di bawah kekuasaan Soeharto. Mulai dari pembantaian massal 1965–1966, penembakan misterius (Petrus) 1982–1985, tragedi Tanjung Priok 1984, Talangsari 1989, kekerasan di Aceh, Timor Timur, dan Papua, hingga penghilangan paksa aktivis menjelang kejatuhannya pada 1997–1998. Maka dari itu, mengusulkan Soeharto sebagai pahlawan berarti mengabaikan penderitaan para korban dan keluarga mereka yang sampai saat ini belum mendapatkan keadilan.
“Kami mengecam dan menolak pengusulan Soeharto sebagai pahlawan. Pemerintah harus mengeluarkan Soeharto dari daftar nama-nama yang diusulkan untuk mendapatkan gelar pahlawan nasional. Soeharto tidak layak berada di daftar itu, apalagi diberi gelar pahlawan. Hentikan upaya pemutarbalikkan sejarah ini,” kata Usman.
Utati, mantan anggota Pemuda Rakyat yang menjadi penyintas tragedi 1965 turut buka suara. Selama 11 tahun, Utati meringkuk dalam tahanan rezim Orde Baru di penjara wanita Bukit Duri tanpa melalui proses pengadilan. Setelah keluar dari penjara, Utati tak sepenuhnya bebas. Kehidupannya senantiasa dimata-matai dan dibatasi oleh aparat. Tali kekang negara yang tetap mengikat Utatti itu dikenal dengan istilah “bersih diri” dan “bersih lingkungan” sebagai metode skrining ala Orde Baru terhadap para tahanan politik (tapol).

Tidak hanya Utati, skrining itu juga berdampak terhadap keluarganya, anak-anak, dan cucu, yang ikut dianggap tak “bersih lingkungan”. Mereka tak boleh bekerja sebagai pegawai negeri, maupun instansi pemerintah. Pengalaman menyakitkan terkait stigma seperti itu eksis lintas generasi bahkan hingga saat ini.
“Begitu banyak tekanan pada kami, terus (Soeharto) mau diangkat menjadi pahlawan nasional, itu rasanya kami tidak rela. Saya terutama ya karena saya di sini sebagai korban langsung,” ujar Utati yang kini berusia 80 tahun, “mungkin kalau mau diangkat, ya pahlawan untuk keluarganya sendiri atau pengikut-pengikutnya saja. Kalau kami tetap menolak.”
Sementara itu, sejarawan Asvi Warman Adam menilai pemberian gelar pahlawan nasional bagi Soeharto sepaket dengan penulisan ulang sejarah nasional Indonesia yang diinisisasi Kementerian Kebudayaan belum lama ini. Menurutnya, penyusunan ulang sejarah nasional Indonesia bertujuan untuk memutihkan atau menghilangkan sejarah kekerasan dan pelanggaran HAM berat pada masa lalu, termasuk juga pelanggaran HAM berat pada 1998 di dalam pelajaran sejarah, sekaligus mengangkat Soeharto sebagai pahlawan nasional. Pendapat Asvi ini merujuk dari komposisi penanggungjawab proyek penulisan sejarah dan Dewan Gelar, Tanda, dan Jasa, yang saling terkait.
“Penanggung jawab penulisan sejarah nasional Indonesia yang terdiri dari Menteri Kebudayaan Fadli Zon, ketua editor Prof. Susanto Zuhdi, dan Prof. Agus Mulyana sebagai direktur sejarah dan permuseuman yang sekaligus penanggung jawab proyek penulisan ini di Kementerian Kebudayaan. Dan tiga orang itu, tiga personel yang sama itu mempunyai jabatan juga pada Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan,” jelas Asvi.
Dalam surat pernyataan bersama, Usman Hamid membacakan, “Pemberian anugerah gelar pahlawan nasional kepada Soeharto bukan hanya sebuah pengkhianatan terhadap para korban dan nilai-nilai demokrasi, tetapi juga pengkhianatan terhadap reformasi serta merupakan pengaburan sejarah yang berbahaya bagi generasi muda. Gelar ini hanya layak diberikan kepada mereka yang benar-benar berjuang untuk kemerdekaan, keadilan, kemanusiaan, serta kedaulatan rakyat. Bukan kepada pemimpin yang masa jabatannya diwarnai oleh otoritarianisme dan pelanggaran hak asasi manusia rakyatnya.” Menurut rencana, surat tersebut akan diteruskan kepada Presiden Prabowo Subianto.*













Komentar