- Petrik Matanasi
- 25 Sep
- 3 menit membaca
Diperbarui: 3 hari yang lalu
POSISI Belanda cukup kuat pada awal 1949. Banyak daerah didudukinya setelah Agresi Militer Belanda Kedua (19 Desember 1948) dilancarkan di Jawa. Negara-negara federal, yang dibentuk untuk mendukung kepentingan Belanda, makin banyak berdiri di Jawa. Di tiap negara federal, Belanda bahkan berusaha membangun batalyon federal yang di antaranya berisi eks pejuang pendukung Republik Indonesia (RI) juga.
Di antara pasukan-pasukan pendukung Belanda itu adalah Korps Tjakra Madoera, yang berpusat di Bondowoso, penghasil kopi dan tanaman komoditas lain di zaman Hindia Belanda. Cukup lama pasukan berlambang “Macan Ketawa” itu berada di daerah Tapal Kuda –meliputi Banyuwangi, Bondowoso, Jember, Lumajang, Pasuruan, Probolinggo, dan Situbondo– di Jawa Timur. Pasukan itu disebar-sebar hingga ke pelosok. De Vrije Pers tanggal 8 April 1949 menyebut, kompi dan peleton Tjakra tersebar di 30 pos di daerah Tapal Kuda. Satu pos dengan pos lain sangat berjauhan.
Bondowoso yang kini dijuluki “Bumi Tape” itu merupakan ibukota Negara Jawa Timur, salah satu negara federal yang didukung Belanda. Negara Jawa Timur lahir berdasar resolusi Konferensi Djawa Timoer di Bondowoso, 23 November 1948. Bertindak sebagai walinegara adalah Raden Tumenggung Achmad Kusumonegoro. Wilayah Negara Jawa Timur meliputi Jawa Timur minus Madura. Madura tidak termasuk karena punya Negara Madura, yang juga berdiri sekitar tahun itu.
Pasukan Tjakra Madoera jadi andalan Belanda dan para federalis di Jawa Timur. Reputasinya cukup baik bagi mereka. De Vrije Pers tanggal 8 April 1949 menyebut, pembelotan atau desersi belum pernah ada dalam pasukan berkekuatan 2000 personel ini.
Secara teknis militer, Tjakra Madoera punya reputasi tangguh. Ia mampu bergerak di perbukitan dalam melawan pasukan Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang bertahan di perbukitan Tapal Kuda.
Meski jaya di Tapal Kuda, Korps Tjakra Madura di Pulau Madura sendiri justru tak berjaya. Nieuwe Courant edisi 3 Juni 1947 memberitakan, pasukan Tjakra Madoera ”tidak memiliki pengaruh apa pun di antara orang-orang Madura.”.
Oleh karenanya, Belanda berencana mendaratkan Tjakra Madoera di Madura. Namun rencana itu urung diwujudkan lantaran pasukan itu akan disambut hujan peluru dari rakyat Madura begitu mendarat. Tjakra Madoera akhirnya ditugaskan ke Tapal Kuda.
Tentu saja kegagalan penugasan ke Madura menimbulkan rasa penasaran bagi banyak prajurit Tjakra Madoera. Mereka mendambakan kemenangan begitu pasukannya mendarat di Madura seperti yang mereka alami di Tapal Kuda.
“Kalau aman di Jawa Timur, kembali ke Madura,” begitu semboyan yang tumbuh dalam benak para prajurit pasukan itu, seperti dicatat Nieuwe Courant tanggal 9 Juli 1949.
Namun, angan-angan itu baru terjadi setelah pengakuan kedaulatan RI oleh Kerajaan Belanda dan dalam bentuk berbeda dari yang diangankan. De Vrije Pers tanggal 4 Januari 1950 memberitakan, pasukan Tjakra Madoera dipindahkan ke Pulau Madura. Namun tak jelas bagaimana nasib korps tersebut, sebab De Vrije Pers tanggal 6 Januari 1950 menyebut, ketika itu di Madura terdapat batalyon Keamanan Madura dan ini bukan Korps Tjakra Madoera dari Tapal Kuda.
Sebagaimana negara federal-negara federal yang ada dan juga tentara kolonial KNIL, Korps Tjakra Madoera sebagai lembaga pun menghilang setelah 1950 usai pengakuan kedaulatan. Wilayah bekas Hindia Belanda berganti jadi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Nasib para mantan personel Tjakra Madoera pun berbeda-beda. Ada banyak eks musuh RI itu yang pada 1950 masuk ke dalam Angkatan Perang Republik Indonesia Seriakt (APRIS), yang kemudian berubah menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Di TNI, bekas Tjakra Madoera lalu dimasukkan ke dalam batalyon di Jawa Timur. Bekas Tjakra itu berada dalam Batalyon ke-51 yang dipimpin Kapten Edwin Arie Claproth dan Batalyon ke-50 pimpinan Mayor Ismail Joedodiwirjo di. De Vrije Pers tanggal 1 Desember 1950 menyebut, kedua batalyon itu lalu dikirim ke Ambon guna memadamkan perlawanan angkatan perang dari Republik Maluku Selatan (RMS) di Kepulauan Maluku. Sebelum mereka diberangkatkan, Panglima Tentara Jawa Timur Bambang Sugeng memberikan bendera merah putih kepada pasukan kedua batalyon itu untuk dikibarkan setelah berhasil menduduki wilayah Ambon. Kedua batalyon itu kemudian dianggap bertugas dengan baik.*











Komentar