top of page

Sejarah Indonesia

Lambatnya Penanganan Pandemi Flu Spanyol Di Hindia Belanda

Lambatnya Penanganan Pandemi Flu Spanyol di Hindia Belanda

Tentang pemerintah yang menyepelekan peringatan pandemi dan kebingungan menghadapinya. Medahulukan kepentingan ekonomi atau mengatasi pandemi.

Oleh :
23 September 2020
bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

...

Pemerintah penting sekali memahami pandemi di masa lalu. Pengalaman menghadapinya dapat dijadikan pelajaran berharga dalam menangani pandemi Covid-19. Khususnya pengalaman ketika pandemi Flu Spanyol melanda dunia termasuk Indonesia ketika berada di bawah pemerintah kolonial Hindia Belanda.


"Banyak yang bisa dipelajari, dampaknya (Flu Spanyol, red.) juga luar biasa. Kalau sudah pernah mengalami, sudah ditulis dengan bagus, banyak sumber yang bisa dipelajari kemudian disebarluaskan, kita tak perlu mulai dari zero.Kita hidup dalam pandemi justru harus takut kalau tidak tahu apa-apa," kata Herawati Supolo Sudoyo, peneliti dari Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, dalam dialog sejarah "Riwayat Pandemi dari Masa ke masa" yang disiarkan langsung di Youtube dan FacebookHistoria.id, Kamis, 24 September 2020.



Hera mengatakan, waktu Flu Spanyol menyerang pada awal abad ke-20, sudah muncul ide dan pemikiran bahwa kerumunan akan menyebarkan penyakit. "Ketika itu pun ada larangan untuk berkumpul," ujar Hera.


Sayangnya, kata sejarawan Ravando Lie, pemerintah Hindia Belanda lambat merespons pandemi Flu Spanyol. Tak ada strategi pencegahan awal yang dilakukan sehingga banyak korban berjatuhan.


"Kasus di Indonesia menurut saya agak sedikit memprihatinkan. Padapelaksanaannya tak ada strategi apapun oleh pemerintah kolonial," ujar Ravando.


Mortalitas Tak Lazim

Ravando menjelaskan, dari seluruh pandemi influenza yang pernah dikenal, Flu Spanyol yang paling terkenal. Dalam waktu singkat, penyakit ini diduga menginfeksi 500juta atau sepertiga populasi dunia. Tingkat kematiannya 20 persen dari total yang terjangkit.


"Untuk ukuran influenza, angka mortalitas (kematian, red.) 20 persen sangat tak lazim. Kalau merujuk pada pandemi influenza sebelumnya, biasanya hanya membunuh 0,2 persen dari total populasi yang terjangkit," kataRavando.


Baca juga: Seabad Flu Spanyol


Ketika pandemi Flu Spanyol terjadi pada 1918–1919, Perang Dunia I tengah berkecamuk. "Diduga dalam waktu empat bulan, penyakit ini lebih membunuh ketimbang black death yangmembunuh korbannya dalam empat tahun," kata Ravando.


Melihat penyebarannya di dunia, Flu Spanyol terbagi menjadi tiga gelombang. Pertama,Maret–Agustus 1918, korbannya masih cenderung sedikit. Kedua, November–Desember 1918,puncak transmisi Flu Spanyol sehingga jumlah korbannya semakin masif.Ketiga, Desember 1918–Februari 1919, pandemi mulai mereda mungkin karena imunitas masyarakat mulai terbentuk.


Perawat sedang menangani pasien Flu Spanyol di Walter Reed Hospital, Washington D.C., Amerika Serikat. (Wikimedia Commons). 
Perawat sedang menangani pasien Flu Spanyol di Walter Reed Hospital, Washington D.C., Amerika Serikat. (Wikimedia Commons). 

ResponsLambat

Pemerintah kolonial Hindia Belanda sempat bersikukuh Flu Spanyol bukan penyakit berbahaya, sehinggatak menyiapkan strategi untuk menghadapinya.


"Kalaupun kemudian merebak para dokter,pemerintah kolonial melihatnya hanya sebagai flu biasa yang dianggap tak berbahaya," kata Ravando.


Kenyataannya koran-koran banyak memberitakanbagaimana pandemi menjangkiti masyarakat di Jawa dan Sumatra. Misalnya, koran Sin Pomelaporkanpenyakit ini meneror Medan dan menyebar ke seluruh Sumatra dan Jawa. Bahkan, diberitakan 60 polisi di Medan terjangkit dan 100 kuli Tionghoa meninggal dunia.



Padahal,konsulat Belanda di Hongkong dan Singapura telah memperingatkan kemungkinan pandemi Flu Spanyol menyerang Hindia Belanda. Pemerintah kolonial pun disarankan untuk memperketat pengawasan di pelabuhan.


"Karena ini jadi tempat turun naik penumpang dan diduga kalau tak diperketat penyakit akan menyebar dengan masif," kata Ravando.


Di wilayah lain, seperti Singapura, pencegahan dimulai dengan penutupan sementara sekolah dan fasilitas umum yang memicu keramaian. Kemudian tenaga medis bergerak. Para dokter menjemput pasien yang terjangkit lalu mengirimnya ke tempat karantina untuk diawasi ketat.



Terlambatnya pemerintah kolonial merespons pandemi membuat masyarakat kebingungan. Tak heran upaya mereka menghindari wabah dengan obat-obatan herbal hingga cara kultural seperti arak-arakan.


"Obat-obatan jadi solusi dan dipromosikan juga oleh koran-koran sezaman. Banyak juga kemudian berita hoaks bermunculan," kata Ravando.


Polisi di Seattle, Amerika Serikat, memakai masker yang dibuat oleh Palang Merah selama pandemi Flu Spanyol, Desember 1918. (Wikimedia Commons).
Polisi di Seattle, Amerika Serikat, memakai masker yang dibuat oleh Palang Merah selama pandemi Flu Spanyol, Desember 1918. (Wikimedia Commons).

Pemerintah kolonial baru melakukan upaya signifikan dengan membentuk Influenza Commissie pada 16 November 1918. Komisi ini bertugasmenginvestigasi akar penyebaran dan gejala dari Flu Spanyol. Kebijakan yang dihasilkan di antaranya imbauan untuk mengenakan masker hingga pendistribusian obat antiinfluenza.


Dibentuk pula Influenza Ordonnantieuntuk mengatur kegiatan di pelabuhan, mulai dari proses naik turun penumpang hingga bongkar muat barang. Bagi pelanggar peraturan dikenakan hukuman denda dan penjara.



Menurut Ravando, rancangan peraturannya sudah diselesaikan oleh Dr. W. Thomas de Vogel dan timnya sejak 1919. Namun,pelaksanaannya menghadapi kendala karena diprotes oleh para pelaku usaha yang mengganggap peraturan itu mematikan bisnis mereka. Akibatnya, peraturan itu baru disahkan pada 1920 ketika korban sudah mencapai 1,5juta jiwa, atau menurut data terbaru korbannya 4,3juta jiwa.


"Di sinilah kebingungan yang dialami pemerintah kolonial," ujar Ravando.



Hingga kini proses memahami pandemi Flu Spanyol belum bisa dibilang tuntas. "Kita perlu memahami epidemiologinya. Ini belum selesai. Jadi, pandemi 1918 itu juga terus dipelajari apa yang terjadi. Virusnya sudah bisa dipelajari sekarang.Lalu karakternya dan pola penyebarannya," kata Hera.


Penyakit menular, kata Hera, bisa dibilang merupakan pendamping setia manusia, termasuk yang terjadi sekarang. Kendati seakan wajar hidup di tengah berbagai penyakit menular, bukan berarti kita membiarkan begitu saja penyakit itu berjangkit hingga menjadi lebih dominan. Kitaharus terus mengenalisi pendamping itu.


"Kita yang mengontrol, bukan mereka," kata Hera. "Yang kita lakukan harusnya berbicara pandemi dulu yang sekarang dan kemungkinan yang akan datang. Belajarlah dari sejarah."

Comments

Rated 0 out of 5 stars.
No ratings yet

Add a rating
Kala Sultan Hamid Dihina Orang Belanda

Kala Sultan Hamid Dihina Orang Belanda

Sebelum jadi sultan Pontianak, Hamid Alkadri sudah perwira KNIL. Sewaktu muda dia pernah diusir dari klub orang Belanda.
Ayub Rais, Pengusaha Bumiputera Penyokong Bung Hatta

Ayub Rais, Pengusaha Bumiputera Penyokong Bung Hatta

Bung Hatta mengenal buku dan studi ke Belanda berkat “diasuh” Ayub Rais, satu dari trio pelopor pengusaha Minang yang menaklukkan Pasar Senen.
Hegemoni Makanan Cepat Saji

Hegemoni Makanan Cepat Saji

Makanan cepat saji tak cuma menawarkan konsep cepat dan terjangkau, tapi juga gengsi dan gaya hidup.
Coklat Sebagai Ransum Tentara di Medan Perang

Coklat Sebagai Ransum Tentara di Medan Perang

Telah sejak lama coklat menjadi bekal para tentara di medan perang. Di masa Perang Dunia II, coklat pernah dijuluki sebagai senjata rahasia Hitler.
Ketika Jenderal Purnawirawan Bersuara

Ketika Jenderal Purnawirawan Bersuara

Di masa Orde Baru para jenderal purnawirawan mengajukan pandangan untuk mengoreksi Dwifungsi ABRI. Kini para jenderal purnawirawan bersuara untuk memakzulkan wakil presiden.
bottom of page